Skip to main content

Ngangsu Kawruh ing Litbang Kompas #2

Sekilas saya pernah baca tweet milik seseorang yang diretweet oleh orang yang saya follow. Semoga tidak bingung. Seseorang itu bilang kira-kira begini: "Tuh kan, gak ada lembaga survei yang bisa dipercaya. Dulu bilang paling tinggi Foke, sekarang quick count Jokowi menang jauh."



Boleh saja seseorang itu sangsi atas 'kesucian' lembaga survei, tapi kok saya curiga dia tidak tahu apa yang dihadapi oleh seseorang/lembaga yang melakukan survei. Saya memang tidak menguasai, tapi saya sempat mencicipi, bertanya, dan kini sedikit tercerahkan dengan alasan mengapa pemilih Jokowi bisa meningkat drastis.

Menurut yang saya baca perubahan itu terjadi karena adanya massa mengambang. Ketika mereka disurvei sebelum pilkada dilakukan ia belum menjatuhkan pilihan kepada salah satu pasangan calon Gubernur DKI Jakarta. Jangan salah, menurut data di Litbang Kompas jumlahnya cukup besar, sekitar 26 persen. Dugaan yang muncul ialah massa mengambang itulah yang berhasil ditarik oleh tim sukses Jokowi menjadi pencoblos.

Kalau ingin tahu lebih lengkap baca ulasan perbandingan survei sebelum pemilu dengan hasil quick count di harian Kompas atau harian lain yang menuliskannya. Setahu saya beberapa media juga menyinggung konsep ini.

Jadi ya...bukannya saya membela para lembaga survei, karena memang kesalahan mungkin saja dilakukan, termasuk oleh Litbang Kompas. Namun kok saya berpikir bahwa lembaga survei yang besar tidak akan mempertaruhkan kredibilitasnya dengan mengeluarkan hasil survei yang ngawur, asal-asalan, dan dengan data yang tidak valid dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.