Skip to main content

Ini Cinta? Bukan, Itu Cinta.

“Hai, pemuda. Kemari kau.”

“Sahaya, Tuan.”

“Apa kau cinta negerimu--Indonesia?”

“Tak ada yang lebih sahaya
cintai dari negeri ini, Tuan.”

“Bagaimana kau nyatakan cinta itu?”

“Sahaya naik gunung bersama kawan.
Kami rayakan proklamasi dengan
upacara bendera di puncak.
Tepat pukul 10 pagi, Tuan.”

“Kau apakan bendera itu?”

“Sahaya cium. Sahaya beri hormat.
Sahaya angkat tinggi-tinggi,
biar berkelebat disapa angin.
Sudah merdeka negeri ini, Tuan!”

“Untuk apa kau lakukan itu?”

“Rasa nasionalisme membuncah
ketika begitu, Tuan.
Untuk mengenangnya,
sahaya minta kawan
memotret dengan baiknya.”

“Begitu kau ungkapkan cintamu?”

“Sahaya, Tuan. Tak lupa sahaya bagikan
kenangan itu ke dunia maya, Tuan.
Orang-orang perlu tahu,
pemuda ini punya cinta
begitu murni pada ibu pertiwi.
Naik gunung hanya untuk upacara
di puncak pun dilakoni.”

“Untuk apa orang harus tahu?”

“Gong ada karena bunyi dan gaungnya.
Ampun, Tuan, tapi cinta juga harus
dinyatakan dengan begini.
Supaya terdengar oleh orang,
terlihat oleh orang.”

“Hahahahahahaha..”

“Hahahahahahaha..”

“Baiklah. Selamat tinggal, pemuda.
Bukan maksudku mengutuk,
tapi negara dengan pemuda-pemuda
sepertimu adalah negara
yang kehilangan pribadi.”

“Tuan! Tuan mau ke mana?
Ini sahaya bawakan edelweis,

bunga abadi dari puncak.”

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.