20 August 2014

Ini Cinta? Bukan, Itu Cinta.

“Hai, pemuda. Kemari kau.”

“Sahaya, Tuan.”

“Apa kau cinta negerimu--Indonesia?”

“Tak ada yang lebih sahaya
cintai dari negeri ini, Tuan.”

“Bagaimana kau nyatakan cinta itu?”

“Sahaya naik gunung bersama kawan.
Kami rayakan proklamasi dengan
upacara bendera di puncak.
Tepat pukul 10 pagi, Tuan.”

“Kau apakan bendera itu?”

“Sahaya cium. Sahaya beri hormat.
Sahaya angkat tinggi-tinggi,
biar berkelebat disapa angin.
Sudah merdeka negeri ini, Tuan!”

“Untuk apa kau lakukan itu?”

“Rasa nasionalisme membuncah
ketika begitu, Tuan.
Untuk mengenangnya,
sahaya minta kawan
memotret dengan baiknya.”

“Begitu kau ungkapkan cintamu?”

“Sahaya, Tuan. Tak lupa sahaya bagikan
kenangan itu ke dunia maya, Tuan.
Orang-orang perlu tahu,
pemuda ini punya cinta
begitu murni pada ibu pertiwi.
Naik gunung hanya untuk upacara
di puncak pun dilakoni.”

“Untuk apa orang harus tahu?”

“Gong ada karena bunyi dan gaungnya.
Ampun, Tuan, tapi cinta juga harus
dinyatakan dengan begini.
Supaya terdengar oleh orang,
terlihat oleh orang.”

“Hahahahahahaha..”

“Hahahahahahaha..”

“Baiklah. Selamat tinggal, pemuda.
Bukan maksudku mengutuk,
tapi negara dengan pemuda-pemuda
sepertimu adalah negara
yang kehilangan pribadi.”

“Tuan! Tuan mau ke mana?
Ini sahaya bawakan edelweis,

bunga abadi dari puncak.”

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain