18 January 2015

Mahasiswa, Demonstrasi, dan Media

Gambar diambil tanpa ijin dari liputan11.blogspot.com

Para demonstran menutup akses jalan raya, membakar ban secara serampangan, dan menyerang pos polisi yang berada di dekat tempat mereka melancarkan aksi demonstrasi. Aksi rusuh dan cenderung anarkis ini dilakukan oleh ratusan mahasiswa Jogja pekan ini. Mereka mengklaim diri mewakili rakyat untuk menolak kebijakan pengurangan subsidi BBM yang membuat harganya merangkak naik sebanyak Rp2000/liter.

Fenomena para akademisi muda yang turun ke jalan ini bukan hal baru di Indonesia. Publik tentu masih ingat gelombang aksi mahasiswa besar-besaran yang dilakukan tahun 1998 di seluruh Indonesia. Mereka dianggap sangat berjasa mendatangkan era reformasi setelah selama ini terpenjara rezim Orde Baru. Publik juga tentu tahu gerakan mahasiswa serupa juga ada pada tahun 1960an yang hanya terpusat di Jakarta, dan tahun 1980an yang mulai bergerak di tempat-tempat lainnya.

Mahasiswa bergerak turun ke jalan dengan membawa misi. Mereka sering mengklaim diri mewakili rakyat yang menderita akibat suatu kebijakan, katakanlah, pengurangan subsidi BBM ini. Namun, tampaknya rakyat kini sudah makin kritis dan sinis terhadap siapapun yang menganggap diri mereka wakil rakyat. “Rakyat yang mana dulu?”, tanya rakyat sendiri. Ada kesadaran bahwa dalam satu titik tertentu, rakyat tidak bisa lagi dianggap sebagai satu entitas. Rakyat mulai sadar bahwa dirinya adalah sekumpulan besar orang di bawah suatu pemerintahan yang terfragmentasi oleh begitu banyak kepentingan.

Kritik pedas dan protes balik justru dilakukan oleh rakyat yang mereka wakili sendiri. Setidaknya itulah yang teramati pada konten jejaring sosial dan kolom-kolom komentar di portal berita online. Mereka mengkritik mahasiswa yang demo besar-besaran, tetapi masih menggunakan mobil ke mana-mana. Mereka juga mengkritik mahasiswa yang mengeluh karena semua harga bakal naik, tetapi masih merokok dengan enaknya di manapun mereka berada.

Sebenarnya tidak hanya melancarkan kritikan, banyak juga harapan yang muncul agar mahasiswa tidak perlu turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Selain karena menghambat kelancaran mobilitas warga di jalan raya, demonstrasi dianggap tidak efektif untuk menghadapi perubahan yang ada. Rakyat lebih berharap, meskipun terdengar agak naif, mahasiswa belajar dengan rajin di kampus lalu menciptakan alternatif bahan bakar.

Melalui tulisan ini anda diajak untuk berefleksi beberapa hal. Awalnya mahasiswa turun ke jalan untuk menyampaikan sikap. Setelah itu rakyat risau lalu menulis di jejaring sosial terkait keberatan mereka atas aksi mahasiswa. Dari dua fenomena tersebut, maka tidak meleset kiranya bila masalah yang sedang dihadapi oleh kita adalah masalah komunikasi. Artinya, ada pesan-pesan yang tidak tersampaikan yang berakibat pada tidak tercapainya pemahaman pada anggota-anggota masyarakat.

Jika kita bicara mengenai komunikasi publik, artinya kita bicara juga mengenai institusi media sebagai pihak yang memiliki peranan yang luar biasa dalam proses pengaturan diri dalam publik. Sebenarnya seberapa besar peranan media dalam kehidupan publik? Menurut Niklas Luhmann, media adalah alat konstruksi realitas yang dihadapi oleh publik secara umum. Artinya, hampir segala hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat modern saat ini dibentuk oleh media. Bahkan, hidup manusia itu sendiri bisa jadi dikonstruksi oleh media.

Lalu bagaimana kita bisa menggunakan media itu untuk mengatasi permasalahan ini? Salah satu pengkritik besar Niklas Luhmann, Jurgen Habermas, sejak tahun 1960an sebenarnya sudah memikirkan cara untuk itu. Melalui sebuah esai yang ditulisnya, dia mengusulkan sebuah keadaan utopis yang disebut dengan ruang publik (public sphere). Ruang publik ini adalah konsep yang tidak mewujud dan merupakan angan-angan yang sebaiknya dicapai masyarakat modern. Di dalam ruang publik ini tiap anggota masyarakat harus melepas struktur mereka dan menjadi setara dengan yang lain. Mereka saling berdiskusi, berdebat, serta adu argumentasi dan data untuk pada akhirnya menciptakan konsensus atas suatu wacana yang mereka bahas.

