Sumber: www.fajar.co.id |
Peribahasa “menebar kerikil di jalan
sendiri” rupanya gemar dilakukan oleh kepolisian kita. Bagaimana tidak? Minggu
lalu seorang wartawan di Tangerang dikeroyok oleh petugas keamanan di suatu pusat
perbelanjaan ketika meliput kebakaran. Sedangkan, sepekan sebelumnya seorang
wartawan dianiaya oleh preman bayaran di Mamuju Utara ketika sedang meliput
antrean pembelian BBM. Alih-alih mencegah supaya tindak kekerasan terhadap
wartawan tidak terulang, kepolisian justru melanggengkan kekerasan itu melalui
tangan mereka sendiri.
Sebanyak lima orang wartawan dikabarkan
mengalami kekerasan oleh sejumlah oknum kepolisian di Makassar. Tindak
kekerasan yang memalukan itu dilakukan ketika para wartawan sedang meliput demo
menentang kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi di Makassar, Sulawesi
Selatan. Selain memukul para wartawan, mereka juga melarang wartawan untuk
mengambil gambar. Bahkan, mereka berupaya untuk merebut kamera dari tangan wartawan.
Akibatnya, beberapa wartawan mengalami luka-luka dan terpaksa menghentikan
kerja jurnalistiknya kala itu.
Aksi kekerasan ini sontak mengundang
aksi solidaritas oleh para wartawan di seluruh Indonesia. Melalui
organisasi-organisasi profesi, mereka menyelenggarakan aksi di jalan-jalan
dengan tuntutan yang kurang lebih sama: mengusut tuntas kasus kekerasan
terhadap wartawan. Tentu masih segar di ingatan insan pers ketika Udin,
wartawan Bernas Jogja, dibunuh tahun 1996 diduga kuat karena berita yang dia
tulis. Hingga kini berkasnya berdebu di pengadilan karena belum juga selesai
diusut. Melalui kasus ini saja sudah selayaknya kepolisian sadar bahwa mereka
harus sensitif dengan isu tersebut. Mereka punya utang kasus besar kepada pers.
Kekerasan terhadap wartawan adalah
cerita lama yang tak kunjung usai. Cerita ini berulang tidak hanya di
Indonesia, tapi juga hampir di seluruh belahan dunia. Minimal mereka menghadapi
ancaman secara fisik, atau intimidasi secara psikologis. Meski terkesan begitu,
kekerasan terhadap wartawan bukanlah hal yang harus diterima apa adanya.
Sebagai publik, kita patut merefleksikan posisi dan sikap kita untuk mengubah
keadaan ini. Berikut beberapa poin usulan refleksi dari saya.
Pertama, kekerasan terhadap insan pers
adalah bentuk pelanggaran hukum yang berlapis. Lapis pertama adalah tindak
kekerasan, yang memang dapat dijegal dengan pasal penganiayaan. Lapis kedua,
profesi wartawan di Indonesia memang dilindungi oleh konstitusi. Dalam UU No.
40 Tahun 1999 Pasal 8 dituliskan, “Dalam melaksanakan profesinya wartawan
mendapat perlindungan secara hukum.”
Masalahnya, konstitusi ini tidak secara
eksplisit mengatur perlindungan hukum macam apa yang didapatkan oleh wartawan
ketika sedang melaksanakan profesinya? Jika logika saya tidak meleset, kata
perlindungan itu lebih dekat diasosiasikan dengan makna pencegahan. Bagaimana
caranya mencegah supaya tidak ada satu pihak yang melakukan kekerasan terhadap
wartawan ketika sedang meliput dalam keadaan apapun. Namun, implementasi
peraturan rupanya memang sering berbeda. Tindakan preventif tidak diatur dengan
jelas, sedangkan tindakan represif juga diurus serampangan. Yang pasti,
kekerasan sudah telanjur terjadi, baru pelaku mendapat ganjaran. Jika memang
demikian, lalu apa yang membedakan profesi wartawan dengan profesi lain yang
tidak diatur dalam konstitusi secara khusus?
Poin yang ingin saya katakan adalah
kecurigaan bahwa profesi wartawan sebenarnya tidak dilindungi secara
sungguh-sungguh sejak dari regulasi. Pasal 8 tersebut seakan memberikan angin
segar dan rasa aman bagi wartawan untuk bekerja, tapi tidak berlebihan jika
publik menyebutnya sebagai ilusi saja. Pasal itu mungkin bekerja ketika
wartawan menghadapi tuntutan hukum dari pihak yang merasa dirugikan akibat
pemberitaan, tapi tetap saja tidak melindungi wartawan dari tindak kekerasan
yang mungkin dilakukan.
Di sisi lain, pada awal UU tersebut
dituliskan kemerdekaan pers adalah wujud kedaulatan rakyat. Konsep kunci dari
pernyataan tersebut ada dua, yaitu kemerdekaan pers dan kedaulatan rakyat. Hal
ini merujuk pada ideologi demokrasi yang meletakkan rakyat pada posisi yang
berdaulat, memiliki kehendak, serta kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri
berdasarkan konstitusi. Itulah mengapa kebebasan pers suatu negara seringkali
digunakan sebagai ukuran kualitas demokrasi.
Ketika wartawan mengalami kekerasan
ketika meliput, artinya di situ ada proses kerja jurnalistik yang
dihalang-halangi oleh pelaku. Kita patut memandang hal ini sebagai pengerdilan
kebebasan pers, dan dengan demikian juga pencorengan cita-cita demokrasi.
Demokrasi yang sehat membutuhkan atmosfer kerja pers yang sehat juga. Pers yang
sehat mensyaratkan informasi dan berita yang juga berkualitas untuk dijadikan
referensi diskusi publik. Permasalahan inilah yang mengantar kita pada poin
refleksi berikutnya.
Kedua, buruknya situasi pers di
Indonesia. Mau tidak mau, semua pihak harus mengakui situasi yang buruk ini.
Institusi media (diwakili wartawan) bukan sekadar korban kekerasan,
bagaimanapun juga mereka tetap menyumbang alasan protes masyarakat yang—sayangnya—berujung
pada tindak kekerasan. Sebut saja fenomena wartawan amplop, wartawan bodrek,
pemerasan narasumber, pembesaran isu secara bombastis, hingga media yang tidak
independen dari kepentingan pemilik. Belum lagi ditambah dengan media-media
online yang hanya menyalin dari situs berita, bahkan terindikasi fiktif dan
jelas-jelas bersifat provokatif ketika dibaca publik.
Buruknya situasi pers kita tentu tidak
layak dijadikan alasan bagi siapapun untuk melakukan kekerasan terhadap
wartawan. Namun tidak adil rasanya jika kekerasan hanya dilihat dari dimensi
aksi saja. Artinya, pasti ada motif dan alasan mengapa kekerasan itu dilakukan.
Bisa jadi publik sudah frustasi dan jengah terhadap berita dan cara wartawan
meliput berita. Ketika meliput bencana misalnya, wartawan kadang tidak sensitif
dengan perasaan korban dan malah mengeksploitasi kesedihan yang ada. Santer
juga diisukan bahwa wartawan tidak peduli terhadap korban yang butuh bantuan,
tapi malah terus saja mengambil gambar.
Dari uraian tadi saya menekankan bahwa
kekerasan terhadap wartawan adalah sinyal bagi banyak pihak untuk memperbaiki
diri. Pihak legislatif perlu membuat regulasi yang lebih baik dan mengakomodasi
kebutuhan perlindungan wartawan dari tindak kekerasan yang mungkin dialami
ketika sedang meliput. Produk legislatif ini tentu harus didukung oleh tangan
kepolisian, bukan justru memperkeruh keadaan. Di pihak pers, wartawan dan media
harus menyeimbangkan kepentingan ekonomi, politik, dan penyediaan informasi
yang sehat bagi publik. Meminjam istilah Niklas Luhmann, media adalah pembentuk
realitas. Apapun yang ditulis oleh wartawan, itu adalah realitas yang dibangun
dalam benak publik. Kita harusnya sadar itu.
No comments:
Post a Comment