cinta dan benci
kita berjalan di satu kutub ke kutub lain
pada jalan cinta kita bawa benci
pada jalan benci kita bawa cinta
kala tidak jalan, kita tak bawa apa.apa dan sudah itu mati
tak selalu kita bisa pilih mereka,
angkut semuanya !
28 December 2016
17 December 2016
Seperti Kucing
“I wish my God you’d stay, kanca kenthelku..”
seperti kucing putih yang selalu diusir bapak di teras depan rumah tiap
pagi. tak peduli betapa kotor dan berdebunya teras rumah kami, kursi paling
timur selalu jadi tempat tidurnya. dia hanya pergi sebentar tapi pasti kembali
lagi. tiap kali dia pergi selalu ada jejak tapak kaki kucing yang aku tak tahu
bagaimana caranya meninggalkan jejak menjemukan itu
gagang sapu
semprotan air
guyuran gayung
bentakan serak kasar
kurang satu yang belum kami lakukan: meracuninya
sebangsat.bangsatnya kucing itu, kami tak mungkin membunuhnya. perlahan
atau secepat kilat, kejam atau penuh kasih, pokoknya tak mungkin. di leher
kucing putih ngantukan itu ada kalung merah dengan lonceng kecil, tanda kalau
dia dimiliki oleh suatu kampret yang lebih pantas mengakhiri hidupnya
“Just enjoy your life, kanca kenthelku..”
seperti kucing putih yang egois dan tak pernah tak terlihat mengantuk
di teras depan rumah. dia bangun hanya untuk mengolet dan mengubah posisi
tidur. dari telungkup menjadi miring, dari miring menjadi telentang
“aku berangkat kerja, kamu tidur.
aku pulang kerja, kamu tidur juga.
kok penak banget uripmu cing?”
tanya ibu suatu sore.
apa jawab kucing?
dia buka mata sebentar dengan sayu, memastikan bahwa ibu bukan sosok
berbahaya untuknya, lalu kembali melanjutkan mimpinya yang tertunda tadi. ah,
di mana ikan yang di meja tadi? oh bukan, itu bukan mimpinya, dia sedang mimpi
bercinta dengan kucing cantik yang adalah putri kerajaan di barat laut sana.
“dekat danau toba,” katanya
“Just relax like always, kanca kenthelku..”
seperti kucing putih yang birahi pada bulan.bulan yang biasa bagi kami.
kala musim bercinta dia mengeong keras tanpa peduli kami bahagia atau meringkuk
sedih ditemani mendung.
suaranya sama
lapar
terangsang
marah
memohon kawin
suaranya seperti bayi menangis, padahal dia ingin kawin. barangkali
seperti desahan.desahan kita waktu dewa cinta sedang memahat nikmat di tubuh
yang sebentar ini
aku ingin
ingin
kekancan sing luwih kenthel
16 December 2016
Jreng
begini cara kerja
ingatan, sayang
kursi tamu budhe dan
ciuman pertama
jok motor bebek yang
sisa banyak
pelukmu erat pada pinggang
seragam putih biru
dan nilai 10
sosok yang bicara
dari masa lalu tapi
gemanya masih terurai
dalam tiap kucekan
tanganmu ke pakaian
yang tiap hari kau
cuci sehabis mandi
inginlah menggondolmu
dengan paksa
ke jalanan licin
stockholm pinggir pantai
dan napak tilas ke
cardiff yang ramai
suara bule beraksen
british kental
tapi itu jauh dari
jatiningsih..
terlalu jauh
“wajar, aku butuh
teman..”
“iya..”
“tenang, it’s so
yesterday..”
“iya..”
lalu aku diam dan
melihat kotoran hitam di kuku
kalau kucungkil
dalam.dalam nanti malah luka
atau semakin dalam
lantas makin
banyaklah hitam.hitam yang hinggap
sementara angin
bersenandung kecut sambil
sembunyi macam
pengecut
“Hold back the
night.. light up the sky..”
jreng.
Sleman dini hari
16122016
15 December 2016
BUKAN DESEMBER
: teringat mariyah dan jabang bayinya
bukan desember gerimis ini yang meletupkan aroma.aroma sepi mengharu biru di antara sepatu tracking penuh lendutmu, tetapi adalah sesembahanmu yang kepada pencipta yang memekakkan cuping telinga bayi yang baru lahir prucut dari rahim bundanya yang kesakitan
engkau maha besar !
engkau pantas dibela !
monas, bandung, spanduk, nista, dan deretan kata.kata sakti lainnya sigap memenuhi lini masa atas kuasa ujung pena penulis. semacam tsunami kata dan informasi yang sama sekali tak bikin harga sayuran bawang dan cabai naik lalu memantaskan hidup petani kecil (?)
pun juga pekikan gantung ! bunuh ! sate ! sekarang juga ! kepada si kafir yang diam.diam membangun persinggahan suci dan menjernihkan sungai.sungai yang mengalir menuju muara kepala batumu
bukan desember gerimis ini yang melahirkan gemertakan gigi susu dan kerutan ujung jari yang mati dilahap dingin, tetapi adalah perginya kesehatan akal yang tergusur oleh tarik.tarikan antara: benci dan hasrat cari muka di hadapan sesembahanmu
sementara air mata kecewa kau sebut drama
sementara hari penghakiman betul.betul telah tiba dan memenjarakan keluasan akal yang melekat pada diri sejak sel sperma bapakmu merangsek masuk ke sel telur ibumu
damai yang kau lontarkan tak lebih dari kemenangan egomu, yang juga kedigdayaan politik milik daun.daun muda penuh kepentingan yang merasa layak kau pilih jadi pemimpin
adalah desember gerimis ini yang tak memadamkan api intoleranmu
dan ya, adalah desember gerimis ini yang melahirkan penista Allah yang kelak (?) mati tergantung di kayu salib dengan ribuan luka menganga di sekujur tubuh
semoga persalinanmu lancar, dewi mariyah
bersiaplah menerangi gelap ini, tus. toss !
Jalan Kabupaten Sleman,
bersama olah.olahan daun
bukan desember gerimis ini yang meletupkan aroma.aroma sepi mengharu biru di antara sepatu tracking penuh lendutmu, tetapi adalah sesembahanmu yang kepada pencipta yang memekakkan cuping telinga bayi yang baru lahir prucut dari rahim bundanya yang kesakitan
engkau maha besar !
engkau pantas dibela !
monas, bandung, spanduk, nista, dan deretan kata.kata sakti lainnya sigap memenuhi lini masa atas kuasa ujung pena penulis. semacam tsunami kata dan informasi yang sama sekali tak bikin harga sayuran bawang dan cabai naik lalu memantaskan hidup petani kecil (?)
pun juga pekikan gantung ! bunuh ! sate ! sekarang juga ! kepada si kafir yang diam.diam membangun persinggahan suci dan menjernihkan sungai.sungai yang mengalir menuju muara kepala batumu
bukan desember gerimis ini yang melahirkan gemertakan gigi susu dan kerutan ujung jari yang mati dilahap dingin, tetapi adalah perginya kesehatan akal yang tergusur oleh tarik.tarikan antara: benci dan hasrat cari muka di hadapan sesembahanmu
sementara air mata kecewa kau sebut drama
sementara hari penghakiman betul.betul telah tiba dan memenjarakan keluasan akal yang melekat pada diri sejak sel sperma bapakmu merangsek masuk ke sel telur ibumu
damai yang kau lontarkan tak lebih dari kemenangan egomu, yang juga kedigdayaan politik milik daun.daun muda penuh kepentingan yang merasa layak kau pilih jadi pemimpin
adalah desember gerimis ini yang tak memadamkan api intoleranmu
dan ya, adalah desember gerimis ini yang melahirkan penista Allah yang kelak (?) mati tergantung di kayu salib dengan ribuan luka menganga di sekujur tubuh
semoga persalinanmu lancar, dewi mariyah
bersiaplah menerangi gelap ini, tus. toss !
Jalan Kabupaten Sleman,
bersama olah.olahan daun
SAMI ASIH GROUP
aku masih duduk melamun di warung
kuning merah bertirai hijau buluk itu.
warung di depan kedai jus pak lebah
yang harganya tak menyengat.
warung di depan kedai jus pak lebah
yang harganya tak menyengat.
"nastel ak?" sapa pemuda Sunda
dengan mata jenaka. badannya kecil,
dengan urat-urat tangan yang
tampak jelas menghias.
dengan mata jenaka. badannya kecil,
dengan urat-urat tangan yang
tampak jelas menghias.
"iya, sama es teh," jawabku otomatis.
tanpa sedikitpun berpikir.
persis pegawai minimarket tiap kali
pelanggan mendorong pintu kaca.
tanpa sedikitpun berpikir.
persis pegawai minimarket tiap kali
pelanggan mendorong pintu kaca.
keisengan tak luput mendatangi
pembeli. sering si aa' menaruh
sepasang sendok di satu piring,
dan sepasang garpu di piring pembeli lain.
mereka lantas makan dengan muka masam
meski terhibur. sedikit.
pembeli. sering si aa' menaruh
sepasang sendok di satu piring,
dan sepasang garpu di piring pembeli lain.
mereka lantas makan dengan muka masam
meski terhibur. sedikit.
tapi, itu dulu. tujuh tahun yang lalu.
kala warung ini masih kumuh; dengan
alas tanah yang becek di kala hujan.
kala warung ini masih kumuh; dengan
alas tanah yang becek di kala hujan.
tiap tahun gadjah mada menahbiskan
putra-putrinya jadi sekrup pabrik yang
luar biasa handal menjalankan negeri ini.
putra-putrinya jadi sekrup pabrik yang
luar biasa handal menjalankan negeri ini.
rupanya, seiring pembeli berganti,
pemuda jenaka itu berganti pula.
dengan rela, ataupun terpaksa.
pemuda jenaka itu berganti pula.
dengan rela, ataupun terpaksa.
lantai warung kini keras. dinding bambu
juga berganti semen angkuh. es tehku
tak lagi manis, dan nastel kita kurang
berminyak.
juga berganti semen angkuh. es tehku
tak lagi manis, dan nastel kita kurang
berminyak.
bagaimanapun, aku masih duduk di situ.
melamun. sambil menerka-nerka apa lagi hal
yang akan berganti di hidup.
melamun. sambil menerka-nerka apa lagi hal
yang akan berganti di hidup.
semoga bukan kejenakaan kita.
Yogyakarta,
tanggal akhir yang semoga
02 December 2016
Hati Orang, Siapa yang Tahu?
Hanya mau mencatat saja kalau hari ini (2/12) ada aksi super damai di
kawasan Monas, Jakarta. Bentuk aksi tersebut adalah salat Jumat bersama. Dari sejumlah
informasi yang beredar di lewat online (awas HOAX!) jumlah peserta bisa
mencapai 2 hingga 3 juta orang.
Jelas, ini peristiwa luar biasa. Hampir semua media meliput, termasuk
media-media internasional. Beberapa kedutaan juga bereaksi dengan meningkatkan
keamanan.
Bagaimanapun, sebagai pemuda pengangguran di sebuah kota kecil, saya
merasa perlu untuk mencatat beberapa hal.
Istilah Aksi
Ketua GNPF MUI Habib Rizieq dalam siaran pers Jumat (25/11) lalu
mengatakan bahwa ini adalah aksi super damai. Beberapa media turut menyebut
aksi ini juga dengan istilah “aksi super damai,” ada juga yang menyebutnya “aksi
damai” saja.
Presiden Jokowi menyebutnya berbeda. "Kan gak ada demo, siapa
bilang akan ada demo. Yang ada doa bersama, bukan demo ya," tegasnya di
depan para awak media.
Setahu saya, hanya Kompas TV yang turut menyebut aksi 212 ini (istilah
apa lagi ini) dengan “doa bersama.” Barangkali ada media lain yang menyebut
serupa, mohon dikoreksi.
Ada yang bilang aksi Bela Islam III. Aksi 212. Tampaknya kalau ini mau
dijadikan sejarah, memang perlu ada penyeragaman ya. Atau nggak perlu? Kayaknya
generasi ini udah jengah sih dengan penyeragaman, tapi enggak tahan juga dengan
keberagaman. Ah sudahlah.
Salkus
Seperti biasa, selalu ada yang bikin salkus alias salah fokus. Pertama,
tentu saja, payung biru yang digunakan Jokowi dan rombongannya untuk melindungi
diri dari rintik hujan yang menemani untaian doa.
Oh ya, dengar-dengar sudah ada open order. Payung warna biru di luar,
abu-abu di dalam. Serius? Setelah jaket bomber? Yeah, ini serius.
Kedua, bapak polisi ganteng yang bagi-bagi air mineral. Dilihat-lihat
emang ganteng sih, beliau putih dan bersih gitu. Namun saya belum tertarik,
sejauh ini saya masih terangsang kalau lihat perempuan saja.
Ketiga, keempat, kelima, keenam, silakan tambahi sendiri.
Kalau ada salah fokus, lantas fokusnya apa? Sekadar mengingatkan saja,
Habib Rizieq menuturkan, "Target kami adalah tetap saudara Basuki Tjahaja
Purnama ditahan."
Dengan cara gelar sajadah, salat Jumat bersama, berdoa dan menyebut
kebesaran nama Sang Pencipta, dengan tujuan hukum yang spesifik: Ahok ditahan.
Tentu saja, aksi super damai ini tak hanya berisi doa bersama seperti
yang dibilang Presiden Jokowi. Bagaimanapun, ini adalah bagian dari unjuk rasa,
lengkap dengan yel-yelnya: “Tangkap tangkap tangkap si Ahok. Tangkap si Ahok
sekarang juga!”
Tangkap.. hap! Oh. Bukan.. itu bang Ipul.
Pidato Kapolri
Nah, ini yang menarik. Media banyak mengabarkan soal pidato Kapolri
Jenderal Tito Karnavian yang diinterupsi. Namun bagi saya, dan tentu buanyak
orang lain, ada yang lebih menarik: cara bapak ini menyinggung KPK.
Beliau mengatakan dalam pidatonya, “Apa yang kami lakukan sudah cukup maksimal. Kenapa?
Karena bayangkan, beberapa kali juga [Ahok] diperiksa KPK tidak bisa jadi
tersangka. Tapi, setelah ditangani oleh Polri, bisa menjadi tersangka."
Tentu Anda bisa menebak kata-kata apa yang dipekikkan bersama-sama
dengan lantang oleh para peserta. Saya nggak mau nyebut. Saya Katolik.
Berrisiko dibui, bung, saya belum kawin pula.
Em.. entah apa yang ada di pikiran bapak ini. Belakangan beliau dipuji
dan diapresiasi karena berhasil mencapai kesepakatan yang sangat baik dengan
GNPF MUI. Namun saya pantau di media sosial, banyak pihak kecewa dengan
pernyataan yang satu ini. Seakan gendang perang dengan KPK ditabuh kembali....
kan ngeri.
Kebersamaan
Ini yang luar biasa. Banyak masyarakat turun tangan menyumbang apapun
yang mereka bisa. Mulai dari memasak, membagikan bekal nasi atau roti kepada
para peserta. Tak lupa konsumsi air putih yang tentu saja sangat dibutuhkan. Bahkan
panitia aksi juga menyediakan colokan listrik bagi peserta yang butuh mengisi
ulang daya baterai ponselnya. Sumber listriknya? Sumbangan pribadi. Keren kan?
Terus juga ada cerita para santri yang berjalan kaki dari Ciamis menuju Jakarta.
Mereka berjalan bersama rombongan dan dikawal patroli macam-macam. Ini tidak
main-main, bung. Berdasarkan pencarian di Google Maps (lihat gambar di bawah),
jarak tempuh mereka bisa mencapai 270 kilometer.
Ada juga momen kebersamaan (dan tanggung jawab) yang tak kalah keren,
yaitu bersih-bersih sampah. Baik di jalur pendakian maupun di jalanan
metropolitan, hukumnya selalu sama: di
mana ada manusia, di situ ada sampah. Ya, kadang ini agak lebay. Tapi memang
betul ‘kan? Buktinya ada banyak sampah yang dipunguti bersama-sama. Ini contoh
yang baik dalam unjuk rasa. Serius. Komitmen ini patut sekali dicontoh.
Jelas, kebersamaan muncul dan terlihat. Apapun konteks dan tujuannya,
apapun cara dan modus-modusnya, nyatanya kebersamaan itu terlihat. Aksi ini
nyatanya mengundang banyak pihak untuk turut terlibat. Bukan hanya di Jakarta,
aksi serupa dikabarkan juga ada di daerah lain, bahkan di luar negeri.
Bagaimanapun, tetap ada sekelompok orang yang resisten. Mereka tak
terpengaruh. Kendati biasa ikut unjuk rasa, mereka tetap fokus pada perjuangan
mereka. Siapakah? Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (KSPN) salah satunya.
Organisasi ini fokus pada isu buruh, yaitu pengupahan. Dalam setiap
aksinya, isu tersebut selalu menjadi agenda tuntutan kepada pemerintah. Isu
politik, eh, agama seperti ini, menurut mereka, tidak terkait dengan tuntutan
yang mereka perjuangkan.
“Kami memandang aksi 2 Desember sudah bergeser ke isu politik dan soal
ras, di mana banyak pihak yang terindikasi sudah sengaja ‘menggoreng’ isu aksi
tersebut untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya,” tutur Ketua KSPN Rustadi
sebagaimana dikutip wartawan Tempo.
Barangkali ini memang kuncinya:
memandang.
KSPN memandang isu penistaan ini bergeser ke isu politik dan soal ras.
Kelompok lain melihat ini murni isu politik yang diserang menggunakan isu agama
dan ras.
Sedangkan kelompok lainnya lagi, saya sendiri tak pernah tahu seberapa
banyak, memandang ini murni isu penistaan agama. Nggak ada lah itu kaitan
dengan politik dan ketakutan terhadap dominasi ras tertentu.
Soal kelompok yang terakhir, rasanya ini yang paling banyak. Setidaknya,
banyak sekali nih di teman-teman di media sosial bilang “tergetar hatiku” atau “merinding”
melihat jemaat salat Jumat bersama dalam jumlah yang sebanyak itu. Diguyur
hujan pula.
Singkatnya, para peserta aksi Bela Islam III itu berangkat dari
panasnya penistaan agama. Disejukkan oleh kebersamaan dan untaian doa. Lantas
dibakar kebencian lewat kata-kata “Tangkap Ahok!”
Tentu orang boleh memandang dan berkata macam-macam soal aksi ini.
Tapi, hati orang, siapa yang tahu? (*)
Desember di Jogja,
sembari menanti Natal
Desember di Jogja,
sembari menanti Natal
30 November 2016
Orang di Sela-Sela
Pemandangan dari samping kamar kos Andre. |
Jumat sore saya duduk-duduk di teras samping kos kawan saya di Semarang, namanya
Andre. Dari tempat itu saya bisa lihat pemandangan rumah dan bangunan lain yang
tumbuh subur berjejalan.
Di sela-sela rumah itu ada puluhan, ratusan, jalan-jalan kecil yang
telah halus beraspal. Sebagaimana jalan lain di kota itu, jarang ditemui
jalanan datar. Rasanya setiap kali melibas aspal kok jalannya turun atau naik,
meski hanya sekian derajat saja.
Sayup-sayup saya dengar suara anak-anak kecil yang tertawa riang
sekali.
Langit sore dan suara anak-anak kecil yang tertawa riang, bukankah itu
kemegahan gratis?
Saya maju ke batas pagar kos dua lantai itu dan melongok ke bawah. Terlihat
gerombolan anak laki-laki yang main bola di jalan-jalan. Tentu saja, mereka
pilih sepotong jalan yang agak datar. Mereka asyik sekali bermain, sambil
sesekali berhenti tatkala ada pengendara
sepeda motor mau melintas.
Selang dua rumah di samping arena mereka bermain terlihat juga
anak-anak perempuan yang bawa sepeda mini kesayangan mereka. Rombongan, mereka
hampiri satu-satu rumah anak-anak perempuan lain untuk diajak bermain bareng.
“Anak kecil memang paling ahli menemukan kebahagiaan mereka, bahkan di
sela-sela kepadatan rumah sekalipun,” pikir saya.
Sedetik kemudian saya sadar bahwa kita memang tak bisa jauh-jauh dari
sela-sela—bahkan kitapun hidup di sela-sela!
Dalam wujud sperma, kita dilepaskan di sela-sela vagina ibunda. Setelah
menemukan separuh kita (sel telur) lantas kita hinggap di sela-sela rongga
dalam rahim.
Dari rahim itu kita keluar lagi
dari sela-sela vagina ibunda. Sebagian dari kita mungkin lahir dengan operasi,
keluar dari sela-sela sobekan yang dibuat dokter (/bidan) di perut ibunda.
Begitu terus. Seterusnya. Hingga kita tahu bahwa hidup manusia itu ada
di sela-sela keadaan dan ketiadaan. Dari tiada, menjadi ada, kemudian tiada
lagi. Tak lebih dari itu.
Sekaya-kayanya kita, semelarat-melaratnya kita, kita lahir dari proses
pembuahan di rahim ibunda, dan akan mati terurai menjadi entah. Sebagian orang
bilang jadi tanah, sebagain lagi bilang jadi abu/debu. Sebagian lagi bilang
kita akan dimakan cacing. Jelasnya, kita hanyalah proses kecil dari semesta
yang maha segalanya ini.
Di antara sela-sela itu, di dalam ruang kosong yang tercipta, anehnya kita
justru menciptakan makna. Dinding dilubangi jadi pintu dan jendela. Bisakah hidup
tanpa pintu dan jendela? Di sela-sela antar dinding ada ruang. Bisakah beraktivitas
tanpa ruang?
Namun memang, kadang dunia tak seindah itu. Di sela-sela los dagangan
pasar banyak pencopet. Mereka ambil recehan orang lain diam-diam. Di sela-sela gedung
pencakar langit Ibukota juga ada jalan-jalan besar, yang malah digunakan untuk aksi demo. Demo yang
awalnya damai dan berakhir ricuh.
Tiba-tiba dan tanpa diduga..
Di sela-sela awan sore di depan saya, sinar matahari
berebutan masuk. Mereka cari celah untuk tetap turun ke bumi meski mereka sudah
melorot jauh ke barat.
Seakan mereka ingin bilang, “Kami akan hilang diganti bulan, tapi tenang,
besok kami kembali datang,” sebagai salam perpisahan.
Sayangnya tak ada lambaian tangan atas salam itu. Anggukan pun tak ada.
Anak-anak kecil tetap bermain dengan riang, tak peduli dengan pamitan
matahari. Akhirnya saya lah yang melambaikan tangan sendirian. Pelan-pelan sambil lirik kiri kanan.
“Besok pagi saya akan menjumpaimu di Ibukota, matahari. Saya akan
perkenalkan kau dengan kekasihku,” gumamku sambil menenggak air mineral yang
hampir ludes.
Lantas hidup terus berlanjut di sela-sela waktu yang tak banyak.
“The trouble is you think you
have time,” tutur Jack Kornfield kala menginterpretasi ajaran Budha.
"Di sela-sela saat ini hingga ajal nanti, saya masih ingin
memperkenalkan kekasihku kepadamu, matahari. Berulang-ulang, setiap hari, dan
jangan pernah bosan."
Ah. Entah mengapa sore di kota orang menjadi sesentimentil ini.
25.11.2016
Semarang
21 October 2016
Dari Muke Martabak sampai Otak Penyesat: Bagaimana Rasanya Dibenci, Pak Fadli?
via Tempo.co |
Kamis
(20/10) pukul 23:45 akun Facebook Tempo Media membagikan berita dari redaksi
mereka berjudul “Dua Tahun Jokowi-JK, Fadli Zon Beri Nilai 6, Ini Alasannya”
Sebagai
rakyat, kita tentu tahu Fadli Zon adalah salah seorang wakil rakyat dari fraksi
Partai Gerakan Indonesia Raya. Lebih dari itu, dia menjabat sebagai Wakil Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kendati pintar, kaya, dan punya jabatan
mentereng, kita juga tahu tidak semua orang menaruh hormat pada sosok satu ini.
Bahkan aroma kebencian kental terasa dari dunia maya melalui kritikan yang
lebih mirip hujatan. Saya tertarik untuk meringkas (=memilih) pernyataan-pernyataan
hakim Tuhan warga digital tersebut.
Suhermono Sunyoto | Fadli Zonk Menggonggong Jkw. Jalan terussss,anggap sj FZ itu ANJING. GILA,sebaik. Apapun yg bpk JKW buat pasti jelek dimata setan Fadli Zonk ini,ente punya kerja apa MINUS 100.
Hujatan:
anjing, gila, setan
M Syarief Pohan | Si zonk pula yg ditanya manusia jelmaan iblis, pasti semua jelek katanya, dasar tempo udah jadi media abal2 sekarang.
Hujatan:
jelmaan iblis, media abal-abal (kepada Tempo.co)
Joko Pangaribuan Pangaribuan | Dasar Penyesat! Bukankah para nabi Allah sudah menubuatkan bahwa hidup yg akan datang akan semakin susah? Apa masalahnya sama Jokowi bila masyarakat saat ini semakin susah? Bukankah yg menjadi masalah itu; "Dalam kesusahan saat ini kamu menyesatkan rakyat Indonesia agar tidak percaya lagi sama Pemimpin dan dengan demikian tidak percaya lagi sama Tuhan, bukan?" seolah-olah kamu berkuasa untuk memulihkan kesusahan ini, bukan? Dasar otak Penyesat!
Hujatan:
Otak Penyesat
Zirro Chico | Suka suka kau lah muke martabak, aku kalau lihat nih muke ingat martabak terang bulan, pengen di iris dikunyah tapi di makannya bikin eneg dan giyung.
Hujatan:
muke martabak
Edi Ang Loe | kasi nol besar sekalian aja setan, org juga kagak demen ama loe bacot septi tank, menjijikkan
Hujatan:
setan, bacot septi(c) tank
Charlie Susanto | 99.9% komen di sini, pada nga suka sama ente zonk! Wkwkwk...Rakyat sudah pada pandai skrg & bs menilai koq kinerjanya Presiden qta skrg dibanding kerja kalian DPR useless...
Hujatan:
hmm.. enggak ada ya kayaknya? Tapi ini menarik bagi saya karena beliau jadi
lembaga survei, atau peneliti analisis isi komentar :p
Muliady Ahai | Kan cara pikirnya sistem OTAK DENGKUL....Ngomongnya juga make mulut ONTA.....Modalnya kagak ada jadi begini klu ngomong...
Hujatan:
otak dengkul, mulut onta
STOP!
Cukup sampai di sini saya meringkaskan, karena semakin lama komentar hujatannya
semakin banyak. hahahaha.. tidak perlu dicarilah ya, mudah kok untuk menemukan
kata-kata kotor di dunia maya.
Secara
umum, saya lihat ada banyak warga digital yang ingin Fadli Zon ini berkaca dan
membandingkan kinerja Jokowi dengan kinerjanya dirinya sendiri dan institusi
yang dia pikul. Semacam ada logika “hanya koki yang boleh bilang sebuah masakan
itu tidak enak.” Tapi Jokowi dan Fadli Zon sama-sama digaji pakai uang rakyat
sih, jadi mungkin warga digital merasa tepat untuk membandingkan beliau berdua.
Sebenarnya,
tidak hanya Fadli Zon saja yang menilai rapor 2 Tahun Pemerintahan Jokowi ini
buruk. Haris Azhar, misalnya, menilai bahwa penegakan HAM selama 2 tahun inimencapai angka “nol besar” karena tidak ada kasus yang selesai. Dia menilai,
angka pelanggaran HAM di dua tahun pemerintahan Jokowi ini justru meningkat. Koordinator
KONTRAS ini pun tak luput dari kritikan penuh kebencian dari warga digital.
Divisi
Hukum dan Monitoring Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradila Caesar juga
memberi poin 6 kepada pemerintahan Jokowi dalam hal keseriusan pemberantasankorupsi. Pihaknya menyoroti kasus korupsi di tubuh kepolisian dan kejaksaan
yang sebannyak 755 perkara (82 persen) tidak lagi tersentuh.
Namun
kita boleh menghela napas sejenak, karena setidaknya ada dua lembaga survei
yang menelurkan hasil riset yang sedikit berbeda. Saiful Mujani Research and
Consulting (SMRC) menilai tahun kedua ini ada kenaikan kepuasan rakyat atas
pemerintahan Jokowi – JK. Sebanyak 41 persen responden mengaku puas pada tahun
pertama, sedangkan pada tahun kedua kepuasan itu melonjak hingga 67 persen.
Hasil
survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) juga menunjukkan
adanya kenaikan tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi - JK. Responden
yang puas pada tahun pertama 50,6 persen, menjadi 66,5 persen pada tahun kedua.
Lebih rinci, tingkat kepuasan tersebut ditilik dari empat indikator: ekonomi,
hukum, politik, dan maritim.
Lantas..
kita hendak percaya yang mana? Bagi saya sih kebenaran memang kepunyaan (versi)
masing-masing yang mengutarakan. Haris Azhar, saya yakin dia punya data pelanggaran
HAM yang bisa menguatkan pendapatnya yang soal “nol besar” itu. Begitu juga dengan
ICW, yang fokus pada persoalan-persoalan korupsi. Mereka bicara sesuai
kapasitasnya sebagai aktivis LSM yang fokus pada satu sektor persoalan pelik bangsa ini.
Sedangkan
SMRC dan CSIS memang melakukan survei atas ribuan responden untuk mengeluarkan
pernyataan positif tersebut. Tentu saja mereka mempertaruhkan nama besarnya
kalau sampai merilis hasil dari proses riset yang tidak valid atau penuh
manipulasi. Tentu saja, kita tidak benar-benar tahu bagaimana mereka melakukan riset, apakah ada manipulasi, dan siapa yang mendanai riset tersebut.
Lantas,
Fadli Zon? Terus terang, saya sungguh tidak tahu. Saya hanya bisa menduga beliau juga
punya data, entah dari stafnya atau dari mana. Kalau beliau sampai tidak punya
data tapi bicaranya ngawur dan asal kritik begitu, ya pantas saja kalau rakyat
yang diwakilinya mencak-mencak. Selain itu, rakyat tampaknya sudah punya kebencian terlebih dahulu dengan Fadli Zon ini karena kasus yang telah lalu.
Nah.. tapi.. perlukah mengkritik Fadli Zon
dengan penuh kebencian dan pakai kata-kata begitu?
Lebih tepatnya: apakah kata-kata kotor dan rasa benci itu akan membuat Fadli Zon berubah jadi baik (versi mereka), Jokowi - JK sukses mengangkat Indonesia, dan rakyat tak lagi menderita? Tentu saja tidak. Namun setidaknya saya merefleksikan sesuatu: kata-kata kotor dari rasa benci itu akan lebih mudah keluar tatkala seseorang jadi anonim. Silakan didebat, karena tentu anda punya kebenaran juga.
masa penantian,
Jogja 2016
18 October 2016
Realitas Masyarakat Religius: Saat Ini
via funnyjunk.com |
“Saat Ini” adalah keterangan waktu yang perlu saya garis bawahi. Kendati kita tak bisa dengan jelas membatasi keterangan tersebut, ijinkan saya memberi batasan: saat ini adalah beberapa tahun belakangan—sejauh saya punya energi untuk mencarinya di media-media online. Tetap tidak jelas bukan? Semoga tetap tidak jelas, supaya Anda sendiri bisa menambahi data yang saya kumpulkan.
Selama
ini tulisan-tulisan saya tentang agama adalah mengenai refleksi saya atas
ajaran-ajaran agama yang pernah saya tahu. Kali ini berbeda, saya menulis
tentang bagaimana belakangan ini media sedang menampilkan wajah spiritual di
masyarakat Indonesia. Sayangnya, wajah itu kusam dan bermuka dua: penuh
kepentingan lain—terutama soal uang dan kekuasaan.
Saya
mengawalinya dari cerita-cerita yang dibangun oleh seorang tokoh pemimpin
spiritual yang memiliki pengikut yang tidak hanya berjumlah besar, tetapi juga
loyal. Baiknya kita mulai dari:
Eyang
Subur || Nama
pria kelahiran Jombang, 12 Desember 1946 ini sempat melejit lantaran
pemberitaan terus menerus oleh media. Dia dikenal sebagai “guru spiritual” bagi
beberapa artis (Adi Bing Slamet, Nurbuat, Rohana, Unang, Tessy, dan banyak
lainnya) supaya rejeki mereka dilancarkan. Nah, nama pria satu ini mulai ramai
di infotainment tatkala Adi Bing Slamet bercuap-cuap di media, mengatakan bahwa
Eyang Subur menyebarkan ajaran sesat. Bumbu-bumbu drama ditabur sana sini,
termasuk Arya Wiguna yang sempat kondang dengan “Demi Tuhan”nya. Pada intinya, Eyang
Subur populer di media karena dituduh melakukan penistaan agama.
Setahu
saya, cerita Eyang Subur ini salah satunya menarik karena dia memiliki banyak istri; dan itu melanggar aturan agama. Seberapa banyak? Tidak tahu pastinya, tetapi berdasarkan laporan Tempo.co pada tahun 2013 Eyang Subur masih mencari istri yang kesembilan. Bagaimana dia bisa beristri
banyak dengan kondisi fisik yang tak lagi muda? Tak sedikit yang menduga, harta
adalah jawabnya. Liputan6.com melaporkan salah satu kekayaan Eyang Subur tampak dari rumah mewah yang kalau
ditaksir harganya bisa mencapai 20 miliar rupiah. Pertanyaannya, dari mana
Eyang Subur mendapatkan harga sebanyak itu? Tidak ada yang tahu persis, bahkan
keluarganya sendiri pun mengaku tidak tahu.
Gatot Brajamusti || Dari Eyang Subur, saya ajak Anda melompat ke tahun 2016. Satu hal yang bikin saya agak terkejut adalah nama lengkap dari pria ini, yaitu Fransiskus Paulus Gatot Brajamusti. Saya tidak asing dengan kata Fransiskus dan Paulus, yang kerap kali disebut dalam perayaan ekaristi di Gereja Katolik setiap harinya. Pria kelahiran tahun 1962 ini bukan akhir-akhir ini saja terkenal. Tahun 2005 namanya diperbincangkan infotainment setelah penyanyi Reza Artamevia tiba-tiba hilang dan ditemukan sedang mondok di Padepokan Brajamusti milik Gatot di Sukabumi, Jawa Barat. Kalau ditelusuri, rupanya Gatot adalah Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) dan juga seorang penyanyi. Setidaknya dia menyanyi lagu "Subhanallah" dan "Lailatul Qodar" yang video klipnya diunggah di Youtube.
Mengapa jelang akhir tahun 2016 ini nama Gatot kembali disebut-sebut? Gatot ditangkap oleh polisi ketika dia menggunakan sabu-sabu di Mataram. Rumah Gatot pun digeledah, dan polisi tidak hanya menemukan barang-barang terkait narkoba, tetapi juga senjata api ilegal. Cerita berkembang menjadi tak hanya soal sabu-sabu dan senjata api, tetapi juga apa yang terjadi di Padepokan Brajamusti. Gatot mengaku ada ritual seks menyimpang bersama para pengikutnya di padepokan, sementara ada juga pengikut yang memolisikan Gatot karena kasus perkosaan.
Padepokan Brajamusti dikabarkan tak pernah sepi lantaran pengikutnya yang selalu berdatangan; termasuk dari kalangan artis. Mereka "diikat" dengan dibuat ketagihan dengan kristal yang diberi nama Aspat; yang sebenarnya adalah sabu. Kristal tersebut dibalut dengan cerita bahwa itu adalah makanan jin yang dikendalikan oleh kemampuan spiritual Gatot. Bahkan, Tempo.co melaporkan ada pandangan yang menyebutkan bahwa dia adalah Malaikat Izrail, titisan Nabi Sulaiman, dan bahkan Tuhan itu sendiri.
Dimas Kanjeng Taat Pribadi || Nama asli pria berbadan agak subur ini adalah Taat Pribadi. Namun sekitar tahun 2000 salah seorang gurunya memberi tambahan nama "Dimas Kanjeng" yang lalu ditaruh di depan nama asli. Dari sumber yang sama, muncul kabar bahwa dia adalah anak pensiunan seorang polisi yang pernah menjabat sebagai Kapolsek. Taat Pribadi ditangkap September 2016 dengan melibatkan 1.000 personel kepolisian atas tuduhan membunuh dua mantan pengikutnya: Ismail Hidayah dan Abdul Ghani.
Seribu personel untuk menangkap seorang Taat Pribadi? Ya. Tentu saja polisi punya alasan mengapa perlu melibatkan anggota sebanyak itu. Jawaban yang saya duga adalah karena Taat Pribadi adalah orang terpandang, memiliki padepokan, dan tentu saja (ini jawabannya) memiliki pengikut yang jumlahnya mencapai 23 ribu orang. Pengikut sebanyak itu diperoleh dengan menggunakan cara yang menyerupai multilevel marketing: seorang pengikut mencari pengikut lain untuk memercayakan uang mereka.
Sejauh yang saya amati di berbagai media, kasus pembunuhan yang (dituduhkan) diotaki oleh Taat Pribadi ini kalah populer dibanding kemampuannya menggandakan uang. Bisa ditebak, ujung dari kemampuan ini adalah laporan penipuan yang menambah panjang daftar kesalahannya. Beberapa orang mencoba menjelaskan cara penipuan Taat Pribadi menggandakan uang, yang videonya viral tersebut. Ngomong-ngomong, kendati videonya dibuat bercandaan, pengikut Taat Pribadi bukanlah orang sembarangan. Sebutlah Marwah Daud Ibrahim, lulusan Doktoral dari Amerika Serikat, yang saat ini berstatus sebagai saksi.
---------------------
BENANG MERAH
---------------------
Dari
ringkasan fenomena tersebut saya mencoba menarik beberapa benang merah. Pertama, tentu saja, mereka adalah
orang-orang beragama dan mengakui keberadaan Tuhan—bukan atheis-agnostik. Di
luar tudingan ajaran sesat yang dilemparkan banyak pihak (termasuk MUI), mereka
kebetulan saja beragama Islam. Tidak jarang mereka tampil mengenakan
simbol-simbol Islam (atau Arab) yang memang seringkali bikin silau mata
orang-orang. Simbol itu terletak pada pakaian hingga perhiasan termasuk penutup
kepala mereka yang ala-ala apalah.
Soal
pengakuan agama mereka, sudah pasti ada banyak pihak yang merasa tersinggung
karena mereka telah dianggap menistakan agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
misalnya, menuding bahwa Eyang Subur telah menyebarkan ajaran sesat. Pada suatu
kali, mereka mendesak Eyang Subur untuk bertobat karena tak lancar baca surat
Al Fatihah.
Sedangkan
Elma Theana, artis yang adalah mantan pengikut Gatot Brajamusti,
terang-terangan mengakui bahwa ajaran Gatot itu sesat. Tak begitu jelas apa yang
bikin sesat, tetapi dituliskan “melanggar akidah-akidah normal keislaman yang
sesungguhnya.”
Begitu
juga MUI Probolinggo yang menuding Taat Pribadi menyebarkan ajaran sesat. Salah
satunya karena Taat Pribadi mengajarkan tentang “bank gaib” yang akan mendatangkan
uang.
Masalahnya
mereka menggunakan jubah agama tersebut untuk mengkultuskan diri mereka
sendiri. Membuat diri mereka tampak menjadi sosok yang kudus dan dipercaya yang
mampu mengarahkan orang-orang kepada pemahaman agama yang lebih baik. Lebih dari itu, supaya
masyarakat tertarik untuk mendapat kekayaan secara instan dan halal.
Agama
juga mereka gunakan sebagai tameng atas “markas” kejahatan mereka yang berupa
padepokan. Mereka memanfaatkan ketidaktahuan/ketundukan/keirasionalitasan manusia-manusia
(over-)religius di sekitar mereka. Asal sakti, kaya, punya pondok, pakai
ayat-ayat suci, sudah pastilah langsung mengkultuskan sosok-sosok itu. Mereka
memanfaatkan kematian daya kritis dan kemelorotan daya tahan menghadapi proses dari
anggota-anggota masyarakat.
Benang
merah kedua, ketiga tokoh tersebut
adalah laki-laki. Budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai “kelas
atas” rasa-rasanya kental sekali di sini. Oleh karenanya mereka menjadi
pemimpin dan punya sekian banyak pengikut. Tentu ini tidak mutlak ya, kalau
benar-benar dibaca, peran perempuan dalam fenomena ini bisa dikatakan seimbang.
Bila
kita mengingat kasus penistaan agama sekitar 15 tahun lalu oleh Lia Eden,
perempuan tampil juga sebagai pemimpin. Dalam kasus yang menimpa Taat Pribadi,
ada juga sosok perempuan cerdas yang menjadi Ketua Yayasan Padepokan yaitu
Marwah Daud. Selain ketua yayasan tersebut, dia juga tercatat sebagai pengurus
MUI pusat (belakangan kabarnya mengundurkan diri) dan salah satu pendiri Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Ketiga, kegiatan mereka sama-sama
terkait dengan aktivitas seksual. Sejauh pengamatan saya, tokoh paling “soft”
dalam urusan seksual adalah Taat Pribadi. Dia hanya dikabarkan memiliki lebih
dari satu istri dalam padepokannya. Sedangkan Eyang Subur juga memiliki banyak
istri berusia muda, meskipun sudah berusia lanjut. Yang paling parah adalah
Gatot Brajamusti karena dikabarkan melakukan ritual seks—termasuk dengan para
artis yang menjadikannya guru spiritual.
Dari
tiga benang merah itu saja dapat dilihat bahwa agama adalah alasan, modus,
sekaligus tujuan dari para penganutnya. Kita boleh saja bilang “agama tidak
salah, yang salah adalah penganutnya” untuk membela agama. Namun menurut saya
kita juga jangan lupa kalau agama lahir—selalu dalam proses dilahirkan kembali—dalam
konteks sosial dan budaya kemasyarakatan. Agama tidak bisa dipisahkan dari
kondisi masyarakat. Mereka bukan hanya berhubungan, tetapi saling
keterhubungan.
Silahkan
menambahkan kalau Anda masih berkenan dan punya waktu. Konteksnya masih
realitas yang dibentuk oleh media, ya.
Apa?
Soal agama yang ramai disebut-sebut dalam bursa politik DKI? Oh iya. Cukup ah,
itu melibatkan pasukan-pasukan garis keras sih. Lagipula saya penganut Katolik
(berbeda dengan Kristen Protestan) yang biasa-biasa saja. Nanti kalau diajak
berdebat pakai dalil agama juga pasti saya bertekuk lutut. Minoritas sih, tapi
paling tidak saya tidak merasa terancam :)
[1] Realitas
yang saya maksud di sini adalah realitas yang termediasi dalam konten-konten
media; baik media cetak, elektronik, ataupun digital.
18 September 2016
Tiga Tahun Lagi
via kolatinformant.com |
“Sepuluh tahun setelah lulus SMA, ceritakan pada saya apa yang telah kalian
lakukan pada hidup kalian,” kata seorang bruder sekitar 8 tahun yang lalu.
Barangkali tidak banyak yang ingat dengan kata-kata itu. Yang jelas
saya tidak sedang mengada-ada biar tulisan ini berbumbu. Seingat saya, kalimat
itu terucap ketika beliau sedang bicara di bangsal Asrama Putera.
Saat itu muncul pertanyaan yang biasa saja: kenapa harus sepuluh tahun?
Saya lalu membayangkan, mungkin karena sepuluh tahun setelah lulus SMA,
usia kami sekitar 28. Usia itu adalah pertengahan usia 25 dan 30.
Dengar-dengar usia 25 adalah usia rawan, ketika keputusan-keputusan
besar serentak mendatangi: mulai dari karir hingga pasangan hidup.
Dengar-dengar juga usia 30 adalah penentu, atau menjadi semacam target, bahwa
pada usia itu kita sudah menemukan kemapanan atas keputusan yang kita ambil
saat usia 25.
Namun, setelah saya pikir lagi, saya memaknainya secara berbeda. Kini
saya sudah menyelesaikan satu tahap pendidikan tinggi di usia 25. Perjuangan
saya saat ini adalah mencari tempat hinggap yang paling sesuai untuk
mengembangkan hidup.
Sementara puluhan hingga ratusan teman seusia saya sudah mulai
membangun karir mereka sejak dua hingga tiga tahun yang lalu.
Sementara juga, belasan teman seusia saya baru saja lulus sarjana.
Mereka masih perlu mengikuti tes-tes masuk perusahaan untuk bisa bekerja—yang
barangkali butuh waktu juga. Beberapa dari mereka juga sudah membangun bisnis
sejak masih kuliah.
Nah, inilah yang saya refleksikan dari perkataan bruder tadi.
Asumsinya, sepuluh tahun setelah lulus, kami sudah bekerja. Barangkali ada yang
baru bekerja 3 tahun, atau mungkin sudah 7 tahun. Berapapun durasinya, posisi
kami diasumsikan sama: sudah bekerja.
Ini bukan soal jabatan, gaji, bisnis, ataupun posisi ya. Ini soal waktu. Kami akhirnya
selesai bersama di SMA, dan mengawali bersama di bangku kuliah. Namun kami
mengakhirinya dalam waktu berbeda, dan mengawali masa setelah kuliah juga
dengan waktu yang berbeda.
Bila dilihat dalam jangka waktu puluhan tahun, selisih tiga tahun tidak
begitu berarti. Barangkali itulah yang dimaksud bruder pada waktu itu.
Tiga tahun lagi, sekitar bulan sembilan atau sepuluh, saya akan
memenuhi permintaan bruder—meskipun dengar kabar kalau sekarang beliau sudah
menjadi awam.
Tiga tahun lagi, mau jadi apa kita?
18 August 2016
Usia Mereka 10 Tahun di Bawah Saya
via getpaidforsurveys.co |
Pertama, saya banyak menemukan
anak-anak SMP—SMA yang tidak hapal nomor handphonenya sendiri. Ketika saya
bagikan daftar presensi yang—salah satunya—memuat kolom untuk nomor handphone,
banyak yang lalu membuka menu kontak dari gadget mereka, lalu mencari nomor
mereka sendiri.
Bagi saya—entah bagi orang lain yang segenerasi dengan saya—hal itu
cukup mengejutkan. Saya lalu berkaca pada diri sendiri. Sampai sekarang saya hapal
nomor handphone orang rumah—bahkan ketika sudah pada punya dua nomor. Bisa
begitu karena dulu ketika mereka sudah punya ponsel, saya sendiri yang belum
punya. Kalau ada apa-apa dan harus menelepon dari wartel, saya harus hapal.
Barangkali itu kebutuhan saja ya. Mereka tak perlu menghapal karena
tiap kali butuh tahu, mereka tinggal buka gadget. Selesai urusan. Untuk apa
repot-repot menghapal kalau bisa lihat gadget?
Menurut saya sih tidak masalah kalau memori handphone itu membantu kita
untuk mengingat. Asal, kita tidak memindahkan memori kita ke handphone karena
takut membebani kerja otak untuk mengingat. Dengar-dengar kapasitas memori otak kita 10 juta GB. Prinsip dari jaringan saraf dan proses belajar juga menjadi
inspirasi untuk membuat komputer.
via www.engadget.com |
Ketika saya tanya, dia jawab “Saya 'gak punya nomor telepon mas. Itu kosongan.
Saya pakai kalau pas ada wifi aja.”
Apakah anak ini datang dari masa depan? Bisa jadi.
---------
- Sebuah catatan membantu penelitian
- Saya berurusan dengan teman-teman yang usianya 10 tahun lebih muda
dari saya; betul, dunia telah banyak berubah
Subscribe to:
Posts (Atom)
Baca Tulisan Lain
-
Barangkali memang setiap negara tidak bisa tidak melakukan hubungan-hubungan dengan negara lain. Setiap hubungan yang dijalin bisa saja memi...
-
Cerita ini diawali ketika beberapa kawan melakukan penelitian di Desa Wisata Sidoakur yang terletak di Jalan Godean. Akhirnya saya ngikut...
-
Sembah bekti kawula Dewi Mariyah kekasihing Allah, pangeran nunggil ing Panjenengan Dalem. Sami-sami wanita Sang Dhewi pinuji piyambak, saha...
-
Yellow journalism Yellow journalism bukanlah merupakan sebuah aliran jurnalisme, melainkan sebuah julukan yang diberikan oleh The New York...
-
Terima kasih, adinda :)