Maka dari itu saya mengusulkan beberapa hal yang perlu untuk kita pikirkan. Pertama, media pantas didorong untuk menjadi aktor pembentuk ruang publik seperti yang digagas Habermas tadi. Apa yang pertama-tama perlu dilakukan oleh media? Perdebatan dan adu argumentasi pada masyarakat modern harus rasional dan didukung oleh data yang valid. Maka peran media yang utama adalah dengan memberikan data yang valid dan mencerahkan benak publik. Cara itu bisa dicapai dengan menampilkan kualitas jurnalisme yang berbasis data, berimbang, dan yang jadi semangat utama: disiplin verifikasi. Kita tentu yakin bahwa masyarakat yang sehat mensyaratkan asupan informasi yang sehat pula.

Lebih dari itu, media seharusnya tidak melepas tanggungjawab pada pemaknaan berita secara serampangan yang dilakukan oleh publik. Bagaimanapun juga media tetap memiliki tanggungjawab moral untuk membuat publik paham akan isu yang mereka gulirkan. Pemahaman tersebut nanti akan tampak pada bagaimana mereka menggunakan data dan menyampaikan argumentasi dalam debat-debat publik. Pemahaman itu juga termasuk memberikan informasi sedetail mungkin mengenai isu, misalnya, pengurangan subsidi BBM demi menyelematkan keuangan negara. Dengan hitungan ekonomis yang logis dan argumentasi yang kuat, rasanya protes atas kebijakan yang sulit bisa direduksi.

Kedua, masih terkait dengan pemahaman publik, media harus menyampaikan informasi kebijakan secara utuh. Setiap kebijakan sulit yang diambil pemerintah pasti segera dibuat kebijakan lain yang dianggap bisa menjadi solusi atas masalah yang jadi konsekuensi dari kebijakan awal. Misalnya, Presiden Jokowi juga mengeluarkan kebijakan tiga kartu sakti: Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Keluarga Sejahtera. Kartu-kartu tersebut memang tidak membuat rakyat menjadi kebal terhadap kenaikan harga BBM, tapi ada hal-hal vital dari kehidupan rakyat yang diperhatikan oleh pemerintah. Harus digarisbawahi, kebijakan ini tidak bisa dianggap tidak ada.

Santer diberitakan juga bahwa sopir-sopir angkot di kota-kota besar sudah menaikkan tarif penumpangnya sebesar seribu rupiah secara sepihak. Padahal, pemerintah akan memberikan subsidi juga kepada para sopir angkot. Saat ini akan dibentuk suatu payung sopir-sopir angkot berbadan hukum yang akan menjadi jalan bagi pemerintah untuk menyalurkan subsidi kepada sopir angkot. Apakah rakyat dan sopir angkot sudah mengetahui hal ini? Jika tidak, maka ada masalah pada penekanan berita yang ditulis oleh media.

Ketiga, media perlu menawarkan solusi untuk mengatasi masalah yang timbul akibat kenaikan harga BBM. Solusi tidak selalu berupa kebijakan. Solusi bisa jadi berupa inspirasi bagi mahasiswa untuk memulai kampanye gerakan hidup hemat dan sehat. Misalnya, yang sering disindir di media-media sosial adalah rakyat memprotes kenaikan harga BBM tapi masih saja rajin merokok sekian bungkus tiap harinya. Pembelian rokok seharusnya dianggap sebagai komponen pengeluaran yang bisa ditekan. Atau mahasiswa yang protes turun ke jalan, tapi tiap harinya masih nongkrong di kafe-kafe yang makin menjamur di kota-kota besar.

Jadi jelas, peran mahasiswa bisa sangat luas. Mereka tidak harus turun ke jalan langsung, atau belajar rajin di kampus untuk mencari alternatif bahan bakar seperti yang diharapkan rakyat. Menyamakan kemampuan semua mahasiswa dari berbagai ilmu jelas berasal dari ketidakpahaman tentang pendidikan. Sebagian mahasiswa lain bisa melakukan kampanye-kampanye untuk mengubah kebiasaan hidup kita yang cenderung boros. Jika tidak bisa langsung mengubah, setidaknya itu menginspirasi rakyat yang lain.

(Ditulis (22/11/14); tidak lolos standar kualitas opini di berbagai media. Saya harus tetap rajin berlatih!)

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain