26 February 2015

Catatan Pribadi tentang PK

Gambar diambil dari indiatoday.intoday,in

Di tengah gempuran acara ANTV yang menghadirkan mas-mas India pothok, saya mau menulis pendapat saya tentang film India berjudul PK. Terus terang, saya tidak tahu bagaimana struktur penulisan ulasan atau review film yang benar. Jadi mohon dimaafkan kalau saya menulis semau saya. Dan, ya, hanya dalam menulis begini saya bisa merasa bebas. Yeah!
Seperti biasanya film-film India (padahal saya jarang nonton film!), film PK dibungkus dengan kisah cinta  yang indah dan bikin nangis. Tak lupa pada bagian dalamnya dihias dengan nyanyian dan tarian. Jujur, baru kali ini saya tidak men-skip bagian nyanyian dan tarian dalam film India. Kenapa? Karena tidak lebay dan menurutku masih ada ceritanya. Begitu.

Adalah PK, seorang alien, tiba-tiba datang ke bumi untuk meriset kehidupan manusia. Manusia adalah makhluk yang mirip dengan makhluk di planet tempat dia tinggal. Menariknya, dia datang telanjang. Satu-satunya benda yang menempel pada tubuhnya adalah remote kontrol yang dijadikan kalung, seperti medali. Singkat cerita, remote kontrolnya dicuri orang, dan dalam pencarian yang sulit itulah ceritanya terjadi. PK yang tidak tahu budaya manusia (termasuk bahasa) berusaha mencari remote kontrol itu dengan segala cara agar bisa pulang ke planetnya.

Dalam kisah pencarian remote itulah muncul cerita dia bersinggungan dengan konsep “Tuhan”—yang tak dikenal di tempat asalnya. Dia mencari sosok “Tuhan” yang dianggap dapat menyelesaikan masalahnya ini. Dia mencari sosok “Tuhan” mulai dari kuil Hindu, masjid Islam, hingga Gereja Katolik, serta (mungkin) agama-agama lain yang tak saya tahu. Tak hanya itu, dia juga melakukan ritual-ritual yang diatur dalam tradisi keagamaan tiap agama itu. Tujuannya satu, dia ingin bertemu “Tuhan” yang telah dia bayar melalui kotak amal di rumah-rumah ibadah.

Kisah pencariannya ini dibantu oleh seorang gadis India yang enerjik, namanya Jaggu. Dia berasal dari keluarga, terutama ayahnya, yang sangat mengidolakan pemuka agama Hindu bernama Tapaswi. Pada bagian awal film, Jaggu dikisahkan punya hubungan cinta dengan Zarfaraz, pemuda Pakistan. Anda harus mengerti dulu mengapa harus dikisahkan Jaggu dari India dan Zarfaraz dari Pakistan. Hehe.. Singkatnya, mereka sempat berpisah lantaran kesalahpahaman. Namun, berkat PK ini mereka bisa kembali berkomunikasi.

Nah, sebelum terlalu banyak menulis kisah cinta di film ini, saya mau memberikan beberapa catatan yang paling tidak berguna untuk saya sendiri:

1.      Jangan pernah meremehkan bahasa.


Gambar diambil dari weheartit.com

Seorang ilmuwan sosial pernah berkata bahasa adalah jembatan menuju realitas. Tentu yang saya maksud adalah terjemahan dari language ya, bukan bahasa yang seringkali diartikan sebagai ‘bahasa Indonesia.’ Dikisahkan PK hadir di bumi dengan membisu dan tak paham bahasa yang mereka ucapkan. Dia belajar bahasa dengan menyerap kemampuan berbahasa dari seorang perempuan dengan cara memegang tangannya selama enam jam. Mengapa bahasa jangan pernah diremehkan? Melalui bahasa itu PK bisa berkomunikasi dengan orang lain dan menyampaikan maksudnya. Jaggu menuduh PK berbohong ketika PK pertama kali menceritakan tentang jati dirinya. Lalu PK mengatakan bahwa di tempat dia berasal, orang berkomunikasi menggunakan pikiran. Metode itu mengurangi tingkat kebingungan yang mungkin muncul di antara orang-orang yang berkomunikasi. Dia mencontohkan kata “Acha” yang bisa digunakan untuk menyampaikan beragam maksud, tergantung pada nada dan penekanan ketika diucapkan.

Saya jadi ingat, ketika kecil saya diajari mengucapkan “Allah” sesuai dengan tulisannya. Ini berbeda dengan cara penganut agama Islam mengucapkan kata yang sama. Dulu orang-orang di sekitar bilang bahwa ini hanya soal bahasa. Belakangan saya mengerti, masalah bahasa itu  bukan ‘hanya’ yang seakan dapat digampangkan. Tengoklah negara Malaysia. Pergolakan antaragama muncul karena penyebutan satu kata itu.  Itulah mengapa jangan pernah upaya meremehkan bahasa.



2.     Waspadalah terhadap pengkotak-kotakan karena “iman.”
Gambar diambil dari inpasonline.com

Pada awal film dikisahkan hubungan Jaggu dan Zarfaraz yang tidak direstui oleh orangtua Jaggu. Zarfaraz orang Pakistan, dan dia muslim. Jaggu pun awalnya juga terkejut ketika tahu Zarfaraz adalah yang termasuk golongan demikian. Adalah hal yang lumrah di mana-mana ketika iman, kepercayaan, agama, ras, pandangan politik, atau apapun namanya, membatasi seseorang dalam berteman, apalagi menjalin hubungan cinta.

Pada suatu adegan juga diperlihatkan PK yang membawa sejumlah orang di hadapan Tapaswi. Orang-orang itu diminta untuk berpakaian khas penganut agama lain. Agama Hindu dengan ikat kepalanya, Kristen dengan jubah dan kalung salibnya, Muslim dengan burkanya, serta agama lain dengan simbol khas yang mereka miliki. Tapaswi rupanya salah menebak agama mereka hanya karena mereka berpakaian menggunakan atribut agama lain. Setelah itu PK mengajak mereka untuk membuka bajunya dan memperlihatkan apakah ada tanda agama di tubuh mereka, di kulit mereka. Karena tidak ada, PK menekankan bahwa manusia sendirilah yang memberikan tanda tersebut lewat pakaian dan simbol yang mereka kenakan.

Saya jadi teringat Andreas Harsono, penulis buku “Agama Saya adalah Jurnalisme.” Agama di judulnya itu bukan “jalan menuju Tuhan” atau apapun yang berkaitan dengan Tuhan, tapi didekati dari bahasa Jawa “ageman” yang artinya “pakaian kebesaran.” Nah, pakaian itulah yang rupanya dipakai manusia. Pesan moralnya, telanjanglah. Lalu anda sadar, tidak ada yang kotak di bagian tubuh kalian. Bukan, bukan itu. Lihatlah ketelanjangan dari orang-orang yang pakai pakaian kebesaran itu. Ini keren!


3.     Pemuka agama adalah manusia.
Gambar diambil dari www.antarafoto.com

Meski di bagian awal film sudah dijelaskan bahwa cerita film itu tidak untuk mediskreditkan agama tertentu, kita dapat menangkap kesan jelas bahwa pemuka agama adalah manusia. Manusia yang hidup di dalam jaman yang tak bisa hidup tanpa alat tukar alias uang. Manusia yang hidup di jaman di mana semua hal, semua nilai, bisa ditukar ke dalam logika uang. Ah, ya, pasti anda tahu, ini namanya komodifikasi. Pemuka agama, dengan demikian, tidak dapat lepas dari sistem yang seperti ini.

Pernah tahu yang namanya Cak Nun? Dia adalah salah satu kyai yang membuat saya ingin belajar agama Islam. Kalau dia bicara kadang ceplas ceplos, kadang “menyerang” orang-orang fanatik-ekstrimis, dengan gaya pengajaran Jawa yang kental. Suatu kali dia bilang,”Aja percaya karo aku, percaya karo Gusti Allah.” Mungkin buat sebagian orang, ungkapan ini seperti candaan. Namun coba direnungkan, betapa dia mengingatkan kita untuk rendah hati, apalagi dibandingkan dengan Sing Gawe Urip yang dikenalkan oleh orang-orang sepertinya.

