18 August 2014

Penjual Sate dan Jilat Api yang Dia Padamkan

Hampir tiap malam saya melewati penjual sate ayam di dekat tempat tinggal. Seperti ‘bakul sate’ kebanyakan, mereka adalah orang Madura. Sudah beberapa tahun mereka berjualan di depan rumah seorang warga yang merelakan conblock di depan rumah menjadi kehitaman karena aktivitas ini.

Sate mereka cukup menggugah rasa, itulah kenapa hampir tiap malam selalu dipenuhi orang mengantre. Saya yakin orang-orang itu sudah menelan ludah melihat daging yang setengah matang di atas bara. Dengar-dengar, hampir tiap malam pula mereka pulang hanya membawa sisa arang yang tak habis terbakar.

Keluarga ini begitu sederhana. Bapak sudah tua, sedang ibu masih terlihat muda. Mereka dikaruniai tiga orang anak, laki-laki semua. Sekitar dua tahun yang lalu saya terlibat obrolan cukup sensitif dengan sang ibu.

“Anak-anakku itu sulit untuk saya atur. Mereka hanya takut sama bapaknya,” katanya dalam bahasa Jawa logat Madura.

Dia bercerita sambil mengipasi bara. Katanya, arang itu harus tetap jadi bara, jangan sampai ada jilat api. Jilat api itu malah bikin daging jadi gosong, bukan matang. Sesekali dia membetulkan kain yang dililit di kepalanya sambil mengusap peluh. Sejenak saya teringat cerita tentang orang Madura yang katanya kasar, tidak tahu aturan, tamak, dan pemalas. Sungguhkah cerita itu?

Cerita, lebih tepatnya curhatan, tentang keluarga penjual sate masih berlanjut. Dia banyak memikirkan anak tertuanya yang kira-kira seumuran dengan saya. Kita sebut saja anak itu Badri. Dia sudah tidak sekolah, bekerja juga tidak.

Saya tanya, apa putranya tidak mau membantu bapak ibunya berjualan sate tiap malam begini? “Bantu, mas. Mendorong gerobak ini dari rumah kemari,” katanya. Badri, lanjutnya, hanya suka tidur-tiduran di rumah. Setelah membantu mendorong gerobak ini lalu dia keluyuran pergi. Entah ke rumah temannya, entah pacaran.

Betul. Anda tak salah baca. Badri, anak penjual sate, dia tidak sekolah, tidak bekerja, tapi dia pacaran. Ibu penjual sate juga cerita, sudah minta dikawinkan dengan pacarnya.

Malam itu saya pamitan sambil bawa tiga bungkus sate ayam dan irisan lontong. Juga cerita dan keluhan tentang keluarga penjual sate. Di belakang saya, ibu itu masih mengipasi bara. Di depannya ada sekitar tiga orang yang antre.

***

Puluhan purnama lewat sudah. Saya masih lewat depan penjual sate, sambil sesekali melirik. Tak jarang saya mengingat apa-apa yang sudah pernah dia bagi. Ada pemandangan yang beda beberapa bulan ini, hanya baru kali ini saya menulisnya.

Ibu dan bapak masih sama, mengipas bara dan membungkus sate. Yang berbeda, di sekitar gerobak penjual sate ini tampak ada lebih banyak orang yang bukan sedang antre. Mereka biasanya dua orang, laki-laki dan perempuan. Dari gaya berpakaiannya, mereka orang muda atau masih abege.

Suatu malam saya melihat mereka duduk lekat dan mesra di atas tikar. Kalau saya tidak salah lihat, mereka saling menukar cumbu. Di sampingnya ada bapak dan ibu penjual sate yang terus saja bekerja. Mereka jarang terlihat menggantikan untuk mengipas sate, atau sekadar meletakkan sate-sate itu dalam bungkusan yang layak dibawa pembeli pulang.

Malam-malam berikutnya saya masih lewat sana. Kondisi masih sama. Bahkan, ketika saya pulang agak larut, kedua orang muda itu tidur berpelukan di atas tikar. Bapak dan ibu penjual sate masih duduk di dekat panggangan. Di dalam gerobak terlihat masih ada beberapa tusuk sate. Mungkin masih sisa dua atau tiga porsi lagi yang bisa dijual sebelum mereka pulang.

Saya hanya takut membayangkan mereka yang agak tidak tahu diri itu Badri dan istri. Jika bayangan ini terwujud, saya takut akan ada bara dalam keluarga penjual sate. Saya hanya berharap tetap ada yang mengipasi arang, agar tidak muncul jilat api yang menghanguskan mereka semua.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain