(hati-hati – ini spam)
Refleksi selama dua tahun saya menjalani kuliah yang pahit ini menunjukkan bahwa: saya tidak punya loyalitas. Dari beragam versi makna dari loyalitas yang mungkin anda ketahui, saya anggap loyalitas bermakna kesetiaan. (loyal=setia)
Berangkat dari makna yang sudah diberikan tadi, maka saya anggap loyalitas berkaitan dengan kepatuhan. Patuh terhadap apa (siapa) ? Bisa terhadap sistem, bisa terhadap orang yang memiliki wewenang untuk mengatur sistem, bisa apa dan siapa saja.
Dua tahun ini saya punya teman-teman luar biasa (mereka penawar rasa pahit) yang dengan rela memberi saya kesempatan untuk TA (titip absen). Bukan hal yang luar biasa lagi memang untuk mahasiswa, apalagi untuk mahasiswa gadungan seperti saya.
Mereka-mereka yang menganggap diri sebagai garda terdepan dari pergerakan masyarakat ini mungkin TA ketika melakukan aksi, turun ke jalan, atau diskusi bersama LSM atau perserikatan buruh. Saya? Paling motor-motoran keliling kota, atau ketemu pacar.
Tak hanya di kuliah, teman-teman seorganisasi dengan saya juga tahu, saya suka bolos rapat atau sekadar pertemuan. Jadwal sudah ditetapkan, SMS juga sudah disebar, tetap saja saya bolos. Esok harinya ketika bertemu kemudian menganggap tak terjadi apa-apa, biasa saja.
Intinya, saya tidak loyal, yang artinya juga tidak setia, yang artinya juga tidak patuh. Pertanyaan yang muncul adalah: mengapa tidak loyal?
Karena tak tahu, tak mau tahu, atau tak mengenal apa substansi dari sesuatu yang - - seharusnya atau tidak - - dikenai loyalitas itu tadi.
Orang yang loyal barangkali tidak disukai dalam suatu komunitas atau organisasi. Artinya saya berpotensi untuk itu. Ya kita lihat saja, ketidakloyalan ini membawa hidup ini ke arah yang seperti apa.
Oh ya, barangkali saya juga masih loyal, loyal terhadap ketidakloyalan. Let us see.
No comments:
Post a Comment