Skip to main content

Posts

Showing posts from 2010

Kethoprak di Ujung Jalan

Pertunjukan kesenian daerah ‘kalah’ bersaing dengan kesenian yang mengusung budaya pop yang berkiblat dari budaya global. Sebagian besar masyarakat tunduk kepada para pemilik modal yang menggiring selera masyarakat kepada pertunjukan lain yang lebih ‘menjual’, yang membuat penonton merasa tidak ketinggalan jaman dan menjadi bagian dari masyarakat global. _______________________________________________________________ Pertunjukan kesenian daerah yang dulunya diminati oleh segala usia kini hanya diminati oleh orang-orang yang kebanyakan berusia lanjut. Hanya segelintir saja orang yang berminat pada kesenian daerah, yang sebenarnya adalah kekayaan milik mereka sendiri. Realitas yang terjadi adalah munculnya anggapan-anggapan negatif yang mengatakan bahwa kesenian daerah itu kuno, membosankan, dan tidak berkembang. Media, yang mempunyai tugas mendidik masyarakat, ternyata juga tidak memberi kontribusi penting bagi pengembangan kesenian daerah. Hanya satu dari belasan stasiun televisi di...

Generasi Muda di Radio Komunitas

Anak muda memang bagian dari struktur masyarakat yang penuh dengan kontroversi. Banyak dari kalangan masyarakat yang memandang bahwa kaum muda saat ini hanya bisa menikmati hasil perjuangan orang-orang terdahulu . Namun beberapa informasi di bawah mengindikasikan hal yang berbeda . B anyak anak muda di Yogyakarta yang mau berjuang demi sesuatu , contohnya adalah anak muda yang berada di balik nama radio komunitas. ______________________________________________________________ Yogyakarta, yang dikenal dengan sebutan kota pelajar dengan banyaknya perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, sarat dengan anak muda yang mempunyai semangat untuk memperjuangkan sesuatu yang mereka anggap baik. Perjuangan mereka diwujudkan dalam be rbagai bidang, salah satunya adalah melalui radio-radio komunitas. Secara umum, radio komunitas mempunyai konsep awal untuk menjembatani orang-orang yang berada pada komunitas tertentu. Komunitas yang biasanya berisi para kaum muda ini  membutuhkan suat...

Bertahan di Tubuh Pria

Dengan jilbab hitam dan terusan biru, “wanita” itu berbicara mengenai banyak hal. Dua AC model lawas di bagian atas ruangan seakan mengawasi beberapa orang akademisi di sekelilingnya yang mencoba menganalisis fenomena sosial yang diceritakan langsung oleh pelaku fenomena tersebut. Dialah Mami Vinolia: Direktur LSM Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta). ______________________________________________________________________ “Saya pernah dipukul pakai kayu sampai pingsan, biar saya jadi laki-laki beneran . Tapi ya tetep aja kayak gini , nggak bisa dipaksakan..” salah satu cerita yang diungkapkan Mami dalam salah satu diskusi di kampus Magister Administrasi Publik UGM hari Rabu (15/12) ini. Kata-kata yang diluncurkan dengan lembut ini sering memunculkan ekspresi senyum simpatik dan kekaguman, namun tidak jarang menimbulkan senyum tertahan yang tidak bisa ditebak apa ekspresi yang sebenarnya. Terus terang, saya belum bisa sepenuhnya menerima keadaan mereka. Pemikiran saya seringkal...

Sekelumit Realitas dari Sidoakur

Cerita ini diawali ketika beberapa kawan melakukan penelitian  di  Desa Wisata Sidoakur yang terletak di Jalan Godean.  Akhirnya saya ngikut, sekalian isi waktu.   Perjalanan yang dimulai dari kawasan Kotabaru berakhir di rumah Mas Andi di lokasi penelitian. K ami berbincang tidak lama , cukup untuk mencari tahu gambaran umum desa dengan title wisata ini. K emudian k ami diantar ke rumah seorang bapak yang giat membuat pupuk organik. Bapak ini membuat pupuk menggunakan beberapa alat. Salah satu alatnya adalah drum bekas di atas. Meski bertuliskan “KERTAS”, namun d rum bekas ini adalah tempat membuat briket dari sampah daun. Sampah daun dimasukkan ke dalam drum, dibakar dan ditunggu hingga semua menjadi abu. Abu ini yang dipadatkan dan akan dibuat menjadi briket yang bisa dimanfaatkan. Lihat,  hebat bukan komitmen mereka terhadap sampah?

Dog's talk

Terus terang: aku muak. Riuh sekali kalian bicara mengenai negara, sejahtera, keadilan, dan ideologi. Suara kalian adalah omong kosong, omong kosong. Sekarang lihat, buktikan bahwa sosialisme, komunisme, demokrasi, dan teman-teman asingnya itu mampu membuat tuanku yang bodoh dan miskin ini menjadi sejahtera dan tidak menderita. Buktikan bahwa perdebatan panjang kalian ini mampu membuat tuanku tidak mengais sampah lagi untuk mencari makan. Sampah yang bahkan aku pun jijik melihatnya! Buktikan bahwa tulisan dan omongan kalian ini tidak menjadi sampah serta air ludah yang keluar dan terbuang diinjak orang. Air ludah yang menempel lengket, dari karpet ruang senat mahasiswa sampai meja gedung rakyat yang agung itu!

(tidak) ada yang sia-sia

… Ketika itu ada seorang yang bisa berjalan di atas air menyombongkan diri pada Sang Buddha. “Berapa tahun Anda belajar berjalan di atas air?” tanya Sang Buddha. “Dua puluh tahun,” jawab orang itu. Sang Buddha tidak terkejut melihat keahlian orang itu. Ia malah mengambil sampan dan menyeberang sungai. “Hanya sekadar untuk dapat menyeberangi sungai ini, Anda sudah belajar selama dua puluh tahun. Alangkah sia-sianya waktu demikian banyak Anda hamburkan,” kata Sang Buddha sambil kembali mengayuh sampan menuju orang itu. … (cuplikan dari salah satu artikel feature Sindhunata berjudul “Hidup yang Ribuan Kali”)

Istilah dalam Jurnalisme*

Yellow journalism Yellow journalism bukanlah merupakan sebuah aliran jurnalisme, melainkan sebuah julukan yang diberikan oleh The New York Press kepada dua koran besar di kota New York pada awal tahun 1987, yaitu New York World dan New York Journal. (Nurudin, 2009:230) Konon kedua koran tersebut dijuluki demikian sebab warna kertas yang digunakan memang berwarna kuning, kertas berwarna kuning adalah kertas yang murah. Di kemudian hari, yellow journalism digunakan sebagai julukan terhadap produk-produk jurnalisme yang menekankan berita-berita yang sensasional, tidak sebanding dengan substansinya.

the biggest enemy !

    I am the biggest enemy of me. I think that's similar with Jogja. Who are Jogja's biggest enemy? Hmm..

Maheswari

Minggu yang kelabu. Seorang bayi diijinkan menjadi kuncup dan mekar di dalam hati ibunya. Selamanya akan mekar, dan tidak menjadi layu. Dia lahir dari hati, dan akan kembali ke dalam hati. 18 hari merasakan udara yang menyakitkan. Akhirnya dia menjadi udara itu sendiri. Udara yang menyadarkan keluarganya, hidup ini sungguh dan terlalu singkat. Mohon Ibu Maria, gendonglah dia, karena dia belum bisa berjalan. *kenangan atas meninggalnya seorang keponakan berumur 18 hari

Ikan di Air

7art-screensavers.com Adalah kesombongan yang memalukan ketika mengingat masa lalu. Kami menganggap diri kami ikan besar di kolam kecil. Mungkin kami memang ikan besar, kawan. Terlalu besar hingga tidak mampu bergerak sedikitpun. Yang hanya mampu berkoar-koar melalui mulut busuk kami. Ikan besar ini hanya memenuhi seisi kolam. Ikan kecil yang ceria dan beraneka warna menjadi tiada arti. Kami hanya menjadi seonggok daging tanpa  makna. Adalah kebutaan yang menyakitkan ketika mengingat masa lalu. Kami menganggap diri kami ikan besar di kolam kecil. Ikan besar yang selalu merindukan samudera. “Kolam ini terlalu kecil, seharusnya kita di samudera..” teriak kami. Buta, kawan, kami buta. Samudera itu hanya ilusi. Realitas samudera ada di sini, kawan. Dan kami baru satu jengkal dari bibir pantai. Adalah kebodohan yang memuakkan ketika mengingat masa lalu. Kami menganggap diri kami ikan besar di kolam kecil. Kolam kecil ini ternyata samudera ya...

Manusia-Manusia Perpustakaan

Ya, mereka manusia-manusia perpustakaan. Bukan para pegawai perpustakaan, namun mereka yang menghabiskan sore ini di perpustakaan. Lihatlah mereka: duduk tegak; kepala tenang; ekspresi wajah mulai dari terkantuk-kantuk hingga mencoba menyatukan kedua alisnya, semua ada. Sang bijak berkata: apa yang anda baca, itulah isi otak anda. Lihatlah bacaan mereka: buku-buku agama; jurnalisme dan komunikasi; kebijakan publik; semua berserakan di banyak meja yang disediakan. Itukah isi otaknya? Entah.

Mengapa dokumenter ?

Tulisan ini bukan berisikan hal teoritis dan praktis mengenai seluk beluk film dokumenter. Bukan juga berbicara mengenai gagasan, eksekusi, hingga proses editing . Sebenarnya yang anda baca ini hanya sekadar jawaban atas pertanyaan yang muncul dari dalam mengenai ketertarikan saya pada film dokumenter. Satu jawaban pertama yang muncul di otak kosong saya adalah bahwa film dokumenter mengungkapkan realitas. Tidak perlu berdebat panjang layaknya filsuf naturalis hingga materialis untuk menentukan definisi dari 'realitas', baca saja karya-karya mereka dan temukan maknanya. Realitas Bagaimanapun juga, realitas dalam film dokumenter merupakan realitas subjektif-dari sisi sang pembuat film. Adakah yang lebih menarik dari perbedaan? Kutub magnet yang berbeda akan saling menarik, jenis kelamin berbeda juga saling menarik (kecuali dalam kasus tertentu), perbedaan teori dan praktek yang ada menarik para ilmuwan sosial untuk melakukan penelitian, dan segala macam perbedaan lainny...

Singlet: Let Sing!

Dennis, Gultom, Sanjaya, Bayu, and Ipink. We (were) Singlet. Where's your fire?

Mountain

From left: Sanjaya (me), Nadia, Ryan, PamPam, and Gepe. Mountain   is the place where I can just forget my fuckin academic tasks and many jobs from organizations. At the mountain I don't feel worry about all tasks and jobs, at the same time I can feel the things that always with me 24 hours a day: air. I also can find sound of nature and get some inspirations from it; and the most important: I feel alive.  We’re just too little than a mountain, but I can find my ‘true’ self when I let my self to be a microcosmos like that. I have choose many choices from my life, I wish I can choose the time I die, at the same time I wish I can choose the time I life again, but I can’t. And we have to remember that we have choice to say "I can" or "I can’t. (I know, it's a weird, but so hard for me to understand my thought.)