4.     Jangan percaya buta dengan jargon “cinta itu melepas”!


Gambar diambil dari harnas.co

Di bagian akhir dikisahkan PK pergi tanpa bilang secara langsung ke Jaggu bahwa dia mencintainya. PK tahu Jaggu mencintai Zarfaraz, dan sebaliknya. Lalu ketika PK pergi, Jaggu berkisah bahwa PK banyak belajar di dunia ini. Salah satunya adalah mencintai yang sesungguhnya, ketika seseorang melepas orang yang dia cintai.

Untuk cerita fiksi romantis, bolehlah ini. Namun, untuk kehidupan percintaan yang sebenarnya, mencintai dengan cara melepas tidak selalu tepat! Bukan, ini bukan curhat. Em.. ya sudah, sedikit curhat deh. Masa iya kita mencintai tapi melepas? Jangan. Ikatlah dengan tingkat kekencangan tertentu. Kalau kita yakin cinta itu akan bertumbuh, pasti akan menemukan jalan tanpa harus melepas. Kecuali, kalau kita mencintai orang yang sudah mencintai dan dicintai orang lain. Nah, kalau yang ini harus dilepas. Lepasnya pun juga lepas saja, jangan mundur sambil ngomyang sana sini, cari dukungan sana sini, cari pembenaran sana sini.

5.     Kadang, doa adalah “to-do list”


Gambar diambil dari www.psychowith6.com

Pernah saya tuliskan tentang homili seorang Rama (Pastur) yang mengkritik tentang cara berdoa kita. Intinya jangan berdoa “Berkatilah orang-orang yang belum menerima rejeki seperti kami..” Jadilah diri kita rejeki bagi mereka! Tuhan itu memberkati orang salah satunya lewat orang, lewat diri kita, lewat apa yang kita lakukan untuk orang yang terberkati itu!

Di film itu PK berdoa kepada Tuhan agar dia menemukan remotenya yang dicuri. Apakah Tuhan mengabulkan? Mungkin saja, lewat banyak hal  yang dilakukan PK dan Jaggu. Jadi, doa itu bukan harapan kosong. Anda berdoa biar bisa keluar dari kubangan kejombloan? Mandi yang bersih, perbaiki kualitas diri, membuka hati, cari lingkungan pergaulan yang mendukung. Intinya, lakukan hal-hal yang mendekatkan kita pada permohonan di doa itu, jangan hanya diam!

Akhir kata, terus terang, saya haus dengan film-film bertema seperti ini. Tentang Tuhan yang tak tampak, tentang orang-orang yang merasa memiliki kebenaran absolut ketika meleburkan dirinya dengan Tuhan, tentang tautan agama dengan ekonomi dan politik. Rasanya menggelitik kesadaran, membangunkan diri dari ayat-ayat suci dan dogma-dogma tak tersentuh yang membuat saya tidak menginjak bumi. Semoga masih ada film lain yang bisa ditonton dengan hati!

....

*Setelah saya baca lagi, kayaknya bukan ulasan film ya, tapi lebih merupakan refleksi yang saya tuliskan setelah menonton film ini. Mohon maaf kalau anda yang mau cari ulasan film malah kesasar di tulisan ini lalu kecewa.


**Saya merasa berjodoh dengan film ini. Kenapa? Begini ceritanya. Saya follow akun twitter @Agamajinasi yang admin(s)nya atheis dan sering melayani pertanyaan dan perdebatan kaum theis dengan sangat cerdas. Suatu saat ada follower yang tanya, apakah si admin sudah menonton film PK? Saya lalu menduga ini film yang bersangkutan dengan paham ketuhanan. Tanpa bermaksud mencari, saya suatu saat harus ke warnet untuk isi KRS di seputaran Jalan Kaliurang. Tiba-tiba saya iseng dan menemukan film ini. Itu menonton pertama. Kedua kalinya saya menonton di pendopo hijau LKiS Jalan Pura, daerah Sorowajan, Yogyakarta. Para pengurusnya baik dan ramah. Itulah kenapa saya merasa berjodoh dan perlu menuliskan pendapat saya.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain