04 November 2014

Doa dan Kata

Sumber: www.wheatlandmission.com
Sekitar tahun 2004 saya mengalami kegelisahan. Waktu itu saya merasa tidak sreg ketika melihat sekumpulan orang Katolik yang sedang berdoa. Satu yang saya ingat, mereka mendaraskan doa Salam Maria dengan sangat lancar, bertempo relatif cepat, dan dengan nada yang monoton. Mereka seakan tidak memaknai kata-kata dalam doa dan sekadar mengucapkannya bak mengucap mantra.

Beruntung, tak lama kemudian saya bertemu dengan pakdhe (Alm.) Antonius Hari Kustono, Pr. yang adalah seorang rama (pastur—pemuka agama Katolik). Saya utarakan kegelisahan saya kala itu. Jawaban pakdhe agak mengejutkan.

Pakdhe bilang,”Ya biar saja. Kalau dengan cara itu mereka bisa merasa dekat dengan Tuhan, apa salahnya?”

Saat itu saya dapat pemahaman baru. Dalam doa, kata-kata adalah sarana, bukan inti doa itu sendiri.

Pemahaman tersebut menguat ketika sekitar tahun 2010 saya beberapa kali bergabung di doa meditasi Katolik di Gereja Santo Albertus Agung Jetis, Yogyakarta. Sama halnya dengan meditasi yang diajarkan oleh agama ataupun tradisi budaya yang lain, meditasi dekat dengan yang namanya keheningan. 

Dulu ketika SMP saya pernah diminta untuk bermeditasi dengan cara memejamkan mata, lalu menyebut satu kata yang sering disebut dalam doa secara berulang-ulang. Lewat pertemuan meditasi itu saya jadi tahu bahwa yang waktu itu saya pelajari adalah salah satu metode untuk membawa manusia pada keheningan. Metode lain adalah berkonsentrasi pada merasakan nafas, membayangkan satu gambaran, dan sebagainya.

Intinya, pendamping meditasi kala itu menekankan kepada kami bahwa kepala (pikiran) bukan tempat yang baik untuk berdoa, tapi bukan tempat terburuk untuk memulainya. Kira-kira begitu, awalnya dari konsentrasi pikiran, hingga nanti melampaui pikiran itu sendiri. Sampai di sini, kata lagi-lagi menjadi hal yang bukan inti dari doa.

Beberapa tahun kemudian, menjelang akhir kuliah, saya mendengar homili yang cukup membekas dari Rm. Haryatmoko, SJ di Gereja Santo Antonius Kotabaru, Yogyakarta. Beliau mencoba untuk mengubah kebiasaan kami dalam mengucap doa. Awalnya beliau bercerita pengalamannya ketika suatu saat mengikuti malam bersama dengan sebuah keluarga. Sebelum memulai makan, sang kepala keluarga berinisiatif untuk memimpin doa pembukaan.

Pada salah satu bagian doa tersebut, sang kepala keluarga berkata,”Tuhan, berkatilah pula orang-orang yang belum bisa menikmati rejeki seperti yang akan kami nikmati. Semoga mereka selalu memperoleh kebahagiaan dan merasakan kasih-Mu.”

Doa semacam itu dikritik oleh rama. Kira-kira begini kritiknya,”Untuk apa kita minta Tuhan memberikan berkat kepada mereka? Kitalah yang harusnya menjadikan diri sebagai berkat!”

Dari situ muncul pemahaman lagi dalam diri saya, kata-kata dalam doa itu tidak tak penting. Kata-kata perlu dipikirkan dan disusun untuk menuntun sikap kita.

Pada suatu homili yang lain, rama yang sama lagi-lagi menyadarkan saya akan pentingnya kata dalam doa. Saat itu beliau sedang bicara tentang cobaan yang diberikan Tuhan kepada kita. Ketika sedang mengalami cobaan kita seringkali berdoa,”Tuhan, terimakasih atas cobaan yang Engkau berikan....” Doa ini dikritik oleh rama karena cenderung sinis dan munafik. Beliau meminta kita untuk mengungkapkan kata-kata yang jujur dalam doa. Selain itu rama menyarankan umat untuk berdoa, “Tuhan, kuatkan kami untuk menerima cobaan dari-Mu.”

Lagi-lagi saya diingatkan bahwa kata-kata itu begitu memegang peranan yang penting dalam doa. Saya menduga, sikap hati yang benar akan memunculkan kata-kata yang tepat pula. Sebaliknya, penggunaan kata-kata yang tepat dalam doa, akan menuntun kesadaran kita untuk mendekati Tuhan.

Akhirnya, saya hanya bisa mengatakan bahwa kedua “aliran” ini benar. Mereka masing-masing memandang doa sebagai sarana untuk menyadari ke-Ilahi-an dalam diri manusia. Karena semua benar, Anda dan saya  boleh menganut salah satu, keduanya, atau bahkan tidak menganut sama sekali. Kenapa? Karena kebenaran mungkin tidak hanya ada dalam kata-kata yang barusan Anda baca. Kebenaran mungkin ada dalam segala hal yang tidak terasa oleh apapun. Sama seperti doa, dan kesadaran yang membuat kita merasa perlu berdoa itu sendiri.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain