01 June 2011

Lawangsih Kala Itu


Jalan menuju ke sana cukup menanjak, panjang pula. Sayang sekali indahnya rimbunan daun di kanan kiri jalan tidak menambah kekuatan mesin kendaraan kami. Tapi tampaknya takdir membuat kami (dan kendaraan kami) untuk sampai di lokasi dengan selamat.

Awalnya Sidhi mengajak banyak teman-teman untuk ziarah. Tapi hari itu kami berangkat 6 orang saja termasuk saya. Mereka kumpul di kampus jam “9an” (gaya mahasiswa..), lalu meluncur ke lokasi setelah sebelumnya mampir sejenak di rumah.

Ada kejadian di jalan yang tidak saya ceritakan pada mereka. Sebenarnya saya sempat mengalami kesulitan ketika sampai di ruas jalan tanjakan panjang yang sebelumnya saya tulis. Yulia sampai-sampai turun dan jalan kaki hingga jalan lebih datar, sedangkan saya tetap naik sepeda motor dengan beratnya. Setelah sampai di tempat yang agak datar kami kembali naik berdua, sambil mengucap doa dalam hati. Untung tanjakan berikutnya tak seberat itu.

Untuk apa seseorang melakukan ziarah? Mengapa seseorang mau susah-susah datang ke tempat-tempat macam gua, gunung, bukit, laut, dsb. untuk berdoa? Saya pernah mendengar cerita mengapa orang datang ke tempat-tempat seperti itu untuk berdoa.

Konon manusia hendak mencari suatu terang dalam kehidupannya. Ketika mereka berdoa di tempat-tempat seperti itu kemudian mereka menemukannya. Mereka selanjutnya secara turun temurun menganggap terang itu berada di bukit, gunung, gua, dan laut. Padahal, konon Sang Pencipta meletakkan terang itu di dalam hati masing-masing manusia.

Lantas mengapa manusia menemukannya di tempat-tempat itu, bukan di tempat lain? Sebab di tempat seperti itu manusia menjadi kecil, dengan demikian manusia menyadari penuh kemanusiaannya, menjadi dirinya sendiri, bersentuhan dan berdamai dengan alam dan dirinya sendiri. Saat itulah manusia menemukan terang yang dicari-cari.

Itulah fungsi naratif, melalui cerita-cerita seperti ini manusia menjadi kaya akan pengalaman, meski tidak dialami sendiri. Benar atau tidak cerita itu bukan menjadi masalah penting dalam hal ini, yang penting seseorang harus mampu menjelajah dunia yang tak akan mampu dijelajahi orang lain: hati mereka sendiri.

Sampai di Gua Maria Lawangsih kami melihat ada beberapa orang berdoa di dekat patung Bunda Maria. Patung ini diletakkan di samping mulut gua, beratapkan tebing kapur yang masih basah. Semacam cekungan di tebing mungkin. Di sebelah kanan ada mulut gua lagi, rupanya tempat semadi.

Kami masuk, ternyata seperti lorong. Di ujung lorong diletakkan patung Yesus dan tempat lilin. Tempat itu terang karena lampu-lampu yang dipasang di dalam. Kami duduk di sana, bercanda sebentar. Kami bercanda di tempat doa, di gua yang baru pertama kali kami kunjungi. Entah layak atau tidak.

Setelah itu kami masing-masing duduk diam. Benar-benar hening, sampai-sampai di telinga hanya ada suara “ngiing..” panjang. Gesekan kulit tangan dan kaki pun terdengar. Belum pernah hingga sehening itu. Hening di tempat itu juga berbeda, dan saya tidak terlalu menikmatinya.

Kami keluar untuk berdoa di depan patung Bunda Maria. Tak lupa menyentuh air alami (air kapur) di sana. Dituliskan bahwa air itu adalah air suci. Mungkin memang berkhasiat dan menyehatkan, seperti yang ditulis dalam buku “The Power of Water”. Menurut penelitian yang dilakukan, air yang didoakan memang memiliki kualitas kristal yang lebih baik.

Pada suatu kesempatan kala itu saya mencoba memasuki ruang semedi sendiri. Entah mengapa rasanya tak tenang. Nafas tidak mampu menjadi teratur, begitu pula detak jantung yang kencang. Saya asal saja merem dan mengucapkan kata-kata ngawur dalam hati. Tak lama dari arah belakang terdengar suara batu jatuh dari atas. Cukup keras. Darah rasanya mengumpul di wajah, seluruh tubuh gemetar, merinding di sana sini. Saya sangat ketakutan rupanya. Apalagi saya di dalam sendirian! Kalau saya anjing, saya yakin sudah ada ekor di antara kaki belakang saya.

Tak disangka ada kejadian seperti itu. Saya tidak berpanjang-panjang dengan mengaitkannya dengan hal yang tidak-tidak, seperti yang banyak dilakukan orang Jawa dan suku lain yang dekat dengan dunia mistik. Setelah sempat menenangkan diri beberapa menit, saya anggap itu sebagai pengalaman yang sudah lewat dan dibiarkan lewat, seperti banyak pengalaman menakutkan lain.

Sekitar pukul 14.00 kami beranjak dari tempat itu untuk cari makan. Sebelumnya kami menikmati roti dulu, tak lupa kacang kulit dari rumah. Perjalanan pulang terasa lebih ringan. Namun setelah itu ada yang aneh, ada yang berubah. Entah bertambah, atau berkurang, atau bisa saja berganti. Entah apa itu.

Saya hanya menyesalkan satu hal: tidak mampu menjadi hening di tempat seperti itu. Tapi semoga ketidakmampuan untuk hening tidak mempengaruhi keputusanNya untuk mengabulkan permohonan pribadi. Semoga permohonan Yulia, Sidhi, Vita, Warih, dan Rosa juga dikabulkan. Terimakasih karena menjadi teman seperjalanan.

Oh ya, perjalanan masih panjang. Mungkin juga berat. Bisa jadi perjalanan menjadi diringankan, tetapi bersiaplah ketika Dia ingin kita yang menjadi lebih kuat menempuh jalan yang itu. Sampai jumpa di semester V! (*)

Note: Foto-foto ada di sini

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain