Gambar ilustrasi diambil dari www.slideshare.net |
Sastrawan dan jurnalis senior Goenawan
Mohamad pernah berkicau,“Pers tidak harus netral dalam politik—dan ini sudah
tradisi Indonesia sejak zaman pergerakan. Yang penting: pers jangan berbohong.”
Kutipan tersebut mengantarkan kita untuk
melihat permasalahan dalam konten media, terutama televisi, di Indonesia pada
masa menjelang pemilihan presiden ini. Pasalnya, kritikan terhadap
ketidaknetralan media bermunculan dari berbagai lapisan masyarakat. Kritik
berdatangan mulai dari obrolan warung kopi yang penuh spekulasi hingga laporan
secara presisi yang dirilis sebuah lembaga riset.
Dari pengamatan di media sosial, kita
dengan mudah menemukan kecenderungan netizen mengkritik media
yang memihak salah satu calon presiden (capres). Mereka mengkritik TV One yang
mendukung Capres Prabowo dan Metro TV yang mendukung Capres Jokowi. Meski tanpa
data yang sahih, netizen dapat merasakan dengan jelas ketika
mengakses kedua stasiun televisi tersebut.
Rilis riset yang dikeluarkan Remotivi,
Jumat (4/7), menguatkan dugaan dukungan media tadi. Lewat hasil riset tersebut
Remotivi mengingatkan publik bahwa Prabowo didukung oleh dua grup media (Grup
Viva dan MNC), sedangkan Jokowi didukung oleh Metro TV. Dukungan tersebut
dicatat dalam bentuk berita, iklan, dan program nonberita.
Dalam konteks berita, Remotivi mencatat
masing-masing media dengan sangat tidak seimbang memberitakan hal positif milik
capres dukungan dan menyerang hal negatif milik capres lawan. Selain masalah
positif-negatif, frekuensi berita juga menguatkan kesan media-media ini
menciptakan ketimpangan. (Anda bisa mengakses rilis di www.remotivi.or.id)
Kesimpulan Remotivi tergolong keras, meski
tidak mengejutkan publik. ”..agenda televisi adalah agenda elit. Televisi gagal
menjadi ruang publik yang mampu mengetengahkan persoalan-persoalan publik yang
penting kecuali sebatas mengikuti rangkaian kegiatan pemilu yang telah
ditetapkan KPU,” tulis mereka dalam rilis.
Kritikan tentang netralitas media juga
datang dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Sri Sultan menegaskan bahwa seharusnya media massa bersifat netral, tidak
memihak salah satu capres. Pernyataan ini muncul setelah adanya aksi
coret-coret di kantor TV One Biro Yogyakarta oleh simpatisan partai PDIP yang
keberatan dengan isi pemberitaan.
Media harus netral?
Sebagai publik yang kritis, kita pantas
mempertanyakan kembali dalil ‘media massa harus netral.’ Di sisi lain, publik
tentu sepakat media harus independen. Namun masalahnya, saya khawatir kata
netral dan independen sering dipertukarkan dengan semena-mena dalam diskusi dan
perdebatan di ruang publik. Padahal, kedua kata itu perlu dimaknai berbeda.
Netral sering dimaknai dengan berada di
posisi tengah, tidak condong ke arah politik manapun. Adapun, independen perlu
dimaknai sebagai kemandirian redaksi untuk menentukan sikap dan mengambil
keputusan. Artinya, keputusan di ruang redaksi harus bersih dari segala macam
intervensi yang berasal dari kepentingan bisnis ataupun politik.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Sembilan
Elemen Jurnalisme menuliskan, “Tidak memihak atau netral bukanlah
prinsip inti jurnalisme.” Hal ini senada dengan kutipan Goenawan Mohamad yang
saya cantumkan di atas. Mereka, yang sama-sama tersohor di bidang pers,
memberikan pandangan lain kepada publik yang telanjur percaya bahwa media harus
netral.
Media memang memungkinkan untuk mendukung
salah satu pihak dalam politik. Bagaimanapun juga media memiliki sikap politik
tertentu yang merupakan kepanjangan dari ideologi dan prinsip yang mereka anut
masing-masing. Masalahnya, bagaimana publik tahu sebuah media tetap independen
meski mendukung salah satu pihak?
Kita perlu tahu ada prinsip-prinsip lain
dalam jurnalisme yang tidak bisa dikompromikan. Wartawan, dalam kerja
jurnalismenya, harus mematuhi prinsip independensi, jujur, disiplin verifikasi,
dan proporsional. Ketika prinsip tersebut tampak jelas terbaca dalam
berita-berita, saya yakin keberpihakan media menjadi fenomena yang diterima
dalam kehidupan demokrasi.
Meski demikian, saya yakin publik
akan masih sulit menerima keberpihakan media. Terutama jika melihat kondisi
media di Indonesia yang minim verifikasi dan terindikasi kuat tidak independen.
Namun setidaknya publik harus sadar betul, media tidak berada dalam ruang
hampa. Media berada di dalam ruangan penuh tarik menarik kepentingan dan agenda
publik. Biarkan media menunjukkan keberpihakannya, tapi siapkan tangan kita
untuk “menjewer” ketika media jadi tidak independen, apalagi jadi tempat
penebar fitnah.
..dikarang di yogyakarta,
bulan tujuh hari empat..
No comments:
Post a Comment