Seusai
melepas rindu selama empat jam di studio musik, kami makan di burjoan dekat
sana. Biasalah, tradisi alumnus mahasiswa Jogja. Kami (sebut saja Cahyadi, Adiputro,
Budi, dan saya) makan sambil cerita banyak soal hidup yang sedang kami jalani. Khususnya,
hidup yang sedang mereka jalani di luar Jogja, salah satu kota tempat mereka
merasa pulang.
Atmosfer
besar yang melingkupi cerita mereka adalah mereka merasa enggan untuk pergi
dari Jogja. H-sekian, belum beli tiket untuk pergi. Belakangan saya tahu kalau
Budi langsung berangkat sore itu. Namun, mau tak mau, mereka harus pergi untuk
melanjutkan hidup dan karya-karya mereka.
» Bandung, Jawa Barat
Saya
awali dari Cahyadi. 1991 dia lahir dan besar di Duri, Riau. Semenjak 2006 dia merasakan
hidup nyantri di sebuah asrama di Muntilan, Jawa Tengah. Lulus 2009, dia lalu melanjutkan kuliah di Jogja. Di kota ini
dia merasakan banyak kenyamanan dan kenangan yang pasti enggan dilupakan. Tahun
2015 dia bekerja beberapa bulan di Duri, lalu memutuskan untuk melanjutkan
kuliah di Bandung.
Di sinilah
cerita Cahyadi berawal. Dia merasa Bandung adalah kota dengan biaya hidup yang
lebih mahal dari Jogja. Barangkali memang demikian adanya. Dia bercerita jarang
mau diajak nongkrong bersama teman-teman kuliah, lantaran tempatnya mahal.
Sebagai
gambaran, hampir setiap hari dia makan di warteg. Untuk makan sekali dengan lauk
yang biasa-biasa saja, dia harus keluar uang belasan ribu. Sedangkan dia tidak
mungkin diajak nongkrong teman-teman kuliah di warteg.
“Kalau
jalan-jalan aja nggak usah beli kan jadi irit?” tanyaku. Cahyadi mengiyakan.
Dia memang beberapa kali pergi sendirian naik sepeda motor ke arah entah di
Bandung. Hanya keliling saja lalu pulang kos sambil mampir sebentar di warteg.
“Kok
sendirian? Kamu nggak cari cewek di Bandung? Katanya di sana ‘kan
cantik-cantik,” tanyak kami penasaran. “Aku enggak bawa mobil,” jawabnya yakin.
Harga
yang murah, adalah satu hal. Hal lain adalah tempat hiburan. Bandung kurang
hiburan apa sih dibanding Jogja? Mau liburan bernuansa alam? Ada. Kota? Ada.
Budaya, sejarah, dan arsitektur? Banyak. Namun harganya mahal. Untuk naik
sampai Tangkuban Perahu, wisatawan harus keluar uang Rp75 ribu untuk masuk.
Di
Jogja, uang sebesar itu barangkali bisa untuk isi bensin motor, naik ke
Kaliurang atau bahkan Kaliadem, lalu susur pantai-pantai perawan di
Gunungkidul. Jadi memang urusan kembali lagi ke uang.
Sebenarnya
ada banyak kenikmatan yang dia peroleh
di Bandung. Namun karena konteks cerita ini adalah “malas untuk pergi dari
Jogja”, maka yang dia ceritakan adalah kelebihan dari Jogja.
» Semarang, Jawa Tengah
Berikutnya
Adiputro. 1990 dia lahir dan besar di Duri, Riau. Dia sempat bersekolah hingga
SMA di sana, tetapi pada tahun ke dua dia pindah sekolah di Jogja. 2008 dia
melanjutkan kuliah di kota yang sama hingga kira-kira dua tahun lalu mulai
bekerja di Semarang.
Kepribadian
Adiputro ini tak bisa ditebak. Kadang dia terlihat serius, kadang pula bicaranya
seputar komedi-komedi mesum.
Menurut
Adiputro, kondisi kota di Semarang mirip dengan Jogja. Karakter masyarakatnya
juga mirip, tipikal orang Jawa. Namun memang, di Semarang akan lebih mudah
untuk menemui etnis Tionghoa bila dibandingkan di Jogja.
Meskipun
rata-rata biaya nongkrong dan makan di Semarang hanya selisih sedikit dengan
Jogja, Adiputro mengaku jarang keluar kos kalau sedang libur akhir pekan. “Di
mana-mana panas,” katanya.
“Wisata
alam gimana?” tanya kami. “Kalau Semarangnya sih sedikit, tetapi kalau naik ke
Ungaran kan ada gunung,” jawabnya.
“Lalu
apa yang bikin Jogja lebih nyaman?” kejar kami. Adiputro mengeluhkan beberapa
hal lain selain kondisi udara yang lebih panas. Pertama adalah persoalan studio
musik. Menurut dia studio musik di Semarang itu sulit ditemukan, tidak sebanyak
di Jogja. Sekalipun ada, harganya mahal. Dia pernah menemukan studio musik
dengan keadaan lebih buruk dari tempat kami biasa main, tetapi dengan harga
sewa dua kali lipat lebih mahal. Entah alasan ini serius atau tidak, tetapi dia
menyebutkan hal ini sampai dua kali.
Kedua
adalah jarangnya warnet yang menyediakan
film. Di Jogja, ada beberapa lokasi warnet yang jadi jujugan para mahasiswa
ketika mereka ingin meng-copy film. Di Babarsari ada, di jalan Palagan ada, di
daerah Tamansiswa juga ada, juga di daerah-daerah lainnya. Menurut Adiputro,
tempat-tempat ini jarang ditemukan di Semarang.
Mengapa
dia butuh film? Begini. Dia bekerja Senin—Sabtu. Pekerjaannya sebagai akuntan
membuatnya harus bekerja keras. Seminggu bekerja akan membuat dia lelah. Ketika
keluar kos pun malas (karena panas) maka menonton film adalah aktivitas yang
cukup menyenangkan.
Sama
seperti Cahyadi, Adiputro mendapatkan hal menarik selama di Semarang. Dia
merasa mendapat ilmu yang amat sangat banyak dari pekerjaannya ini. Barangkali,
ilmu sebanyak ini akan sulit diperoleh ketika dia masih di Jogja.
» Cikarang, Jawa Barat
Beralih
ke Budi. 1991 dia lahir dan besar di lingkungan masyarakat Jawa—Katolik di
Sendangsono, Jogja. 2006 dia juga merasakan nyantri di Muntilan dan lanjut
berkuliah di Jogja tahun 2009. Dia sempat kuliah sambil bekerja di sebuah cafe.
Pernah juga kuliah sambil berbisnis minuman “perjamuan” untuk mencukupi
kebutuhannya.
Seingat
saya, Cikarang ini tempat ketiga dia bekerja setelah lulus kuliah. Tempat
pertama saya lupa, tapi dia bertahan sebentar saja karena hatinya tak sepakat
dengan cara kerja yang “kotor.” Tempat kedua di sebuah toko besar di Cirebon. Dia
bertahan kira-kira setahun di tempat itu. Setelah itu baru dia bekerja di
Cikarang, baru tiga minggu dia bekerja di sana.
“Aku
tidak mau menghabiskan masa tua di sana,” tuturnya sebelum kami bertanya. Saya penasaran.
Jakarta, Bandung, Semarang, saya pernah ke sana, tapi Cikarang belum pernah.
Di
Cikarang, menurut Budi, kita akan menemukan banyak pabrik. Sebagian besar
masyarakat sana adalah pekerja, dan sebagian besar dari pekerja itu adalah juga
orang-orang Jawa yang merantau. Jadi memang orang pergi ke Cikarang hanya untuk
bekerja, mencari penghidupan yang lebih baik. Upah minimum di sana memang
relatif besar, dengar-dengar malah lebih besar dari Jakarta.
Soal
tempat nongkrong, di sana ada banyak dan harganya tidak mahal. Yang juga banyak
ditemui adalah karaoke, tentu dengan fasilitas plus plus. “Mungkin karena
pekerja stress dengan kerjaan mereka, satu-satunya hiburan adalah tempat
seperti itu,” katanya.
Budi
mengaku belum pernah mencoba layanan itu. Menurut dia, hal seperti itu tidak
menghibur. Kami berempat sepakat. Bagi Budi, hiburan dia kali ini adalah
melihat pemandangan hijau yang luas. Sejauh mata memandang adalah bukit-bukit
hijau. Sebenarnya tempat dia lahir dan besar penuh dengan pesona alam, kini dia
baru menyadari indahnya pemandangan seperti itu.
Sama
seperti Adiputro, Budi juga memilih untuk menghabiskan waktu libur akhir pekan
dengan menonton sejumlah film. Namun dia tidak bisa selalu melakukannya karena
pacarnya, Christiana, lebih senang untuk jalan-jalan daripada berdiam diri di
kos.
Di
Cikarang, Budi juga menemukan kenyamanannya. Selain karena jam kerja tertib
(Senin—Jumat; 8-17) gajinya juga lebih besar dari tempat dia sebelumnya
bekerja. Selain itu kantornya juga menyediakan fasilitas antar—jemput dari
tempat tinggal hingga kantor (dan sebaliknya) bagi karyawan.
●●●●
Kami
lalu berdiam dan tak menyimpulkan apa-apa dari perbincangan kami. Namun
diam-diam saya teringat dengan homili Imam ketika hari Kamis kemarin. Beliau memaknai
kata-kata dalam Alkitab “Hai orang Galilea, mengapa kamu berdiri di sini
memandang ke langit?” dengan permenungan yang—menurut saya—lumayan keren.
Konteksnya
adalah orang Galilea itu dipamiti Yesus. Yesus lalu naik ke langit, lalu mereka
memandangi langit terus. Tindakan mereka itu lalu ditegur oleh “dua orang
berpakaian putih” dengan menggunakan kata-kata tadi.
Imam
memaknai kata-kata itu (salah satunya) dengan ajaran bahwa kita tidak pantas
untuk memandang Yesus terus menerus. Cukup kita tahu Yesus telah bangkit, lalu
segeralah memandang ke diri kita sendiri dan ke depan—ke tugas dan perutusan
kita masing-masing. Kita ditantang untuk menemukan dan menghadirkan Tuhan dalam
karya kita.
Saya
lalu memandang ke diri kami. Dua dari kami sudah bekerja, sisanya masih kuliah.
Tugas perutusan dan karya kami akan tetap berbeda sampai kapanpun. Namun kami
punya kesamaan dalam hasrat bermusik dan hasrat menikmati Jogja.
Entah
akan bulan apa lagi kami berempat bisa berkumpul di studio musik. Yang saya
percayai, studio musik di Jogja akan jadi tempat kami pulang dari perantauan;
tempat kami kembali menemui kami.