Sumber: www.skanaa.com |
Pesta demokrasi terbesar yang digelar pekan depan membuat wacana publik
menjadi riuh dan cenderung rusuh. Beberapa minggu ini publik dipaksa
mengonsumsi kampanye negatif hingga kampanye hitam. Belum ditambah dengan komentar-komentar
‘asal bunyi’ dari akun-akun sosial media pendukung salah satu calon presiden
(capres).
Amati saja aktivitas di sosial media, atau pada forum-forum obrolan di
ponsel pintar masing-masing. Banyak model kampanye muncul dengan mengunggulkan
capres pilihannya atau menjatuhkan capres yang lain. Mulai dari membagikan tautan
berita dan dokumen, menuliskan kata-kata hinaan yang sangat provokatif, hingga
memasang foto capres dengan ditambahi kata-kata bernada humor atau sering
disebut meme.
Hinaan kepada capres nomor satu biasanya tentang rumah tangga dan kejahatan
kemanusiaan pada masa lalu. Sedangkan kepada capres nomor dua biasanya tentang
kekurangan fisik dan pelanggaran sumpah jabatan. Meski keduanya beragama Islam,
isu agama rupa-rupanya juga tetap menjadi senjata untuk melancarkan serangan
satu sama lain. Kampanye penuh hinaan macam ini tampaknya menghentikan hasrat
publik untuk berargumentasi. Publik lebih tampak seperti saling balas menghina,
hingga lupa bicara hal-hal yang lebih esensial dalam gelaran pemilihan
presiden.
Masalah menjadi bertambah runyam ketika Indeks Digital memublikasikan
pantauannya di Jakarta. Menurut mereka, puluhan ribu ‘akun robot’ muncul tiap
hari di Twitter. Akun robot ini jumlahnya ribuan dan bisa jadi hanya dikelola
beberapa orang saja. Pada tanggal 18 dan 19 Juni 2014 fluktuasi penciptaan akun
robot mencapai titik tertinggi, 50 ribu lebih akun robot diciptakan pada dua
hari itu. Akun robot tersebut bertugas berkicau tentang capres dukungan dan
capres lawan.
Beruntung, akhirnya kita mendapatkan sedikit angin segar mendekati masa
akhir kampanye ini. Muncul surat-surat terbuka kepada capres (pejabat di
sekeliling capres) yang isinya relatif lebih bermakna, lebih jelas pengirimnya,
berbahasa lebih santun, dan terpenting: lebih argumentatif. Jika dibandingkan
dengan komentar-komentar singkat di sosial media, surat terbuka rasanya lebih
menawarkan argumentasi yang bisa membantu mencerahkan publik.
Surat terbuka pada masa pemilihan calon presiden muncul ketika A. S.
Laksana menulis surat kritikan yang tajam kepada Amien Rais. Lalu surat dari
Tasniem Fauzia, putri Amien Rais, kepada Capres Jokowi. Dia meminta Jokowi tidak perlu membalas
suratnya, capres nomor dua itu hanya diminta merenungkan pertanyaan yang
diajukan. Kabarnya surat itu dibalas dua orang yang berbeda.
Surat tersebut disusul dengan surat lain yang berlalu lalang di hadapan
publik. Hingga saat artikel ini ditulis, surat yang sedang ramai dibicarakan publik
adalah surat terbuka yang ditulis Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Romo Frans Magnis Suseno, SJ, kepada Capres Prabowo. Dia mengkritik tentang
ideologi Islam garis keras yang berada di belakang Capres Prabowo.
Memantau Deliberasi
Menurut penulis, segala bentuk kampanye, kritik, perdebatan, pembuatan akun
robot, hingga penulisan surat terbuka tadi perlu diletakkan dalam kerangka
pemilihan presiden. Oleh karena itu, sudah sepantasnya bila fenomena ini
dipandang sebagai wujud partisipasi politik warga dalam negara demokrasi.
Masalahnya, seberapa baik kualitas demokrasi kita?
Penulis menawarkan salah satu kacamata untuk mengukur seberapa baik
kualitas demokrasi kita. Kualitas percakapan atau ‘deliberasi’, meminjam
istilah filsuf Jurgen Habermas, adalah salah satu hal yang perlu diperhatikan
dalam negara demokrasi. Melalui pemantauan deliberasi, penulis mengajak publik
untuk memaknai demokrasi sebagai konsep yang bisa direfleksikan dalam kegiatan-kegiatan
kecil seperti berkomunikasi lewat media sosial.
Cook, Carpini, dan Jacobs (2007) menuliskan tiga prinsip mengenai
deliberasi. Pertama, deliberasi
adalah alat untuk mendidik warga. Kedua,
deliberasi adalah alat membangun moral warga. Ketiga, deliberasi dipandang sebagai cara untuk mencapai keputusan
bersama.
Dalam konteks berdemokrasi, pendidikan harus membentuk warga yang literate, warga yang melek. Salah satu prasyarat untuk
memenuhi tujuan tersebut adalah warga harus memiliki basis informasi yang sahih
dan berasal dari institusi yang kredibel. Warga juga memiliki sikap kritis
ketika bersikap terhadap informasi yang tidak jelas atau bahkan keliru.
Moral warga juga dapat dibangun dalam diskusi dan perdebatan di dalam ruang
publik. Tentu saja kita perlu sepakat, diskusi yang membentuk moral warga
adalah diskusi yang bertanggungjawab. Artinya, diskusi dibangun dengan data dan
informasi yang sahih. Dalam diskusi, warga juga dilatih untuk sadar bahwa
mereka masing-masing berbeda dalam berbagai hal. Perlu ada toleransi dan
kerelaan memberi tempat bagi orang lain untuk menyampaikan pendapat dalam forum
diskusi.
Republik ini, secara politis, mengenal frasa ‘musyawarah untuk mencapai
mufakat.’ Pengertian tersebut sering disejajarkan dengan proses deliberasi
untuk mencapai sebuah keputusan melalui konsensus. Namun, dalam konteks tulisan
ini, keputusan adalah hal yang perlu dipikirkan nanti setelah publik memastikan
dirinya memiliki kualitas demokrasi dan deliberasi yang cukup memadahi.
Surat Terbuka
Dari berbagai bentuk partisipasi publik lewat media sosial, penulis melihat
potensi yang paling baik pada penulisan surat terbuka. Dibandingkan dengan
komentar-komentar dari akun media sosial, surat terbuka biasanya ditulis dengan
lebih panjang. Sesungguhnya bukan masalah panjang tulisan, tapi melalui surat
tersebut ide dan maksud dari si penulis surat lebih bisa dijelaskan dengan
lebih lengkap kepada publik. Dari situ publik juga dapat menilai apakah dalil
dan data yang digunakan oleh si penulis cukup kuat untuk membentuk persepsi
publik tentang suatu isu.
Alasan yang lain adalah surat terbuka menyangkut kredibilitas penulisnya
karena mencantumkan nama pengirim. Misalnya, surat terbuka yang ditulis oleh
pemimpin agama sekaligus seorang guru besar. Meskipun dia menulis dalam
kapasitas sebagai pribadi, publik akan tetap menilai sosok itu sebagai
representasi kelompok akademisi dan penganut agama tertentu. Dengan beban
sedemikian besar, sulit dibayangkan kualitas tulisan surat terbuka hanya sama
dengan tulisan akun-akun robot. Dalam hal ini, tanggungjawab dan keterbukaan
menjadi kelebihan mutlak yang dimiliki surat terbuka.
Pesatnya perkembangan teknologi internet memang menjadi tantangan
tersendiri bagi publik. Kita harus pandai dan bijak memilih informasi mana yang
sahih sehingga dapat kita gunakan untuk menambah wacana yang diperlukan dalam
publik. Penulis hanya berharap, setelah ini akan lebih banyak bermunculan surat
terbuka daripada komentar-komentar singkat yang usang dan minim argumentasi di
media sosial. Selamat berdemokrasi!
--dikarang di kota yogyakarta, 3 Juli 2014--
No comments:
Post a Comment