Foto: bapak pemilik warung |
Dengar-dengar, ketersediaan waktu luang adalah salah satu indikator tingkat
kebahagiaan. Kami menyebutnya dengan ‘sela’, sedangkan mereka yang
memiliki waktu (terlalu) luang adalah ‘bocah sela.’ Entah harus bangga
atau tidak, saya rasa saya bagian dari mereka itu. *tepuk dada*
Acara mendadak dikabarkan ke saya pada suatu pagi. Teman-teman saya mau
dolan hemat ke arah selatan dari Jogja. Nama resminya Bantul, nama kerennya
Jogja Selatan. Mereka rencana berangkat pukul 10, sedangkan saya menyusul
berangkat pukul 12. Yulia datang jauh-jauh dari Sala, naik kereta pukul 10.55,
hanya untuk ikut bergabung.
“Posisi di mana?” tanya saya lewat aplikasi obrolan.
“Kami jalan ke arah Goa Langse,” jawab Dicky.
Perjalanan dari Jogja ke Parangtritis memaksa kami mampir makan di sebuah
warung masakan Padang dekat Pantai Parangtritis. Udara lembab dan aroma asin
air pantai sudah mulai tercium di hidung kami. Entah kenapa tidak sedikitpun
terbesit keinginan di benak saya untuk mampir ke pantai tersohor itu. Mungkin
karena waktu itu siang hari, sekitar pukul 13, ketika matahari tepat di atas
kepala. Atau mungkin juga kami lebih senang main ke gunung daripada pantai.
Kami hanya melewati pantai itu saja, lalu pergi ke tebing untuk melihat
Parangtritis dari atas.
Dari Parangtritis luruuus saja, kita akan disuguhi pemandangan belasan atau
puluhan losmen untuk menginap. Biasanya dituliskan “ada kamar kosong” serta
fasilitas yang ada di dalamnya. Losmen itu untuk menginap dan mungkin
‘menginap’ bagi pasangan muda mudi yang sedang bergairah. Siapakah yang bisa
menolak kenikmatan bercinta kala muda dengan pemandangan pantai? Gairah anak
muda seakan dipertemukan dengan energi dari laut yang tak kunjung habis.
Tanjakan demi tanjakan bisa dilalui Supra yang saya pakai sejak 2006.
Akhirnya motor itu menyerah pada tanjakan terakhir yang memang tidak bersahabat
untuk orang-orang berbeban berat seperti saya. Sampai di atas, ternyata mereka
sudah ingin cabut dari sekitar Goa Langse. “Teman-teman kepanasan,” kata Dicky.
Kami akhirnya bergabung di rombongan, ada enam sepeda motor termasuk saya.
Kami lalu turun mencari tempat untuk duduk yang nyaman untuk melepas dahaga.
Turun tidak terlalu jauh, kami lalu naik lagi untuk datang ke tempat yang tidak
kalah bagusnya untuk melihat pantai Parangtritis dari atas. Di sana kami pesan
air kelapa muda, harganya Rp10 ribu. Saya tidak tahu nama tempat itu, tapi
kira-kira pemandangan losmen yang ditawarkan ke kami masih mendominasi. Begini
pemandangan dari atas sana.
Tebing, pantai, laut, dan gubug nganu. Diambil pakai mode panorama. Foto: pribadi |
Di tebing sebelah kiri itu
kita bisa lihat ada orang-orang yang main parasut. Saya kira hanya orang-orang
bernyali saja yang mau naik itu. Selain bernyali juga berduit, atau sengaja
menganggarkan, untuk bisa naik payung besar itu. Kata teman-teman, sekali naik
seorang harus membayar Rp400 ribu. Saya lirik uang di dompet. Hanya untuk
memegang tali parasut pun uangku tak cukup. Baiklah, kata-kata yang ini memang
berlebihan. -.-
Lurus di depan ada Pantai
Parangtritis yang—baru saya sadari—garis pantainya panjang sekali. Di dekat
garis pantai itu ada payung-payung yang disewakan untuk berteduh para
pengunjung. Sesekali terlihat kereta kuda yang terlihat kecil dari atas
melintas perlahan menyusuri pasir pantai. Ketika saya masih kecil, rasanya
Parangtritis dipenuhi dengan kereta semacam itu. Sekarang, kereta kuda itu bersaing
dengan ATV, sepeda motor beroda empat besar-besar.
Ketika mengalihkan pemandangan
agak ke atas, kami melihat garis cakrawala. Benar-benar lurus dari ujung tebing
sebelah kiri, hingga habis dibatasi tolehan kami ke arah kanan. Di bawahnya
adalah air laut yang agung sekali. Warnanya agak gelap di tengah-tengah, lalu
menerang ke arah pantai. Tidak tahu benar atau tidak, dengar-dengar perbedaan
warna itu menunjukkan perbedaan tingkat kedalaman laut.
..sementara angin pantai masih
menerpa wajah kami berdelapan..
Sepasang anak muda, perempuan
dan laki-laki, diantar oleh pemilik warung untuk turun ke gubug-gubug kecil
tepat di depan kami. Hanya beberapa meter saja ke bawah turun ke tebing yang
landai. Di foto itu kan terlihat ada banyak gubug dari gedheg (anyaman bambu)
berukuran sekitar 1,5 x 2 x 1,5 meter. Semua gubuk itu tertutup dari samping,
belakang, dan (tentu saja) atas. Semua menghadap ke arah laut.
Pertanyaan kami pun terjawab.
Awalnya kami tidak tahu, untuk apa gubug-gubug itu didirikan di sini? Awalnya
saya kira untuk menjemur rumput laut atau apa, tapi kan jaraknya agak jauh dari
pantai. Ah, ternyata mereka digunakan untuk menikmati pemandangan pantai dari
atas dengan lebih eksklusif. Begitu eksklusifnya hingga apapun yang
dilakukan pasangan itu tidak akan terlihat, kecuali dari depan. Namun, bukankah
mereka hanya mau menikmati pemandangan pantai? Iyalah. Memang mau ngapain lagi?
Lalu datang lagi pasangan
untuk diantar ke sana oleh pemilik warung. Mbak-mbak berjilbab dan seorang
laki-laki, semuanya masih muda, menuruni tebing perlahan untuk menuju salah
satu gubug. Kami semua terdiam. Kami makin yakin para pasangan muda itu memang mau
menikmati pemandangan pantai dari atas. Sudah, itu saja yang mereka lakukan. Ha
mbok yakin..
Teman SMA, teman ngobrol, teman berdebat, teman menangis, teman tertawa. Selalu jadi teman bernafas untuk tetap hidup. Foto: Dicky |
No comments:
Post a Comment