Skip to main content

Loyalitas


(hati-hati – ini spam)
Refleksi selama dua tahun saya menjalani kuliah yang pahit ini menunjukkan bahwa: saya tidak punya loyalitas. Dari beragam versi makna dari loyalitas yang mungkin anda ketahui, saya anggap loyalitas bermakna kesetiaan. (loyal=setia)


Berangkat dari makna yang sudah diberikan tadi, maka saya anggap loyalitas berkaitan dengan kepatuhan. Patuh terhadap apa (siapa) ? Bisa terhadap sistem, bisa terhadap orang yang memiliki wewenang untuk mengatur sistem, bisa apa dan siapa saja.

Dua tahun ini saya punya teman-teman luar biasa (mereka penawar rasa pahit) yang dengan rela memberi saya kesempatan untuk TA (titip absen). Bukan hal yang luar biasa lagi memang untuk mahasiswa, apalagi untuk mahasiswa gadungan seperti saya.

Mereka-mereka yang menganggap diri sebagai garda terdepan dari pergerakan masyarakat ini mungkin TA ketika melakukan aksi, turun ke jalan, atau diskusi bersama LSM atau perserikatan buruh. Saya? Paling motor-motoran keliling kota, atau ketemu pacar.

Tak hanya di kuliah, teman-teman seorganisasi dengan saya juga tahu, saya suka bolos rapat atau sekadar pertemuan. Jadwal sudah ditetapkan, SMS juga sudah disebar, tetap saja saya bolos. Esok harinya ketika bertemu kemudian menganggap tak terjadi apa-apa, biasa saja.

Intinya, saya tidak loyal, yang artinya juga tidak setia, yang artinya juga tidak patuh. Pertanyaan yang muncul adalah: mengapa tidak loyal?

Karena tak tahu, tak mau tahu, atau tak mengenal apa substansi dari sesuatu yang - - seharusnya atau tidak - - dikenai loyalitas itu tadi.

Orang yang loyal barangkali tidak disukai dalam suatu komunitas atau organisasi. Artinya saya berpotensi untuk itu. Ya kita lihat saja, ketidakloyalan ini membawa hidup ini ke arah yang seperti apa.

Oh ya, barangkali saya juga masih loyal, loyal terhadap ketidakloyalan. Let us see.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.