Skip to main content

Angkringan Fajar

“Aku ngalahi ora gawe sambel, mas. Tinimbang mengko regane mundhak sing tuku padha muni-muni,” ujarnya malam itu.Untung hujan tidak jadi datang, langit hanya mengirim sedikit gerimis.
 
Lagi-lagi tentang angkringan. Kali ini angkringan yang ada di Jalan Godean sekitar kilometer 5. Keluarga kami menyebutnya “angkringan Fajar.” Kenapa? Karena dia buka tenda di depan toko Fajar (toko peralatan tulis) yang buka pagi sampai sore hari.

Meski menunya biasa saja seperti layaknya angkringan-angkringan yang lain,  “angkringan Fajar” ini salah satu angkringan yang paling sering saya datangi. Bukan karena dekat rumah, tapi ada banyak alasan.

Pertama, nasinya enak dan banyak. Harganya jadi dua kali lipat sih (Rp2000), tapi dijamin puas. Nasinya putih bersih dan dibungkus dengan padat. Kalau saya ke sana menjelang tengah malam, kadang nasinya jadi sedikit lebih keras. Namun, segelas teh panas rasanya cukup menendang kekurangan itu. Persediaan nasinya juga banyak, mungkin sampai seratus bungkus lebih.

Kedua, lauknya banyak. Saya sih cenderung suka ambil tempe goreng tepung saja untuk lauk. Selain irit, entah kenapa saya memang sangat hobi menu itu saja (sega kucing+mendoan). Di sana ada tempe goreng, tahu bacem, dan lauk standar lainnya. Lauk yang—katanya—lebih enak (dibandingkan angkringan lain) adalah kepala ayam bacem dan ceker ayam bacem. Saya tidak pernah beli dua lauk itu, tapi kata keluarga sih enak.

Ketiga, penjualnya ramah. Dia santai sekali, tapi cekatan. Dia pakai bahasa Jawa halus (krama) bahkan kepada saya yang kira-kira lebih muda atau sebaya. Anda boleh bilang, “Ya penjual memang harus begitu. Pembeli senang dihormati supaya tidak beralih ke penjual lain.” Katakanlah begitu, berarti dia memang berhasil dengan strateginya. Namun rasanya beda, yang ini terkesan genuine, pembawaannya memang begitu.

Kemarin malam saya ke sana, lalu terjadilah percakapan itu. Dia cerita tidak jualan nasi sambal lagi untuk sementara waktu. Menu itu dia ganti dengan oseng-oseng usus ayam—yang menurut saya enak banget. Saya habis tiga bungkus (abaikan).

“Pembeli kan ora peduli to, mas. Arep lombok larang apa murah, yen regane segaku mundhak ya mesti muni-muni,” keluhnya.

Ini khas Indonesia sekali. Hargai cabai naik, rakyat lalu mengeluh. Tidak bisakah kita tidak makan cabai? Mas penjual angkringan bilang kalau sekarang per kilogramnya sudah mencapai sekitar Rp80.000 untuk cabai merah. “Tak itung-itung, regane saklombok iku Rp350.”

Tiba-tiba dia cerita kalau cicilan pembelian sepeda motornya akan selesai tiga bulan lagi. “Motormu apa, mas?” tanyaku. Sambil senyum dia bilang,”Vixi*n.” Dari hasil jualan angkringan itu dia bisa membiayai anaknya sekolah, membuat dapur rumah tetap hidup, dan membayar cicilan motor sebesar Rp800 ribu tiap bulannya. Keren kan?

Tiba-tiba saya juga kehilangan ide akan membawa tulisan ini ke mana. Jadi. disudahi saja ya -.-

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.