Skip to main content

Sang Pemenang


"Serbuuu..!!"
Kami berjuang mati-matian.
Jalan di depan sangat penuh
aku tak bisa melihat tujuan.
Semua putih.
Semua bergerak liar.

Di belakangku masih ada banyak
semua mendesak aku ke depan.
Aku hitung mereka
ada jutaan termasuk aku.
Mereka ada di sekeliling.
Aku merasa sakit dan menjerit
ketika wajahku tertampar,
tubuhku tergencet sana-sini.

Tak lama aku merasa lelah
sama seperti mereka.
Tiba-tiba sampingku kosong
kulihat ia berhenti terengah-engah di belakang.
Aku lalu bergerak semakin cepat
menyusul ia yang di depan.
Perjalanan masih panjang
namun sudah banyak yang menghilang.
Ada yang mati
bertumpukan di ujung sana.
Tinggal seratusan di depanku.

Lalu sesuatu terjadi,
entah bagaimana.
Aku bergerak seperti kesetanan
rasanya ada yang merasuki tubuhku.
Mereka seakan menyingkir ketika aku lewat.
Ada yang makin semangat
ada pula yang lalu berhenti menyerah.
Mereka bergabung dengan yang kalah.
Ketika itu aku punya saingan
kami sama-sama kuat.
Tujuan pun sudah tampak.

Kami saling memacu,
bergerak secepat mungkin.
Akhirnya kami sampai bersamaan.
Sayangnya hanya satu yang diterima.
Ia lalu memilih aku.
Karena aku berjuang di saat-saat akhir.
Kami menangis lalu berpelukan.
Ia mundur dan beristirahat.
Aku mengetuk pintu dan masuk.
Semua lalu kulapisi dengan kekuatanku
agar tidak ada yang menerobos masuk.
Lalu sayup-sayup terdengar di hati:
"Selamat datang, kamu ditakdirkan jadi pemenang."

Selang tiga bulan aku mendengar suara wanita di luar
"Baik-baik di sana. Anak ini menantimu."
Rupanya ia berkata pada seorang pria.
"Iya, besok kita namai dia: Ryan."
Pria itu ternyata suaminya.
Tiba-tiba ayah dari wanita itu menimpali
"Ia adalah sang pemenang, sang jaya."
Wanita itu punya gangguan pendengaran
"Apa? Sanjaya?"

Hampir 7 bulan kemudian aku kesakitan.
Tapi mereka senang melihat aku menangis.

*Terinspirasi dari bincang malam dengan sepupu, dia bilang 'Kita ini pemenang. Kita bersaing dengan jutaan sel sperma, akhirnya cuma satu, kita, yang bisa membuahi telur.' Betul juga, apapun keadaan kita, kalau kita punya kesadaran bahwa kita hidup, kita adalah pemenang. Masih mau cari menang lagi?

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.