Hampir tiap malam saya melewati penjual sate ayam di
dekat tempat tinggal. Seperti ‘bakul sate’ kebanyakan, mereka adalah orang
Madura. Sudah beberapa tahun mereka berjualan di depan rumah seorang warga yang
merelakan conblock di depan rumah
menjadi kehitaman karena aktivitas ini.
Sate mereka cukup menggugah rasa, itulah kenapa hampir tiap malam selalu dipenuhi orang mengantre. Saya yakin orang-orang itu sudah menelan ludah melihat daging yang setengah matang di atas bara. Dengar-dengar, hampir tiap malam pula mereka pulang hanya membawa sisa arang yang tak habis terbakar.
Sate mereka cukup menggugah rasa, itulah kenapa hampir tiap malam selalu dipenuhi orang mengantre. Saya yakin orang-orang itu sudah menelan ludah melihat daging yang setengah matang di atas bara. Dengar-dengar, hampir tiap malam pula mereka pulang hanya membawa sisa arang yang tak habis terbakar.
Keluarga ini begitu sederhana. Bapak sudah tua,
sedang ibu masih terlihat muda. Mereka dikaruniai tiga orang anak, laki-laki
semua. Sekitar dua tahun yang lalu saya terlibat obrolan cukup sensitif dengan
sang ibu.
“Anak-anakku itu sulit untuk saya atur. Mereka hanya
takut sama bapaknya,” katanya dalam bahasa Jawa logat Madura.
Dia bercerita sambil mengipasi bara. Katanya, arang
itu harus tetap jadi bara, jangan sampai ada jilat api. Jilat api itu malah
bikin daging jadi gosong, bukan matang. Sesekali dia membetulkan kain yang
dililit di kepalanya sambil mengusap peluh. Sejenak saya teringat cerita
tentang orang Madura yang katanya kasar, tidak tahu aturan, tamak, dan pemalas.
Sungguhkah cerita itu?
Cerita, lebih tepatnya curhatan, tentang keluarga
penjual sate masih berlanjut. Dia banyak memikirkan anak tertuanya yang
kira-kira seumuran dengan saya. Kita sebut saja anak itu Badri. Dia sudah tidak
sekolah, bekerja juga tidak.
Saya tanya, apa putranya tidak mau membantu bapak ibunya
berjualan sate tiap malam begini? “Bantu, mas. Mendorong gerobak ini dari rumah
kemari,” katanya. Badri, lanjutnya, hanya suka tidur-tiduran di rumah. Setelah membantu
mendorong gerobak ini lalu dia keluyuran pergi. Entah ke rumah temannya, entah
pacaran.
Betul. Anda tak salah baca. Badri, anak penjual sate,
dia tidak sekolah, tidak bekerja, tapi dia pacaran. Ibu penjual sate juga
cerita, sudah minta dikawinkan dengan pacarnya.
Malam itu saya pamitan sambil bawa tiga bungkus sate
ayam dan irisan lontong. Juga cerita dan keluhan tentang keluarga penjual sate.
Di belakang saya, ibu itu masih mengipasi bara. Di depannya ada sekitar tiga
orang yang antre.
***
Puluhan purnama lewat sudah. Saya masih lewat depan
penjual sate, sambil sesekali melirik. Tak jarang saya mengingat apa-apa yang
sudah pernah dia bagi. Ada pemandangan yang beda beberapa bulan ini, hanya baru
kali ini saya menulisnya.
Ibu dan bapak masih sama, mengipas bara dan
membungkus sate. Yang berbeda, di sekitar gerobak penjual sate ini tampak ada
lebih banyak orang yang bukan sedang antre. Mereka biasanya dua orang,
laki-laki dan perempuan. Dari gaya berpakaiannya, mereka orang muda atau masih abege.
Suatu malam saya melihat mereka duduk lekat dan mesra
di atas tikar. Kalau saya tidak salah lihat, mereka saling menukar cumbu. Di sampingnya
ada bapak dan ibu penjual sate yang terus saja bekerja. Mereka jarang terlihat
menggantikan untuk mengipas sate, atau sekadar meletakkan sate-sate itu dalam
bungkusan yang layak dibawa pembeli pulang.
Malam-malam berikutnya saya masih lewat sana. Kondisi
masih sama. Bahkan, ketika saya pulang agak larut, kedua orang muda itu tidur
berpelukan di atas tikar. Bapak dan ibu penjual sate masih duduk di dekat
panggangan. Di dalam gerobak terlihat masih ada beberapa tusuk sate. Mungkin masih
sisa dua atau tiga porsi lagi yang bisa dijual sebelum mereka pulang.
Saya hanya takut membayangkan mereka yang agak tidak
tahu diri itu Badri dan istri. Jika bayangan ini terwujud, saya takut akan ada
bara dalam keluarga penjual sate. Saya hanya berharap tetap ada yang mengipasi
arang, agar tidak muncul jilat api yang menghanguskan mereka semua.
No comments:
Post a Comment