Di tengah gempuran acara ANTV yang
menghadirkan mas-mas India pothok, saya mau menulis pendapat saya tentang film
India berjudul PK. Terus terang, saya tidak tahu bagaimana struktur penulisan
ulasan atau review film yang benar. Jadi mohon dimaafkan kalau saya menulis
semau saya. Dan, ya, hanya dalam menulis begini saya bisa merasa bebas. Yeah!
Seperti biasanya film-film
India (padahal saya jarang nonton film!), film PK dibungkus dengan kisah
cinta yang indah dan bikin nangis. Tak lupa pada bagian dalamnya dihias
dengan nyanyian dan tarian. Jujur, baru kali ini saya tidak men-skip bagian
nyanyian dan tarian dalam film India. Kenapa? Karena tidak lebay dan menurutku
masih ada ceritanya. Begitu.
Adalah PK, seorang alien,
tiba-tiba datang ke bumi untuk meriset kehidupan manusia. Manusia adalah
makhluk yang mirip dengan makhluk di planet tempat dia tinggal. Menariknya, dia
datang telanjang. Satu-satunya benda yang menempel pada tubuhnya adalah remote
kontrol yang dijadikan kalung, seperti medali. Singkat cerita, remote
kontrolnya dicuri orang, dan dalam pencarian yang sulit itulah ceritanya
terjadi. PK yang tidak tahu budaya manusia (termasuk bahasa) berusaha mencari
remote kontrol itu dengan segala cara agar bisa pulang ke planetnya.
Dalam kisah pencarian remote
itulah muncul cerita dia bersinggungan dengan konsep “Tuhan”—yang tak dikenal
di tempat asalnya. Dia mencari sosok “Tuhan” yang dianggap dapat menyelesaikan
masalahnya ini. Dia mencari sosok “Tuhan” mulai dari kuil Hindu, masjid Islam,
hingga Gereja Katolik, serta (mungkin) agama-agama lain yang tak saya tahu. Tak
hanya itu, dia juga melakukan ritual-ritual yang diatur dalam tradisi keagamaan
tiap agama itu. Tujuannya satu, dia ingin bertemu “Tuhan” yang telah dia bayar
melalui kotak amal di rumah-rumah ibadah.
Kisah pencariannya ini dibantu
oleh seorang gadis India yang enerjik, namanya Jaggu. Dia berasal dari
keluarga, terutama ayahnya, yang sangat mengidolakan pemuka agama Hindu bernama
Tapaswi. Pada bagian awal film, Jaggu dikisahkan punya hubungan cinta dengan
Zarfaraz, pemuda Pakistan. Anda harus mengerti dulu mengapa harus dikisahkan
Jaggu dari India dan Zarfaraz dari Pakistan. Hehe.. Singkatnya, mereka sempat
berpisah lantaran kesalahpahaman. Namun, berkat PK ini mereka bisa kembali
berkomunikasi.
Nah, sebelum terlalu banyak
menulis kisah cinta di film ini, saya mau memberikan beberapa catatan yang
paling tidak berguna untuk saya sendiri:
1. Jangan
pernah meremehkan bahasa.
Seorang ilmuwan sosial pernah
berkata bahasa adalah jembatan menuju realitas. Tentu yang saya maksud adalah
terjemahan dari language ya, bukan bahasa yang seringkali
diartikan sebagai ‘bahasa Indonesia.’ Dikisahkan PK hadir di bumi dengan
membisu dan tak paham bahasa yang mereka ucapkan. Dia belajar bahasa dengan
menyerap kemampuan berbahasa dari seorang perempuan dengan cara memegang
tangannya selama enam jam. Mengapa bahasa jangan pernah diremehkan? Melalui
bahasa itu PK bisa berkomunikasi dengan orang lain dan menyampaikan maksudnya.
Jaggu menuduh PK berbohong ketika PK pertama kali menceritakan tentang jati
dirinya. Lalu PK mengatakan bahwa di tempat dia berasal, orang berkomunikasi
menggunakan pikiran. Metode itu mengurangi tingkat kebingungan yang mungkin
muncul di antara orang-orang yang berkomunikasi. Dia mencontohkan kata “Acha”
yang bisa digunakan untuk menyampaikan beragam maksud, tergantung pada nada dan
penekanan ketika diucapkan.
