Skip to main content

Untuk Bangsa: Simpan Energimu, Bang!

Harian Kompas hari ini (23/1) menurut saya patut dapat pujian. Ketika harian-harian lain menjadikan ketegangan KPK (baca: Abraham Samad) dengan lembaga-lembaga ‘sangar’ lain sebagai sajian utama, headline Kompas justru ‘mengusulkan’ untuk menjaga energi bangsa untuk tidak saling ribut. Energi bangsa yang terbuang itu, misalnya, bisa dialihkan untuk fokus membangun struktur ekonomi negara yang tak kunjung dalam kondisi yang diimpikan. Selain itu, konflik berlarut-larut antarlembaga dikhawatirkan menghancurkan momentum dan optimisme warga yang dibangun semasa Pilpres 2014.
Saya sepakat dengan pilihan Kompas untuk mengambil sudut ini. Bukannya lalu mengabaikan tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Samad, tapi benar juga kalau kita akan segera kehabisan energi ketika turut terlibat dalam berbagai konflik antarlembaga tersebut. Benar bahwa, jika memang Samad terbukti melanggar kode etik pimpinan KPK, kita sebagai publik harus turut mengawal proses selanjutnya. Berlaku sama pula dengan pejabat-pejabat lain yang melanggar kode etik, ataupun yang sudah diadili sampai mati. Namun, jangan sampai proses pengawalan untuk dia mengalihkan semua daya dan upaya kita dalam membangun. Sampai di sini ada pertanyaan? *sedakep*
Nah, lalu kita (baca: publik) bisa apa? Itu yang tidak saya ketahui. Yah, saya benar-benar tidak punya gagasan harus bagaimana dan melakukan apa. Sebenarnya ada gagasan sih, bukan untuk kita, tapi untuk media massa. Ketika media membingkai kasus tersebut menjadi lebih konstruktif, lebih membahas solusi katakanlah, saya kok yakin tidak sebanyak itu energi kita yang akan terbuang. Tidak sebanyak itu penurunan tingkat kepercayaan kita kepada lembaga-lembaga ‘sangar’ itu. Klasik kan?


Perpustakaan pusat kampus biru lantai empat. Ketika koran dijadikan bungkus sega kucing dan bungkus ‘dapet’..

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.