Kala itu menempuh jalan Yogyakarta – Surakarta tak seberat biasanya, padahal matahari tepat di atas kepala hingga hampir tak nampak bayangan di sekitar kendaraan.
Mojosongo adalah tujuan pertama, tujuan berikutnya adalah Simo, Boyolali. Mereka menyebut tempat ini sebagai desa. Mungkin karena banyak sawah, dan daerahnya cukup dingin. Tujuan bepergian yang menarik untuk orang-orang yang tiap harinya berkawan dengan asap kendaraan di kota sana.
Keramahan yang didapat di Simo langsung merasuk, membuat tiap orang berpikir ulang untuk melanjutkan perjalanan. Suasananya sejuk, sekaligus hangat, sehangat sinar senja yang berlomba-lomba dengan kami.
Ketika gelap mulai menyergap, ritual pembersihan diri (baca: mandi) harus segera dilakukan. Sama seperti di tempat lain dengan kondisi alam yang serupa, setelah gelap tiap orang biasanya masuk rumah, tutup pintu, dan beraktivitas di dalam.
Ada kehangatan keluarga di depan televisi. Sementara sinetron muncul di dalamnya. Kami tak hanya menonton satu, dua sekaligus. Mulut-mulut tak tahan berkomentar mengenai keanehan cerita, pose-pose tubuh yang tidak sesuai dengan shot sebelumnya, dan sebagainya.
Sayang sekali, narasi-narasi cinta di sinetron itu tak setulus yang dibuat oleh orang-orang di sekeliling: seorang nenek, seorang tante, empat orang kakak adik yang luar biasa, dan menyusul kedua orang tua mereka.
Pukul 20.00 adalah saat biasa beraktivitas di luar rumah. Jalan-jalan, ngobrol di kampus, makan malam, dan sebagainya. Biasa orang mengatakan: masih sore. Tapi di desa? Rasanya seperti sudah jam 11 malam. Sepi dan mengantuk.
Tak ada kenangan yang lebih indah ketika berada di antara enam anggota keluarga yang tidur di depan televisi di ruang keluarga. Muncul sekelumit kesadaran akan apa yang membuat hangat dalam ruangan ini, tentu bukan selimut yang membalut.
Esok hari adalah saat yang tepat untuk duduk di depan keren (kompor kayu bakar). Hangat, dan menenangkan, meski berasap. Ini tak mungkin dilakukan di depan gas hijau atau gas biru.
Kemudian roda kembali berputar, perlahan, dan tenang. Seiring dengannya, roda sepeda juga mengantar tubuh ke arah Yogyakarta kembali. Angin yang menerpa sepanjang sawah seakan mengatakan: “Kembalilah.”
“Pasti”, jawabku.
No comments:
Post a Comment