Saya jadi ingat, ketika kecil
saya diajari mengucapkan “Allah” sesuai dengan tulisannya. Ini berbeda dengan
cara penganut agama Islam mengucapkan kata yang sama. Dulu orang-orang di
sekitar bilang bahwa ini hanya soal bahasa. Belakangan saya mengerti, masalah
bahasa itu bukan ‘hanya’ yang seakan dapat digampangkan. Tengoklah negara
Malaysia. Pergolakan antaragama muncul karena penyebutan satu kata itu.
Itulah mengapa jangan pernah upaya meremehkan bahasa.
2. Waspadalah
terhadap pengkotak-kotakan karena “iman.”
Pada awal film dikisahkan
hubungan Jaggu dan Zarfaraz yang tidak direstui oleh orangtua Jaggu. Zarfaraz
orang Pakistan, dan dia muslim. Jaggu pun awalnya juga terkejut ketika tahu
Zarfaraz adalah yang termasuk golongan demikian. Adalah hal yang lumrah di mana-mana
ketika iman, kepercayaan, agama, ras, pandangan politik, atau apapun namanya,
membatasi seseorang dalam berteman, apalagi menjalin hubungan cinta.
Pada suatu adegan juga
diperlihatkan PK yang membawa sejumlah orang di hadapan Tapaswi. Orang-orang
itu diminta untuk berpakaian khas penganut agama lain. Agama Hindu dengan ikat
kepalanya, Kristen dengan jubah dan kalung salibnya, Muslim dengan burkanya,
serta agama lain dengan simbol khas yang mereka miliki. Tapaswi rupanya salah
menebak agama mereka hanya karena mereka berpakaian menggunakan atribut agama
lain. Setelah itu PK mengajak mereka untuk membuka bajunya dan memperlihatkan
apakah ada tanda agama di tubuh mereka, di kulit mereka. Karena tidak ada, PK
menekankan bahwa manusia sendirilah yang memberikan tanda tersebut lewat
pakaian dan simbol yang mereka kenakan.
Saya jadi teringat Andreas
Harsono, penulis buku “Agama Saya adalah Jurnalisme.” Agama di judulnya itu
bukan “jalan menuju Tuhan” atau apapun yang berkaitan dengan Tuhan, tapi
didekati dari bahasa Jawa “ageman” yang artinya “pakaian kebesaran.” Nah,
pakaian itulah yang rupanya dipakai manusia. Pesan moralnya, telanjanglah. Lalu
anda sadar, tidak ada yang kotak di bagian tubuh kalian. Bukan, bukan itu.
Lihatlah ketelanjangan dari orang-orang yang pakai pakaian kebesaran itu. Ini
keren!
3. Pemuka
agama adalah manusia.
Meski di bagian awal film
sudah dijelaskan bahwa cerita film itu tidak untuk mediskreditkan agama
tertentu, kita dapat menangkap kesan jelas bahwa pemuka agama adalah manusia.
Manusia yang hidup di dalam jaman yang tak bisa hidup tanpa alat tukar alias
uang. Manusia yang hidup di jaman di mana semua hal, semua nilai, bisa ditukar
ke dalam logika uang. Ah, ya, pasti anda tahu, ini namanya komodifikasi. Pemuka
agama, dengan demikian, tidak dapat lepas dari sistem yang seperti ini.
Pernah tahu yang namanya Cak
Nun? Dia adalah salah satu kyai yang membuat saya ingin belajar agama Islam.
Kalau dia bicara kadang ceplas ceplos, kadang “menyerang” orang-orang
fanatik-ekstrimis, dengan gaya pengajaran Jawa yang kental. Suatu kali dia
bilang,”Aja percaya karo aku, percaya karo Gusti Allah.” Mungkin buat sebagian
orang, ungkapan ini seperti candaan. Namun coba direnungkan, betapa dia
mengingatkan kita untuk rendah hati, apalagi dibandingkan dengan Sing Gawe Urip
yang dikenalkan oleh orang-orang sepertinya.
Di bagian akhir dikisahkan PK pergi tanpa bilang secara langsung ke Jaggu bahwa dia mencintainya. PK tahu Jaggu mencintai Zarfaraz, dan sebaliknya. Lalu ketika PK pergi, Jaggu berkisah bahwa PK banyak belajar di dunia ini. Salah satunya adalah mencintai yang sesungguhnya, ketika seseorang melepas orang yang dia cintai.
Untuk cerita fiksi romantis, bolehlah ini. Namun, untuk kehidupan percintaan yang sebenarnya, mencintai dengan cara melepas tidak selalu tepat! Bukan, ini bukan curhat. Em.. ya sudah, sedikit curhat deh. Masa iya kita mencintai tapi melepas? Jangan. Ikatlah dengan tingkat kekencangan tertentu. Kalau kita yakin cinta itu akan bertumbuh, pasti akan menemukan jalan tanpa harus melepas. Kecuali, kalau kita mencintai orang yang sudah mencintai dan dicintai orang lain. Nah, kalau yang ini harus dilepas. Lepasnya pun juga lepas saja, jangan mundur sambil ngomyang sana sini, cari dukungan sana sini, cari pembenaran sana sini.
5. Kadang,
doa adalah “to-do list”
Pernah saya tuliskan tentang
homili seorang Rama (Pastur) yang mengkritik tentang cara berdoa kita. Intinya
jangan berdoa “Berkatilah orang-orang yang belum menerima rejeki seperti
kami..” Jadilah diri kita rejeki bagi mereka! Tuhan itu memberkati orang salah
satunya lewat orang, lewat diri kita, lewat apa yang kita lakukan untuk orang
yang terberkati itu!
Di film itu PK berdoa kepada
Tuhan agar dia menemukan remotenya yang dicuri. Apakah Tuhan mengabulkan?
Mungkin saja, lewat banyak hal yang dilakukan PK dan Jaggu. Jadi, doa itu
bukan harapan kosong. Anda berdoa biar bisa keluar dari kubangan kejombloan?
Mandi yang bersih, perbaiki kualitas diri, membuka hati, cari lingkungan
pergaulan yang mendukung. Intinya, lakukan hal-hal yang mendekatkan kita pada
permohonan di doa itu, jangan hanya diam!
Akhir kata, terus terang, saya
haus dengan film-film bertema seperti ini. Tentang Tuhan yang tak tampak, tentang
orang-orang yang merasa memiliki kebenaran absolut ketika meleburkan dirinya
dengan Tuhan, tentang tautan agama dengan ekonomi dan politik. Rasanya
menggelitik kesadaran, membangunkan diri dari ayat-ayat suci dan dogma-dogma
tak tersentuh yang membuat saya tidak menginjak bumi. Semoga masih ada film
lain yang bisa ditonton dengan hati!
....
*Setelah saya baca lagi,
kayaknya bukan ulasan film ya, tapi lebih merupakan refleksi yang saya tuliskan
setelah menonton film ini. Mohon maaf kalau anda yang mau cari ulasan film
malah kesasar di tulisan ini lalu kecewa.
**Saya
merasa berjodoh dengan film ini. Kenapa? Begini ceritanya. Saya follow akun
twitter @Agamajinasi yang admin(s)nya atheis dan sering melayani pertanyaan dan
perdebatan kaum theis dengan sangat cerdas. Suatu saat ada follower yang tanya,
apakah si admin sudah menonton film PK? Saya lalu menduga ini film yang
bersangkutan dengan paham ketuhanan. Tanpa bermaksud mencari, saya suatu saat
harus ke warnet untuk isi KRS di seputaran Jalan Kaliurang. Tiba-tiba saya
iseng dan menemukan film ini. Itu menonton pertama. Kedua kalinya saya menonton
di pendopo hijau LKiS Jalan Pura, daerah Sorowajan, Yogyakarta. Para
pengurusnya baik dan ramah. Itulah kenapa saya merasa berjodoh dan perlu
menuliskan pendapat saya.
No comments:
Post a Comment