Kadang manusia gagal melakukan seleksi atas
apa yang harus dipikirkan dan apa yang tidak. Contohnya ya yang beberapa menit
lalu saya alami. Ini tentang penggunaan Facebook oleh seorang teman SMP. Saya sadar,
seharusnya saya tidak perlu memikirkan. Namun saya telanjur risau melihat
bagaimana dia menggunakan akun Facebooknya. Sebut saja namanya Mawar.
Saya kenal Mawar sekitar tahun 2004-2005
waktu kami duduk di bangku SMP. Saya tidak ingin kenal, tapi terpaksa kenal
karena kami sekelas. Ciri fisik yang saya ingat dari dia adalah rambut yang
tipis, kulit sedikit gelap, tinggi sekitar 140-150 cm, dan kurus. Intinya, dia
(saat itu) bukan termasuk gadis yang populer di antara kawan-kawan.
Waktu itu Mawar bukan tergolong siswa pandai, prestasinya
akademiknya biasa-biasa saja, bahkan cenderung tidak baik. Tentang perilaku,
ada cap yang sangat mudah bagi orang lain untuk memberikan ke dirinya: kemayu atau sok cantik. Cara bicaranya
sering dibuat-buat seksi (halah!), cara jalannya juga begitulah, saya sampai
tak kuat hati untuk mengingat.
Ternyata dia tidak hanya kemayu, tapi juga suka meniru gaya yang dipakai orang yang populer.
Istilahnya copycat atau apa gitu. Sebut
saja Bunga, teman sekelas yang dianggap populer. Bunga yang dulunya berambut
panjang, suatu saat potong rambut hingga begitu pendek. Beberapa hari kemudian
Mawar, yang dulunya juga berambut panjang, ikut berganti potongan rambut
menjadi serupa. Lalu suatu saat Bunga mengalami kecelakaan di jalan, dagunya
terluka. Dia ke sekolah pakai plester di dagunya. Bisa ditebak, esok harinya
Mawar juga pakai plester di tempat yang sama. Tak ada yang tahu dia sungguh
terluka atau tidak.
Itu sifat dominan yang saya tangkap dari dirinya. Suatu
saat saya dengar kabar dia sudah punya anak, lalu menikah. Seorang teman
kuliah, yang adalah teman SMAnya Mawar, berkata,”Ah, aku ora kaget. Ket biyen
menthel.” Dia tidak terkejut dengan berita itu, karena sejak dulu Mawar
terlihat menthel. Sedih juga ya
rasanya ada cap begitu pada teman sendiri—meski kami tak pernah dekat.
Entah sejak kapan kami berteman di Facebook, tapi
rupa-rupanya sifat tersebut terbentuk dari keluarganya. Saya kira dia lahir di lingkungan
keluarga yang cukup keras. Saat itu sering sekali dia menulis status Facebook
dengan marah-marah ke ibunya. Dia dianggap durhaka, anak tidak tahu diri, penuh
dosa, diusir dari rumah, dan sebagainya. Setelah itu saya amati statusnya
sering sekali marah-marah dan menyindir entah keluarganya, teman kerja, hingga
bosnya.
Nah, tadi pagi saya buka Facebook dan melihat kemarin
hingga tadi malam Mawar posting hingga beberapa kali. Postingan itulah yang
membuat saya kepikiran hingga harus menulis begini. Mawar rupanya sedang sakit
dan harus opname di sebuah rumah sakit. Dia menulis status yang begitu deh. Mungkin
maksudnya biar banyak yang menuliskan komentar dan memperhatikan kondisinya. Jika
memang itu maksudnya, sepertinya dia tidak berhasil menggalang perhatian dari
teman-teman Facebook.
Mengapa dia sampai harus begitu? Ya...pasti ada begitu
banyak kemungkinan jawaban. Bisa dari dirinya yang memang suka begitu. Bisa dari
lingkungan terdekatnya yang kurang memberi dukungan. Atau bisa jadi tidak
keduanya, tapi memang sakitnya kali ini membuat dia merasa membutuhkan dukungan
yang besar—dari siapa saja. Parahnya, (ampuni hamba-Mu, Tuhan) saya tidak
tergerak untuk memberi dukungan.
Belakangan saya tahu sakitnya memang agak parah kali ini.
Bukankah sakit yang berkaitan dengan otak itu begitu rawan? Itulah mengapa saya
menyebut parah, meski tak tahu seberapa parah. Meski begitu dia sempat memotret
selfie di tempat tidur rumah sakit
dengan selang oksigen di hidung dan mata yang terpejam. Begitulah.
Oh ya, saya memang suka mengamati potingan teman-teman
netizen pada paling tidak tiga akun jejaring sosial yang saya punya: Twitter,
Facebook, dan Path. Terus terang, saya terganggu dengan istilah kepo untuk
menyebut aktivitas ini. Saya yakin saya tidak sendirian, artinya ada banyak
orang lain yang sesungguhnya tidak sepakat istilah itu digunakan dengan begitu
mudahnya. Mengamati status orang lain bagi saya adalah untuk menyelami pikiran
dan kehidupan sang penulis. Artinya, saya mencoba memahami manusia dalam
berbagai dimensinya melalui cara dia berkomunikasi via jejaring sosial dan
apa-apa saja yang dia tulis di sana. Hidup rasanya menjadi begitu luas, asal
kita tidak lalu hanyut begitu saja dalam keluasannya. Bagaimanapun, ini menarik
bagi saya, entah buat anda.
No comments:
Post a Comment