29 July 2011

Sriwedari



Dari Mojosongo kami meluncur perlahan ke Sriwedari. Di sana sudah menunggu seorang bapak  berumur 48 tahun dan putranya berumur 9 tahun.

Kala itu adalah malam Minggu. Ketika banyak orang keluar rumah dengan tujuan yang relatif  sama. Jalanan sedikit ramai di sekitar Sriwedari. Keramaian lebih nampak lagi ketika kami masuk ke dalam.


Di sana ada acara dangdut, hiburan rakyat, berjualan makanan, dan sebagainya. Bersama bapak-anak tadi saya masuk ke tempat pertunjukan wayang orang. Kami terlambat kira-kira 1 jam dari awal mulainya.

Belakangan saya pikir keterlambatan ini tak jadi soal, karena saya –yang orang Jawa ini—tak paham dengan jalan ceritanya, apalagi dengan dialog-dialog yang diucapkan oleh wayang-wayang ini.

Kami (Pak Agus, Andaru, Indah, dan saya) duduk di balkon. Tidak banyak orang di balkon, tapi tidak ada penyejuk udara seperti di bawah. Dari balkon semua pertunjukan wayang terlihat jelas.

Saya jadi membayangkan, mungkin seperti ini rasanya menjadi dewa di angkasa sana. Melihat tingkah polah manusia di bawah, ketika hanya ada beberapa yang mampu membedakan benar dan salah dengan segala kewaskitaannya.


Dewa-dewa ini menertawakan manusia. Manusia tidak paham juga apa yang ditertawakan – mungkin malah tidak tahu kalau dewa tertawa.

Lamunan ini buyar seketika. Seiring dengan lampu dalam gedung yang menyala, pertanda pertunjukan sudah berakhir. Waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB.

Kami pulang kemudian. Keluarga bahagia tadi kembali ke Mojosongo, saya ke Colomadu, dan kembali menjadi manusia. Manusia di panggung yang lain.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain