Gambar diambil tanpa ijin dari |
Para demonstran menutup akses jalan
raya, membakar ban secara serampangan, dan menyerang pos polisi yang berada di
dekat tempat mereka melancarkan aksi demonstrasi. Aksi rusuh dan cenderung
anarkis ini dilakukan oleh ratusan mahasiswa Jogja pekan ini. Mereka mengklaim
diri mewakili rakyat untuk menolak kebijakan pengurangan subsidi BBM yang
membuat harganya merangkak naik sebanyak Rp2000/liter.
Fenomena para akademisi muda yang turun
ke jalan ini bukan hal baru di Indonesia. Publik tentu masih ingat gelombang
aksi mahasiswa besar-besaran yang dilakukan tahun 1998 di seluruh Indonesia. Mereka
dianggap sangat berjasa mendatangkan era reformasi setelah selama ini
terpenjara rezim Orde Baru. Publik juga tentu tahu gerakan mahasiswa serupa juga
ada pada tahun 1960an yang hanya terpusat di Jakarta, dan tahun 1980an yang
mulai bergerak di tempat-tempat lainnya.
Mahasiswa bergerak turun ke jalan dengan
membawa misi. Mereka sering mengklaim diri mewakili rakyat yang menderita
akibat suatu kebijakan, katakanlah, pengurangan subsidi BBM ini. Namun,
tampaknya rakyat kini sudah makin kritis dan sinis terhadap siapapun yang
menganggap diri mereka wakil rakyat. “Rakyat yang mana dulu?”, tanya rakyat
sendiri. Ada kesadaran bahwa dalam satu titik tertentu, rakyat tidak bisa lagi
dianggap sebagai satu entitas. Rakyat mulai sadar bahwa dirinya adalah
sekumpulan besar orang di bawah suatu pemerintahan yang terfragmentasi oleh
begitu banyak kepentingan.
Kritik pedas dan protes balik justru
dilakukan oleh rakyat yang mereka wakili sendiri. Setidaknya itulah yang
teramati pada konten jejaring sosial dan kolom-kolom komentar di portal berita
online. Mereka mengkritik mahasiswa yang demo besar-besaran, tetapi masih
menggunakan mobil ke mana-mana. Mereka juga mengkritik mahasiswa yang mengeluh
karena semua harga bakal naik, tetapi masih merokok dengan enaknya di manapun
mereka berada.
Sebenarnya tidak hanya melancarkan
kritikan, banyak juga harapan yang muncul agar mahasiswa tidak perlu turun ke
jalan untuk berdemonstrasi. Selain karena menghambat kelancaran mobilitas warga
di jalan raya, demonstrasi dianggap tidak efektif untuk menghadapi perubahan
yang ada. Rakyat lebih berharap, meskipun terdengar agak naif, mahasiswa belajar
dengan rajin di kampus lalu menciptakan alternatif bahan bakar.
Melalui tulisan ini anda diajak untuk
berefleksi beberapa hal. Awalnya mahasiswa turun ke jalan untuk menyampaikan
sikap. Setelah itu rakyat risau lalu menulis di jejaring sosial terkait
keberatan mereka atas aksi mahasiswa. Dari dua fenomena tersebut, maka tidak
meleset kiranya bila masalah yang sedang dihadapi oleh kita adalah masalah
komunikasi. Artinya, ada pesan-pesan yang tidak tersampaikan yang berakibat
pada tidak tercapainya pemahaman pada anggota-anggota masyarakat.
Jika kita bicara mengenai komunikasi
publik, artinya kita bicara juga mengenai institusi media sebagai pihak yang
memiliki peranan yang luar biasa dalam proses pengaturan diri dalam publik.
Sebenarnya seberapa besar peranan media dalam kehidupan publik? Menurut Niklas
Luhmann, media adalah alat konstruksi realitas yang dihadapi oleh publik secara
umum. Artinya, hampir segala hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
modern saat ini dibentuk oleh media. Bahkan, hidup manusia itu sendiri bisa
jadi dikonstruksi oleh media.
Lalu bagaimana kita bisa menggunakan
media itu untuk mengatasi permasalahan ini? Salah satu pengkritik besar Niklas
Luhmann, Jurgen Habermas, sejak tahun 1960an sebenarnya sudah memikirkan cara
untuk itu. Melalui sebuah esai yang ditulisnya, dia mengusulkan sebuah keadaan
utopis yang disebut dengan ruang publik (public
sphere). Ruang publik ini adalah konsep yang tidak mewujud dan merupakan
angan-angan yang sebaiknya dicapai masyarakat modern. Di dalam ruang publik ini
tiap anggota masyarakat harus melepas struktur mereka dan menjadi setara dengan
yang lain. Mereka saling berdiskusi, berdebat, serta adu argumentasi dan data
untuk pada akhirnya menciptakan konsensus atas suatu wacana yang mereka bahas.
Maka dari itu saya mengusulkan beberapa
hal yang perlu untuk kita pikirkan. Pertama,
media pantas didorong untuk menjadi aktor pembentuk ruang publik seperti yang
digagas Habermas tadi. Apa yang pertama-tama perlu dilakukan oleh media?
Perdebatan dan adu argumentasi pada masyarakat modern harus rasional dan
didukung oleh data yang valid. Maka peran media yang utama adalah dengan
memberikan data yang valid dan mencerahkan benak publik. Cara itu bisa dicapai
dengan menampilkan kualitas jurnalisme yang berbasis data, berimbang, dan yang
jadi semangat utama: disiplin verifikasi. Kita tentu yakin bahwa masyarakat
yang sehat mensyaratkan asupan informasi yang sehat pula.
Lebih dari itu, media seharusnya tidak
melepas tanggungjawab pada pemaknaan berita secara serampangan yang dilakukan
oleh publik. Bagaimanapun juga media tetap memiliki tanggungjawab moral untuk
membuat publik paham akan isu yang mereka gulirkan. Pemahaman tersebut nanti
akan tampak pada bagaimana mereka menggunakan data dan menyampaikan argumentasi
dalam debat-debat publik. Pemahaman itu juga termasuk memberikan informasi
sedetail mungkin mengenai isu, misalnya, pengurangan subsidi BBM demi
menyelematkan keuangan negara. Dengan hitungan ekonomis yang logis dan
argumentasi yang kuat, rasanya protes atas kebijakan yang sulit bisa direduksi.
Kedua, masih terkait dengan pemahaman publik, media harus
menyampaikan informasi kebijakan secara utuh. Setiap kebijakan sulit yang
diambil pemerintah pasti segera dibuat kebijakan lain yang dianggap bisa
menjadi solusi atas masalah yang jadi konsekuensi dari kebijakan awal.
Misalnya, Presiden Jokowi juga mengeluarkan kebijakan tiga kartu sakti: Kartu
Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Keluarga Sejahtera. Kartu-kartu
tersebut memang tidak membuat rakyat menjadi kebal terhadap kenaikan harga BBM,
tapi ada hal-hal vital dari kehidupan rakyat yang diperhatikan oleh pemerintah.
Harus digarisbawahi, kebijakan ini tidak bisa dianggap tidak ada.
Santer diberitakan juga bahwa
sopir-sopir angkot di kota-kota besar sudah menaikkan tarif penumpangnya
sebesar seribu rupiah secara sepihak. Padahal, pemerintah akan memberikan
subsidi juga kepada para sopir angkot. Saat ini akan dibentuk suatu payung
sopir-sopir angkot berbadan hukum yang akan menjadi jalan bagi pemerintah untuk
menyalurkan subsidi kepada sopir angkot. Apakah rakyat dan sopir angkot sudah
mengetahui hal ini? Jika tidak, maka ada masalah pada penekanan berita yang
ditulis oleh media.
Ketiga, media perlu menawarkan solusi untuk
mengatasi masalah yang timbul akibat kenaikan harga BBM. Solusi tidak selalu
berupa kebijakan. Solusi bisa jadi berupa inspirasi bagi mahasiswa untuk
memulai kampanye gerakan hidup hemat dan sehat. Misalnya, yang sering disindir
di media-media sosial adalah rakyat memprotes kenaikan harga BBM tapi masih
saja rajin merokok sekian bungkus tiap harinya. Pembelian rokok seharusnya
dianggap sebagai komponen pengeluaran yang bisa ditekan. Atau mahasiswa yang
protes turun ke jalan, tapi tiap harinya masih nongkrong di kafe-kafe yang
makin menjamur di kota-kota besar.
Jadi jelas, peran mahasiswa bisa sangat
luas. Mereka tidak harus turun ke jalan langsung, atau belajar rajin di kampus
untuk mencari alternatif bahan bakar seperti yang diharapkan rakyat. Menyamakan
kemampuan semua mahasiswa dari berbagai ilmu jelas berasal dari ketidakpahaman
tentang pendidikan. Sebagian mahasiswa lain bisa melakukan kampanye-kampanye
untuk mengubah kebiasaan hidup kita yang cenderung boros. Jika tidak bisa
langsung mengubah, setidaknya itu menginspirasi rakyat yang lain.
(Ditulis (22/11/14); tidak lolos standar kualitas opini di berbagai media. Saya harus tetap rajin berlatih!)
No comments:
Post a Comment