Pria muda dengan logat Jawa yang kental itu sangat percaya diri berbicara di depan altar. Dia banyak bicara tentang Tuhan yang dia sembah. Tuhan yang … begitulah.
(Suatu hari Minggu)
Biasanya romo yang memberi khotbah ketika misa, namun kali ini yang banyak bicara adalah pria itu. Hari itu bukan hari minggu biasa, sebab Gereja Katolik merayakan hari Santo Ignatius dari Loyola yang juga merupakan pendiri Syarekat Jesus.
Pria ini diundang sebab dia mengikuti suatu komunitas yang mendalami ajaran Ignatius, ajarannya kalau tidak salah disebut Ignasian. Melalui ajaran itu dia mencoba untuk lebih mengenal Tuhan yang selama ini dia sembah-sembah.
Caranya? Dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di komunitas tersebut. Salah satu kegiatannya adalah berjalan selama 3 hari 2 malam menuju ke tempat peziarahan tertentu dengan bekal yang amat sangat minim. Mau makan, minta orang di jalan. Mau minum, juga minta orang di jalan.
Minta orang? Ya. Dengan kata lain ya ngemis. Relakah orang muda, kuat, berapi-api, ide cemerlang, tapi ngemis di jalan?
Kegiatan ini dilakukan untuk melatih kepasrahan sepenuhnya kepada Tuhan. Mungkin maksudnya adalah Tuhan hadir melalui hati dan tangan orang-orang yang memberi mereka makan dan minum.
Kemudian pria itu menceritakan juga pengalaman ketika dia berangkat ke Australia mewakili komunitasnya. Dia bercerita bagaimana perjuangan dan permenungannya ketika mengumpulkan sejumlah uang untuk keperluan ke negeri kangguru itu.
Satu hal yang saya tekankan adalah dia mau untuk merefleksikan diri. Dia mau berhenti sejenak untuk memikirkan diri sendiri, untuk masuk ke dalam perasaan yang muncul, untuk memunculkan kembali dalam hati apa-apa saja yang baru dia alami.
Refleksi namanya. Ketika SMA saya mendapat banyak rekoleksi, live in, homestay, OPP, dan sebagainya. Selama acara itu kami dituntut untuk membuat refleksi dari hari ke hari, bukan sekadar catatan harian atau bahkan catatan kegiatan.
Namun berapa persen yang benar-benar membuat refleksi? Tak banyak saya kira, termasuk saya. Rasanya malas, apalagi untuk tekun seperti itu. Dan inilah sebuah kelemahan. Ketidakmampuan untuk melihat diri sendiri adalah sebuah penyakit yang menggerogoti dari dalam.
Melalui refleksi, pria itu kemudian menemukan sendiri apa permasalahannya. Dengan refleksi dan niat yang kuat akhirnya dia bisa menaklukkan tembok yang selama ini sudah dibangunnya sendiri. Tembok yang membuat dia berhenti dan berputar balik.
Selama melakukan usaha menaklukkan tembok itu dia sering terjatuh. Dan ketika dia terjatuh inilah gambaran tentang Tuhan muncul dalam pikirannya.
Apa yang biasa dilakukan orang tua ketika anaknya yang masih kecil dan lemah terjatuh? Banyak yang membiarkan anaknya untuk berdiri sendiri, namun lebih banyak lagi yang kemudian membantu berdiri, menggendong, dan memberi ruang dan kesempatan bagi si anak untuk kemudian menangis.
Sedangkan Tuhan yang dia sembah? Pria itu mengatakan bahwa ketika dia terjatuh, Tuhan ada di sudut ruangan. Dia hanya memperhatikan pria itu, sambil tersenyum.
Entah refleksi seperti apa yang membuat pria itu kemudian memunculkan gambaran Tuhan yang seperti itu. Setidaknya dia sudah membuat gambaran Tuhannya sendiri.
Cerita itu tadi diawali dengan pertanyaan “Siapakah Tuhan?”. Pria itu sudah menemukan, sedangkan saya belum. Kalau pertanyaan itu dilontarkan bulan-bulan lalu saya akan jawab, “Tuhan adalah konsep yang dibuat oleh manusia.” Hanya itu saja.
Namun pemikiran itu membuat hidup menjadi semacam kering. Ada yang tidak mendapat perhatian dalam diri. Ya.. mungkin bisa dikatakan saya ini sedang membuat refleksi, meski tak sedalam pria itu. Kalau iya, mungkin sosok di sudut ruangan itu sedang tersenyum melihat Anda dan saya membaca tulisan ini.
No comments:
Post a Comment