Sumber: www.wheatlandmission.com |
Sekitar tahun 2004 saya mengalami kegelisahan. Waktu itu
saya merasa tidak sreg ketika melihat
sekumpulan orang Katolik yang sedang berdoa. Satu yang saya ingat, mereka
mendaraskan doa Salam Maria dengan sangat lancar, bertempo relatif cepat, dan
dengan nada yang monoton. Mereka seakan tidak memaknai kata-kata dalam doa dan
sekadar mengucapkannya bak mengucap mantra.
Beruntung, tak lama kemudian saya bertemu dengan pakdhe
(Alm.) Antonius Hari Kustono, Pr. yang adalah seorang rama (pastur—pemuka agama
Katolik). Saya utarakan kegelisahan saya kala itu. Jawaban pakdhe agak
mengejutkan.
Pakdhe bilang,”Ya biar saja. Kalau dengan cara itu mereka
bisa merasa dekat dengan Tuhan, apa salahnya?”
Saat itu saya dapat pemahaman baru. Dalam doa, kata-kata
adalah sarana, bukan inti doa itu sendiri.
Pemahaman tersebut menguat ketika sekitar tahun 2010 saya
beberapa kali bergabung di doa meditasi Katolik di Gereja Santo Albertus Agung
Jetis, Yogyakarta. Sama halnya dengan meditasi yang diajarkan oleh agama
ataupun tradisi budaya yang lain, meditasi dekat dengan yang namanya
keheningan.
Dulu ketika SMP saya pernah diminta untuk bermeditasi dengan cara
memejamkan mata, lalu menyebut satu kata yang sering disebut dalam doa secara
berulang-ulang. Lewat pertemuan meditasi itu saya jadi tahu bahwa yang waktu itu saya pelajari adalah
salah satu metode untuk membawa manusia pada keheningan. Metode lain adalah
berkonsentrasi pada merasakan nafas, membayangkan satu gambaran, dan
sebagainya.
Intinya, pendamping meditasi kala itu menekankan kepada
kami bahwa kepala (pikiran) bukan tempat yang baik untuk berdoa, tapi bukan
tempat terburuk untuk memulainya. Kira-kira begitu, awalnya dari konsentrasi
pikiran, hingga nanti melampaui pikiran itu sendiri. Sampai di sini, kata
lagi-lagi menjadi hal yang bukan inti dari doa.
Beberapa tahun kemudian, menjelang akhir kuliah, saya
mendengar homili yang cukup membekas dari Rm. Haryatmoko, SJ di Gereja Santo
Antonius Kotabaru, Yogyakarta. Beliau mencoba untuk mengubah kebiasaan kami
dalam mengucap doa. Awalnya beliau bercerita pengalamannya ketika suatu saat
mengikuti malam bersama dengan sebuah keluarga. Sebelum memulai makan, sang
kepala keluarga berinisiatif untuk memimpin doa pembukaan.
Pada salah satu bagian doa tersebut, sang kepala keluarga
berkata,”Tuhan, berkatilah pula orang-orang yang belum bisa menikmati rejeki
seperti yang akan kami nikmati. Semoga mereka selalu memperoleh kebahagiaan dan
merasakan kasih-Mu.”
Doa semacam itu dikritik oleh rama. Kira-kira begini
kritiknya,”Untuk apa kita minta Tuhan memberikan berkat kepada mereka? Kitalah
yang harusnya menjadikan diri sebagai berkat!”
Dari situ muncul pemahaman lagi dalam diri saya,
kata-kata dalam doa itu tidak tak penting. Kata-kata perlu dipikirkan dan
disusun untuk menuntun sikap kita.
Pada suatu homili yang lain, rama yang sama lagi-lagi
menyadarkan saya akan pentingnya kata dalam doa. Saat itu beliau sedang bicara
tentang cobaan yang diberikan Tuhan kepada kita. Ketika sedang mengalami cobaan
kita seringkali berdoa,”Tuhan, terimakasih atas cobaan yang Engkau berikan....”
Doa ini dikritik oleh rama karena cenderung sinis dan munafik. Beliau meminta
kita untuk mengungkapkan kata-kata yang jujur dalam doa. Selain itu rama
menyarankan umat untuk berdoa, “Tuhan, kuatkan kami untuk menerima cobaan
dari-Mu.”
Lagi-lagi saya diingatkan bahwa kata-kata itu begitu
memegang peranan yang penting dalam doa. Saya menduga, sikap hati yang benar
akan memunculkan kata-kata yang tepat pula. Sebaliknya, penggunaan kata-kata yang
tepat dalam doa, akan menuntun kesadaran kita untuk mendekati Tuhan.
Akhirnya, saya hanya bisa mengatakan bahwa kedua “aliran”
ini benar. Mereka masing-masing memandang doa sebagai sarana untuk menyadari
ke-Ilahi-an dalam diri manusia. Karena semua benar, Anda dan saya boleh menganut salah satu, keduanya, atau
bahkan tidak menganut sama sekali. Kenapa? Karena kebenaran mungkin tidak hanya
ada dalam kata-kata yang barusan Anda baca. Kebenaran mungkin ada dalam segala
hal yang tidak terasa oleh apapun. Sama seperti doa, dan kesadaran yang membuat
kita merasa perlu berdoa itu sendiri.
No comments:
Post a Comment