“Wis
pak. Kopi thok. Pira?”
“Es e
pira?”
“Telung
ewu.”
“Aku
tombok sewu limang atus, mau kopine sewu limang atus.”
Lalu transaksi
terjadi di sebuah angkringan Jalan Kabupaten Sleman dekat rumah.
***
Sekitar
dua jam yang lalu terdengar suara bersahut-sahutan di pembesar suara masjid. Beberapa
menit sebelumnya ada belasan kambing dan sapi yang disembelih di halaman sana. Saat
itu juga saya menyalakan mesin sepeda motor untuk cari makan siang.
Niat hati
mau mencari nasi padang, maklum, perut rasanya lapar sekali. Namun sudah ada
dua warung nasi padang dekat rumah yang saya lewati ternyata tidak berjualan. Ada
beberapa warung yang buka, tapi entah kenapa ada satu angkringan yang saya
datangi. Penjualnya seorang pria berumur 60 tahunan, dia berjualan di depan
rumahnya yang di pinggir sawah Jalan Kabupaten Sleman.
Kebetulan
ada mas-mas sedang makan di angkringan itu. Awalnya saya biasa saja, lalu agak
kaget karena dia tidak memakai baju. Dia makan dengan cepat dan bersuara ketika
mengunyah. Dari perbincangan dia dengan penjual angkringan, saya menduga dia
adalah tukang bangunan di proyek dekat situ.
Mas-mas
itu menyelesaikan makannya, disusul oleh penjual es krim merek ternama. Dia menjual
es-es tersebut pakai sepeda yang diparkir di dekat angkringan. Dia bapak-bapak,
tampaknya lebih tua dari penjual angkringan. Tingginya sekitar 155 cm, dengan
badan yang kurus dan kulit yang menghitam keriput. Dia pesan kopi hitam sambil
menghisap rokok 76. “Ngantuk,” katanya.
Dia tidak
makan apa-apa meski di depannya ada bungkusan nasi seharga Rp1500 saja. Tak
lama kemudian anak penjual angkringan mau beli es krim, harganya Rp3000.
Penjual es krim tidak mau dibayar langsung, nanti saja sekalian kalau dia sudah
selesai ngopi katanya. Satu batang rokok sudah hampir habis, lalu dia hendak
membayar. Terjadilah percakapan di awal tulisan ini.
Saya terdiam.
Rp1.500 itu sangat berharga bagi penjual es krim. Paling tidak bisa buat beli
kopi yang dia yakin bisa membuatnya kembali melek dan kuat untuk mengayuh
sepeda di tengah sengatan matahari seperti ini. Saya tidak tahu pasti berapa
batang es krim yang bisa dia jual hari ini. Berapa juga keuntungan yang dia
dapat dari menjual es krim seperti ini.
Saya lalu membayangkan diri sendiri, apa yang
bisa saya lakukan dengan uang sejumlah itu. Parkir motor? Rp1.000. Kadang Rp1.500,
kadang lebih. Tanpa bermaksud merendahkan penjual es krim tadi, jumlah itu
kecil sekali.
Beberapa
kali saya ke kafe bareng teman-teman. Di sana ada beberapa minuman yang
dicampur alkohol, misalnya, kopi dan sari buah. Harganya sekitar Rp10.000
hingga Rp15.000. Saya biasanya pesan satu saja, tapi beberapa teman biasanya
pesan lebih dari satu alias nambah. Sebut saja dalam satu malam saja kami bisa
habis Rp30.000.
Beberapa
hari lalu saya menemani dua orang teman makan di warung yang menjual babi
panggang ala orang Batak. Harga seporsi cukup mahal buat saya: Rp25.000. Tambah
pesan minuman kopi seharga Rp5.000. Paling tidak seorang habis Rp30.000 malam
itu (kecuali saya).
Pikiran
saya melayang-layang ke sana setelah melihat penjual es krim. Untuk mendapatkan
Rp30.000 dia harus menjual 10 batang es krim. Itupun baru omzet saja, belum
dikurangi setoran untuk mendapatkan keuntungan. Dari situ saya berpikir, wajar
saja bila ada orang yang mengatakan hidup ini tidak adil. Saya tidak punya
pendapat tentang itu, yang saya tahu, kesenjangan itu ada dan sangat nyata.
***
Saya
selesai dengan makan saya. Tiga bungkus nasi, tiga tempe mendoan, satu plastik intip
(nasi kering yang digoreng), dan segelas teh tawar harus saya tebus dengan
harga Rp8.000. Perut yang tadinya lapar kini sudah kenyang. Namun ada rasa yang
lebih terasa daripada kenyang, yaitu rasa menyesal-kasihan lantaran saya tidak
melakukan apapun untuk penjual es krim dan ratusan hingga jutaan orang lain yang mengalami
hal serupa. Kesenjangan.
ditulis hari Minggu; belum ke gereja
No comments:
Post a Comment