Aku ingat sekali sore itu
ketika kita selesai berseteru,
kita bersanding dengan terbisu,
terpasang wajah-wajah sendu.
Di manakah selembar kertas tisu?
Tempat kita biasa menulis surat
mengukir cinta dengan terburu-buru
dengan hati yang ingin segera terikat.
Tampak tisu tersebar di kamar gelap.
"Halo bunga.. selamat beraktivitas!"
Ada torehan tinta di atas sana
yang segera menghilang tanpa bekas.
Mungkin kamu lupa
apa yang terjadi di kelas sana.
Kamu memasangkan aku cincin di jemari
tepat di jari manis sebelah kiri.
Gunung Merapi pernah bersaksi
betapa perubahan datang tiba-tiba.
Aku terhenti karena sakit
kamu melaju kencang di depan sana.
Ingatkah kamu akan surat terakhir?
Surat yang diiringi bulir-bulir air.
Tak tahu datangnya dari mana
mungkin terbawa angin selaksa.
Dengan sulit kugulung surat itu sangat tebal
kulilit dengan pita warna hijau.
Erat sekali kupegang surat itu sambil berdoa
semoga rasa tidak lekas tersapu.
Aku ingat balasan atas gulungan itu
kamu tersenyum tanpa ragu.
Semesta tidak pernah jahat
tapi ia tahu betul apa yang harus kita perbuat.
Jangan pernah menangis di depanku,
seakan tak ada ruang untuk tertawa.
Tapi isakmu semakin keras,
meski aku tahu itu bukan tangis nyata.
Kini semua berubah
dunia telah berbalik arah.
Aku tenggelam dalam sendiri
kamu tertawa tiada henti.
Terima kasih sudah mewarnai dunia
meski ia tak seindah yang kukira.
Puisi tak lagi perlu ada
juga kehadiranmu di sana.
Semoga kamu bahagia
dengan senyuman yang pernah ada.
Bunga akan segera layu
dan segera membeku.
(Maaf, saya sedang menulis puisi aneh)
ketika kita selesai berseteru,
kita bersanding dengan terbisu,
terpasang wajah-wajah sendu.
Di manakah selembar kertas tisu?
Tempat kita biasa menulis surat
mengukir cinta dengan terburu-buru
dengan hati yang ingin segera terikat.
Tampak tisu tersebar di kamar gelap.
"Halo bunga.. selamat beraktivitas!"
Ada torehan tinta di atas sana
yang segera menghilang tanpa bekas.
Mungkin kamu lupa
apa yang terjadi di kelas sana.
Kamu memasangkan aku cincin di jemari
tepat di jari manis sebelah kiri.
Gunung Merapi pernah bersaksi
betapa perubahan datang tiba-tiba.
Aku terhenti karena sakit
kamu melaju kencang di depan sana.
Ingatkah kamu akan surat terakhir?
Surat yang diiringi bulir-bulir air.
Tak tahu datangnya dari mana
mungkin terbawa angin selaksa.
Dengan sulit kugulung surat itu sangat tebal
kulilit dengan pita warna hijau.
Erat sekali kupegang surat itu sambil berdoa
semoga rasa tidak lekas tersapu.
Aku ingat balasan atas gulungan itu
kamu tersenyum tanpa ragu.
Semesta tidak pernah jahat
tapi ia tahu betul apa yang harus kita perbuat.
Jangan pernah menangis di depanku,
seakan tak ada ruang untuk tertawa.
Tapi isakmu semakin keras,
meski aku tahu itu bukan tangis nyata.
Kini semua berubah
dunia telah berbalik arah.
Aku tenggelam dalam sendiri
kamu tertawa tiada henti.
Terima kasih sudah mewarnai dunia
meski ia tak seindah yang kukira.
Puisi tak lagi perlu ada
juga kehadiranmu di sana.
Semoga kamu bahagia
dengan senyuman yang pernah ada.
Bunga akan segera layu
dan segera membeku.
(Maaf, saya sedang menulis puisi aneh)
No comments:
Post a Comment