23 August 2014

Merefleksikan Netralitas Media

Gambar ilustrasi diambil dari www.slideshare.net

Sastrawan dan jurnalis senior Goenawan Mohamad pernah berkicau,“Pers tidak harus netral dalam politik—dan ini sudah tradisi Indonesia sejak zaman pergerakan. Yang penting: pers jangan berbohong.”

Kutipan tersebut mengantarkan kita untuk melihat permasalahan dalam konten media, terutama televisi, di Indonesia pada masa menjelang pemilihan presiden ini. Pasalnya, kritikan terhadap ketidaknetralan media bermunculan dari berbagai lapisan masyarakat. Kritik berdatangan mulai dari obrolan warung kopi yang penuh spekulasi hingga laporan secara presisi yang dirilis sebuah lembaga riset.

Dari pengamatan di media sosial, kita dengan mudah menemukan kecenderungan netizen mengkritik media yang memihak salah satu calon presiden (capres). Mereka mengkritik TV One yang mendukung Capres Prabowo dan Metro TV yang mendukung Capres Jokowi. Meski tanpa data yang sahih, netizen dapat merasakan dengan jelas ketika mengakses kedua stasiun televisi tersebut.

Rilis riset yang dikeluarkan Remotivi, Jumat (4/7), menguatkan dugaan dukungan media tadi. Lewat hasil riset tersebut Remotivi mengingatkan publik bahwa Prabowo didukung oleh dua grup media (Grup Viva dan MNC), sedangkan Jokowi didukung oleh Metro TV. Dukungan tersebut dicatat dalam bentuk berita, iklan, dan program nonberita.

Dalam konteks berita, Remotivi mencatat masing-masing media dengan sangat tidak seimbang memberitakan hal positif milik capres dukungan dan menyerang hal negatif milik capres lawan. Selain masalah positif-negatif, frekuensi berita juga menguatkan kesan media-media ini menciptakan ketimpangan. (Anda bisa mengakses rilis di www.remotivi.or.id)

Kesimpulan Remotivi tergolong keras, meski tidak mengejutkan publik. ”..agenda televisi adalah agenda elit. Televisi gagal menjadi ruang publik yang mampu mengetengahkan persoalan-persoalan publik yang penting kecuali sebatas mengikuti rangkaian kegiatan pemilu yang telah ditetapkan KPU,” tulis mereka dalam rilis.

Kritikan tentang netralitas media juga datang dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X. Sri Sultan menegaskan bahwa seharusnya media massa bersifat netral, tidak memihak salah satu capres. Pernyataan ini muncul setelah adanya aksi coret-coret di kantor TV One Biro Yogyakarta oleh simpatisan partai PDIP yang keberatan dengan isi pemberitaan.

Media harus netral?
Sebagai publik yang kritis, kita pantas mempertanyakan kembali dalil ‘media massa harus netral.’ Di sisi lain, publik tentu sepakat media harus independen. Namun masalahnya, saya khawatir kata netral dan independen sering dipertukarkan dengan semena-mena dalam diskusi dan perdebatan di ruang publik. Padahal, kedua kata itu perlu dimaknai berbeda.

Netral sering dimaknai dengan berada di posisi tengah, tidak condong ke arah politik manapun. Adapun, independen perlu dimaknai sebagai kemandirian redaksi untuk menentukan sikap dan mengambil keputusan. Artinya, keputusan di ruang redaksi harus bersih dari segala macam intervensi yang berasal dari kepentingan bisnis ataupun politik.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme menuliskan, “Tidak memihak atau netral bukanlah prinsip inti jurnalisme.” Hal ini senada dengan kutipan Goenawan Mohamad yang saya cantumkan di atas. Mereka, yang sama-sama tersohor di bidang pers, memberikan pandangan lain kepada publik yang telanjur percaya bahwa media harus netral.

Media memang memungkinkan untuk mendukung salah satu pihak dalam politik. Bagaimanapun juga media memiliki sikap politik tertentu yang merupakan kepanjangan dari ideologi dan prinsip yang mereka anut masing-masing. Masalahnya, bagaimana publik tahu sebuah media tetap independen meski mendukung salah satu pihak?

Kita perlu tahu ada prinsip-prinsip lain dalam jurnalisme yang tidak bisa dikompromikan. Wartawan, dalam kerja jurnalismenya, harus mematuhi prinsip independensi, jujur, disiplin verifikasi, dan proporsional. Ketika prinsip tersebut tampak jelas terbaca dalam berita-berita, saya yakin keberpihakan media menjadi fenomena yang diterima dalam kehidupan demokrasi.

Meski demikian, saya  yakin publik akan masih sulit menerima keberpihakan media. Terutama jika melihat kondisi media di Indonesia yang minim verifikasi dan terindikasi kuat tidak independen. Namun setidaknya publik harus sadar betul, media tidak berada dalam ruang hampa. Media berada di dalam ruangan penuh tarik menarik kepentingan dan agenda publik. Biarkan media menunjukkan keberpihakannya, tapi siapkan tangan kita untuk “menjewer” ketika media jadi tidak independen, apalagi jadi tempat penebar fitnah.


..dikarang di yogyakarta,
bulan tujuh hari empat..

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain