Selama dua hari kemarin saya berkesempatan untuk mengikuti refleksi RKKS (Rekoleksi Kesadaran dan Keterlibatan Sosial) di almamater saya.
Sekadar gambaran saja, RKKS merupakan program yang dirancang sekolah untuk meningkatkan kesadaran dan kepekaan sosial dalam diri murid-muridnya. Teknisnya adalah selama 5 hari 4 malam mereka harus tinggal bersama keluarga-keluarga yang perlu kerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, atau ditempatkan bersama pekerja (buruh), atau ditempatkan pada panti sosial (panti asuhan, panti jompo, dsb.)
Setelah 5 hari mengalami RKKS, para murid kembali berkumpul di sekolah untuk mengadakan refleksi, agar pengalaman berharga itu tidak hilang begitu saja.
3 tahun yang lalu saya sempat RKKS juga, namun ada satu hal yang tidak terekam dengan baik dalam memori saya, yaitu saat sesi Renungan Kebangsaan. Sesi ini merupakan rangkaian dari acara refleksi RKKS, ditempatkan di akhir refleksi. Terus terang, hal menarik dari Renungan Kebangsaan ini baru saya dapatkan ketika saya sudah menjadi alumnus dan mendampingi refleksi ini.
Kebetulan saya beberapa kali “terpaksa” melahap ilmu-ilmu sosial, terutama yang bertemakan gerakan perlawanan, revolutif, yang seringkali diidentikkan dengan istilah-istilah lain berbau “kiri”. Dengan bekal seperti itu saya tersentak ketika membaca beberapa tulisan dalam teks Renungan Kebangsaan.
Renungan Kebangsaan diawali dengan bersama-sama menyanyikan lagu dengan syair sebagai berikut:
Indonesia tanah air siapa
Katanya tanah air kita
Indonesia sejak empat lima
Janjinya rakyat sejahtera
Nyatanya hatiku bertanya
Petani digusur sawahnya
Buruh-buruh miskin dan sengsara
Korupsi ada di mana-mana
(gubahan dari lagu asli “Indonesia Pusaka” oleh Harry Roesli)