Gambar diambil tanpa ijin dari uniqpost.com |
Saya sering patah hati.
Bukan [hanya] karena perempuan, tapi juga karena ketidaktahuan orang akan
sesuatu yang saya anggap mereka seharusnya tahu. Patah hati ini makin
menjadi-jadi ketika sesuatu yang tidak mereka ketahui itu adalah hal yang saya
idolakan. Mungkin terdengar terlalu ‘maksa’ dan kekanakan, tapi ini masalah
hati. *malah curhat* Begini salah satu kisah patah hati saya.
Sekitar delapan bulan
lalu saya berkenalan dengan seorang jurnalis foto. Kami satu kantor, satu
angkatan kerja di Jakarta, tapi dia sudah lebih berpengalaman. Dia sudah
beberapa tahun bekerja sebagai jurnalis foto di tempat dia berasal, sebuah kota
yang tidak jauh dari Yogyakarta. Dia sangat baik hati dan senang cerita tentang
prestasinya, pengalamannya, dan kemampuannya.
Suatu saat dia pergi
memotret makam Soe Hok Gie di tengah-tengah belantara kota Jakarta. Saya agak
lupa, dia pergi memotret atas inisiatif sendiri atau ditugasi oleh seorang
redaktur. Setelah memotret makam itu dia [kalau tidak salah] harus membuat
caption foto untuk menjelaskan. Lalu dia googling, sambil bercerita
kalau dia tidak tahu Soe Hok Gie itu siapa. Terdengar berlebihan, tapi
ketidaktahuan dia tentang Soe Hok Gie itu membuat saya patah hati *emot nangis*
Saya terkejut. Dia,
orang yang senang bicara, cerita banyak hal, tahu cerita macam-macam,
bisa-bisanya tidak tahu siapa itu Soe Hok Gie? Yah, mungkin memang Soe Hok Gie
bukan siapa-siapa untuk remaja orang muda seangkatan saya. Dia
aktivis mahasiswa tahun ‘60an yang cerdas, Tionghoa, meninggal di Semeru saat
masih begitu muda, dan tulisan kritisnya tajam sekali. Bukan siapa-siapa
memang, tapi entah kenapa saya tertarik untuk mengenalnya sejak delapan tahun
lalu, alias ketika masih SMA.
Saat SMA [hingga
sekarang sih] saya jarang punya uang banyak. Maka ketika jam istirahat
teman-teman pergi ke kantin, saya menahan haus pergi ke perpustakaan. Saat
itulah saya menemukan buku yang kira-kira berjudul “Catatan Seorang
Demonstran.” Ternyata buku itu berisi tentang catatan harian Gie. Rupa-rupanya
dia rajin menulis catatan harian, sejak remaja hingga menjelang akhir hayatnya.
Saya membuka-buka catatan dia dan menemukan puisi yang selama ini saya
cari-cari, yang ada kata-kata “..kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam
cinta.”
Puisi itu berjudul
“Sebuah Tanya.” Pertama kali saya dengar puisi itu ketika Nikolas Saputra
membacanya, diiringi gesekan celo lagu “Cahaya Bulan”, disusul lagu dengan
judul yang sama. Sejak itulah saya bertekad mencari-cari puisi itu secara utuh.
Nah, jadi harus diakui, awal dari mengenal Soe Hok Gie adalah karena puisi yang
dia buat. Namun, setelah saya baca-baca lagi, Gie ini adalah orang yang memang
bukan orang biasa. Silakan anggap saya berlebihan, tapi saya rasa dia adalah
salah satu dari orang yang melampaui jaman. Mungkin karena dia memang cerdas,
atau karena dia juga suka membaca.
Berikut saya kutipkan
salah satu tulisan dia:
“..kini aku pesimistis
pada dunia. Aku cinta pada anak-anak, binatang-binatang, rakyat yang sabar dan
patuh ditindas. Tapi di samping itu manusia itu kejam sekali. Lihat ada
peperangan, sengsara, penipuan, perbudakan. Itulah manifestasi-manifestasi dari
kebudayaan-kebudayaan manusia.
Kalau begini alternatif
satu-satunya, mengapa kita tidak akhiri saja peradaban kita ini? Tujuan kita
ialah kesenangan dan kesempurnaan. Tapi kita adalah makhluk-makhluk yang tak
mungkin hidup bersama. Kita akan berkonfrontasi dengan persoalan-persoalan
ketamakan, alam, dan kekejaman. Jadi peradaban cuma alat. Kalau itu gagal baik
kita buang dan hancurkan saja. Kalau Tuhan ada dan ia makhluk yang aktif maka
aku kutuki Tuhan. Ia bagai raja yang mahakuasa, lalu dia cipta manusia-manusia,
semuanya ini dan kalutlah semuanya. Dia seolah-olah cuma bergurau dan
iseng-iseng. Mengapa dunia ada? Aku pokoknya menolak semua agama yang membebek.
Bagiku Tuhan adalah kebenaran. Ia ada dan tiada. Ia terjadi bukan menjadi. Tapi
bagaimana dengan manusia lain? Masa bodo.
Manusia mempunyai
ide-ide yang tinggi. Lalu ide-ide tadi ia lekatkan pada Tuhan. Dan apa yang ia
lekatkan kembali, lalu dia hambai, dia sembah. Lucu sekali tapi penting:
seperti keledai yang menaruh seikat rumput pada mukanya lalu dikejarnya.
Katanya dulu ada seorang
haji di Kartasura. Dia beranggapan bahwa Tuhan ada di mana-mana dan
anjing-anjing pun dinamai dengan nama nabi-nabi. Ia dikejar.
Tapi bagiku dia benar.
Dia tahu bahwa agama cuma obat bius. Lalu ia sadar akan makna sebenarnya. Dan
itu diberitahukan kepada manusia. Manusia itu malu dan ingkar, jadi dia kejar
haji itu.”
Tulisan tersebut ditulis
hari Sabtu 27 Agustus 1960. Gie lahir tanggal 17 Desember 1942. Artinya, dia
sudah menulis itu ketika dia belum genap berumur 18 tahun! Anda bisa bayangkan
berapa buku filsafat dan karangan Marx yang sudah dia baca ketika itu?
Saya menyarankan anda
melakukan apa yang saya lakukan: membandingkan diri dengan Gie ketika berumur
18 tahun. Sungguh saya malu. Ketika itu saya malah sedang terjebak romantisme
cinta remaja dan hanya berjuang agar bisa diterima di universitas yang bagus.
Buku-buku yang saya baca paling novel ringan, atau kumpulan puisi, tak lebih
dari itu. Bagaimana dengan masa 18 Anda?
Nah, itulah yang membuat
saya mengidolakan sosok muda yang sudah tiada ini. Sebenarnya masih banyak
tulisan dia yang sangat pantas untuk Anda tahu. Kalau tertarik untuk tahu,
anggarkan saja sedikit uang untuk beli bukunya di toko buku terdekat. Lalu
bacalah kehidupan Gie, kehidupan aktivis, perkuliahan, dan cinta masa mudanya.
Sekalipun dia bukan siapa-siapa, tulisan yang dia tinggalkan pasti akan
mencerahkan pikiran Anda.
Semoga dengan tulisan
ini patah hati saya terobati.
..awal tahun 2015, di
tengah-tengah mata lelah menulis paper ilmiah..
No comments:
Post a Comment