Skip to main content

"Tolong jaga dia baik-baik.."

Atas nama keyakinan bahwa  hidup itu tak lebih dari pertunjukan drama, saya yakin kalimat itu bisa jadi begitu dramatis meski tak harus diiringi air mata.
 
Coba kita bayangkan, siapa yang biasanya mengucapkan itu? Sejauh saya membayangkan, kata-kata itu seringkali diucapkan dari seseorang kepada orang lain setelah seseorang itu memberikan sesuatu. Sesuatu itu bisa apa yang sebelumnya dia miliki, bisa saja tidak.

Nah, kalau di kalimat itu ada kata ‘dia’, artinya yang ‘diberikan’ itu adalah seseorang. Sebenarnya ini interpretasi saja, ‘dia’ biasanya untuk orang, manusia. Kalau anjing katakanlah anjing ini, kalau barang katakanlah barang ini, dan seterusnya.

Misalnya, orang tua gadis yang mengatakan kalimat itu kepada pria yang dicintai gadis itu pada hari pernikahan mereka. Orang tua gadis memasrahkan anaknya kepada pria yang semenjak hari pernikahan tersebut akan hidup bersama dengan si gadis. Mereka meminta pria itu untuk menjaga baik-baik anak gadis mereka, sama seperti yang selama ini mereka lakukan.

Pantaskah?

(Dalam hal ini saya sangat subjektif serta menggunakan kata pantas, bukan baik atau buruk, bukan benar atau salah)

Menurut saya masih pantas. Sampai gadis itu menjadi tua, orang tua si gadis tetap akan jadi orang tua dengan segala tanggung jawab dan kewajiban moral yang mereka miliki. Dalam batas tertentu, orang tua harus mampu merelakan anak gadisnya hidup mandiri sebagai manusia. Termasuk, mereka harus melepas anak gadisnya untuk menikah dan membangun keluarga bersama orang lain. Namun, di luar batas itu, paling tidak secara emosional, orang tua masih memiliki ikatan untuk mempertanggungjawabkan kepada kehidupan atas seorang manusia yang mereka lahirkan. Itulah mengapa saya sebut ini pantas.

Lalu, bagaimana jika kalimat itu diucapkan seseorang kepada kekasih baru dari mantan kekasihnya? Ah, semoga tidak bingung dengan kata-kata barusan. Intinya, dia meminta kekasih baru dari mantan kekasihnya itu untuk menjaganya baik-baik.

Pantaskah?

Menurut saya, secinta-cintanya seseorang itu kepada mantan kekasihnya, dia tidak perlu mengatakan itu. Boleh sih boleh, mungkin tidak salah, tapi menurut saya tidak pantas. Mereka dulu mungkin pernah memiliki komitmen, kesepakatan untuk saling memiliki, saling mencintai. Mungkin dulu mereka saling menjaga dengan baik, memperlakukan satu sama lain dengan saling hormat. Namun setelah hubungan tersebut berakhir dan mantan kekasih sudah menemukan orang lain untuk membangun kehidupan bersama, seharusnya kata-kata itu tak perlu terucap dari mantan kekasih. Dia mungkin punya hak berbicara apa saja, tapi apa Anda yakin dia punya ‘hak’ untuk mengatakan hal seperti itu? Masalah ‘hak’, sekali lagi, adalah masalah kepantasan.

Nah, bagaimana jika kalimat itu diucapkan oleh seseorang yang bukan siapa-siapa, ditujukan kepada kekasih seseorang yang dia cintai?

Orang yang pernah jadi kekasih saja tidak pantas, apalagi yang seperti ini. Bagi saya, orang-orang seperti ini adalah orang tidak tahu malu. Bahasa Jawanya: ora duwe isin. Ungkapan ini adalah salah satu bentuk kekecewaan paling tinggi dari seseorang kepada orang lain dalam kultur Jawa. Mereka gagal mendefinisikan posisi, pun aksi yang mereka pilih berdasarkan posisi mereka yang tidak jelas itu. #terTedjo


Nah, yang ingin saya katakan bukanlah tentang hubungan dengan kekasih dan mantan kekasih, tapi tentang kepantasan kita dalam mengungkapkan kalimat. Ideologi demokrasi liberal rupa-rupanya telanjur membuat kita terdorong untuk bebas bicara apa saja, seakan kita punya ‘hak’ dan hak untuk mengatakan segalanya kepada siapa saja. Bukankah kita seharusnya tahu kapasitas, momen, dan posisi sebelum melakukan aksi?

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.