Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2016

Dengan atau Tanpa Nama, Mari Kita Berjumpa !

via techbloke.com Banyak orang merasa perlu dikenal. Lalu nama (dan ‘nama’) menjadi begitu penting untuk mereka sebarkan dengan banyak cara: mulai dari cara yang halus dan elegan, sampai cara yang murahan dan umpak-umpakan . Tujuannya sama, supaya mereka tidak menjadi nobody di tengah kumpulan manusia yang plural ini; supaya mereka punya identitas. Namun janganlah jauh-jauh ke persoalan identitas, mari bicara dahulu soal nama. Para calon anggota legislatif menempelkan nama (termasuk foto dan nomor urut) mereka di setiap ruang publik. Nama anak digunakan sebagai merek bakpia di daerah Patuk, Jalan KS Tubun, Yogyakarta. Nama ibu atau nama sendiri (biasa pakai kata ‘mbok’) digunakan sebagai merek gudeg di banyak tempat di Yogyakarta. Kantor hukum dan law firm menggunakan nama besar pengacara sebagai merek mereka. Biasanya dua nama, atau satu nama saja dengan ditambahi ‘dan partner.’ Biasanya hlo ya. Di kalangan anak-anak nongkrong pun mereka saling bersalam...

Mengkritik Para Tukang Kritik

Sementara otak di belakang mata sibuk menyusun kalimat runtut dari semesta ide yang begitu chaos, jutaan informasi di Facebook malah sedang gemar bikin rusuh. Mereka, para anggota golongan yang dianggap pintar, tampaknya memang dituntut untuk melihat dari sisi lain. Dari akun Facebook itu mereka pamer pandangannya yang beda dari orang kebanyakan. Itu buruk? Itu bagus. Kita butuh bantuan untuk melepaskan diri dari jerat pandangan dominan yang seringkali angkuh dan dungu. Namun kadang kapasitas mereka kurang untuk itu. Sebenarnya sih pantas-pantas saja untuk punya pandangan berbeda. Asal.... asal mereka bisa menjelaskan argumennya dengan runtut dan terang. Bayangkan kalau tidak? Mereka tak beda dengan pemuda seusia SMA yang sedang nakal-nakalnya dan pokoknya “ waton beda ” kalau sedang dinasehati guru. Ya.. semacam inilah, orang-orang yang ikut-ikutan tokoh terhormat seperti Gus Dur yang senang bilang “Gitu aja kok repot?” Pastikan kapasitas intelektual kita seta...

Cakar Kucing

Cakar Kucing : katamu kau malu dengan kalungmu yang bernama? santailah dulu sobat.. biar kukatakan sajaksajak tentangmu, tentang puisi yang lamatlamat menyengat berlalulah tibatiba waktu  yang menuakan wajahmu; tempatku berhenti sejenak  dari memandang papan tulis  yang bau tinta spidol. aku singgah ke kedalaman matamu tempat kita sering duduk berjejer di kelas bahasa indonesia, atau kelas sejarah. sementara para begundal itu pilih berlelap di baris belakang tanganku pernah berdarah (persis dicakar kucing!) setelah gojeg kere denganmu di kelas agama.  sesampai di  asrama kotor itu barulah kutahu  di antara kancing ketiga  baju seragamku  juga ada darah. kini waktu mengeringkan darah membuatnya jadi subur dan apaapa yang disebar di sana akan tumbuh. dan kini aku juga punya rapalan mantra baru yang semoga tidak berlebihan. huhuhuhu .-. Jogjakarta, 20052016

Bacalah Saja, Ipul, Jangan Ragu-Ragu

Sumber: www.pinterest.com Ipul; pemuda aktivis surau yang tekun di desa sebelah. Sejak bangunan masih kecil, hingga kini bertingkat dua (karena bantuan dana dari calon anggota DPRD), dia masih jadi petugas yang bekerja tanpa pamrih. Dia tidak lulus SMP karena kurang pandai. Tiap hari dia berusaha baca Quran, tapi tetap tak satupun kata yang dia pahami. Namun dia tak jadi berandalan seperti kawan sebayanya. Dengan tutur halus dan suara lembut, dia memilih nongkrong di surau daripada menarik gas di motor-motor dua tak—sebagaimana dilakukan kawan-kawannya. Kelebihannya itu lalu disadari oleh kelompok bapak-bapak di desa. “Meski bodoh, Ipul itu tekun. Suaranya juga lembut. Bagaimana kalau dia kita jadikan pembaca pengumuman di surau? Warga pasti akan sangat senang tiap kali Ipul bicara,” usul seorang bapak berpeci lusuh. “Dia bodoh. Bagaimana orang bodoh bisa bicara lancar untuk mengumumkan? Janganlah tugas sepenting itu diberikan orang bodoh!” sanggah yang lain. ...

Rantau dan Studio Musik: Tempat Kami Menemui Kami

Seusai melepas rindu selama empat jam di studio musik, kami makan di burjoan dekat sana. Biasalah, tradisi alumnus mahasiswa Jogja. Kami (sebut saja Cahyadi, Adiputro, Budi, dan saya) makan sambil cerita banyak soal hidup yang sedang kami jalani. Khususnya, hidup yang sedang mereka jalani di luar Jogja, salah satu kota tempat mereka merasa pulang. Atmosfer besar yang melingkupi cerita mereka adalah mereka merasa enggan untuk pergi dari Jogja. H-sekian, belum beli tiket untuk pergi. Belakangan saya tahu kalau Budi langsung berangkat sore itu. Namun, mau tak mau, mereka harus pergi untuk melanjutkan hidup dan karya-karya mereka. » Bandung, Jawa Barat Saya awali dari Cahyadi. 1991 dia lahir dan besar di Duri, Riau. Semenjak 2006 dia merasakan hidup nyantri di sebuah asrama di Muntilan, Jawa Tengah. Lulus 2009, dia  lalu melanjutkan kuliah di Jogja. Di kota ini dia merasakan banyak kenyamanan dan kenangan yang pasti enggan dilupakan. Tahun 2015 dia bekerja beberapa bulan d...

#SaveJogja

Jogja sedang bermasalah. Ini bukan persoalan biasa yang dipandang warga dengan berlebihan. Jogja memang sedang bermasalah. Masalahnya bisa jadi masalah politik, kebudayaan, sosial, ataupun—yang seringkali disebut banyak orang dengan—kemelorotan moral generasi Y. Saya coba urai pemantik-pemantik besar yang (kebetulan saja) nyantol di kepala. Dimulai dari yang paling baru, yakni kesurupan massal yang dialami siswa Tangerang yang sedang berlibur ke Jogja. » Kesurupan Massal – Ketidaksopanan Wisatawan Kabarnya, mereka kesurupan karena ada salah satu dari kawan mereka yang iseng menggeser batu ketika mereka sedang berada di kawasan Candi Borobudur. Lihat akun Twitter @BerandaJogja untuk membaca lebih lanjut. Tengah malam itu juga siswa pelaku langsung diantar ke Candi Borobudur untuk mengembalikan lokasi batu yang dia geser. Tak lupa dia, dan orang-orang dewasa yang bertanggung jawab atasnya, “meminta maaf” atas ketidaksopanan yang dia lakukan. Ratusan akun Twitte...

Masturbasi yang Menggebu-gebu

Apa yang digelisahkan oleh Gie (dalam film “Gie”) kini nyata terjadi di depanku. Gie sinis pada kawan-kawan aktivis yang dulunya turut menumbangkan pemerintah, tapi lalu jadi pejabat di pemerintahan berikutnya. Perjuangan memperbaiki sistem dari dalam katamu? Ah. Segala alasan dan motif memang bisa dibuat(-buat). Konteks yang kualami tentu berbeda, tetapi narasi “penyeberangan” ini masih sama dan berulang terjadi. Seakan pengkhianatan dengan berbagai skala ini adalah pola-pola yang sudah mapan di semesta raya kita. Ini adalah tentang kawan semasa remaja (masa yang baru saja berakhir) yang menggebu-gebu. Mereka ikut demo ke sana ke mari bersama kawan mahasiswa yang bangga bertudung “aktivis.” Foto-foto ketika mereka berorasi dengan kaos merah disebar di akun-akun media sosialnya.  Mereka ikut diskusi pergerakan, rapat-rapat koordinasi untuk aksi, melahap buku-buku berbau Marxisme, turut menyanyi lagu “Darah Juang”, dan ya, sempat memanggil teman-temannya dengan sebutan ...