Akhir-akhir ini saya sering kepikiran tentang dunia sastra, meski dunia itu asing sekali buat saya. Setelah saya ingat-ingat, saya baru sedikit sekali membaca cerita novel atau cerpen, terutama setelah dewasa ini ya. Ketika kecil sih saya dibelikan Bobo oleh ibu saya, jadi sering baca cerpen di sana. Beranjak remaja saya baca Harry Potter. Lalu sampai umur 23 ini paling cuma nambah baca sekitar tujuh buku novel. Parah ya?
Eyang kakung saya (almarhum) adalah dosen bahasa. Saya ingat dulu pernah melihat buku tulis yang berisi cerita yang dia bikin. Dia menulis pakai pena jaman dulu, yang tintanya khas sekali. Bentuk tulisannya rapi dan khas jaman dulu juga: tegak bersambung, miring, dan terkesan artistik. Dengar-dengar, eyang kakung memang berbakat dalam bahasa. Entah mengapa bakat itu sepertinya tidak menurun ke saya.
Pernah menulis cerpen? Pernah. Terakhir ketika SMA. Itupun tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia yang harus dikumpulkan. Ketika kuliah juga sempat mau menulis cerpen, tapi berhenti ketika cerita sedang di tengah-tengah.
Menulis puisi? Pernah, tapi alay. Apalagi kalau menulis tentang cinta. Duh. Rasanya jadi malu sendiri. Kadang juga sok kekiri-kirian ketika nulis tentang penderitaan manusia, kritik sosial, dan pemberontakan. #macakaktivis #abalabal
Sebenarnya, jurusan yang saya geluti ini cukup dekat dengan dunia sastra. Anggap saja, jurnalistik dan sastra itu sama-sama berbasis kemampuan menulis (meski tidak semua begitu). Di bangku kuliah, kami anak-anak jurnalistik juga belajar metode pembacaan teks yang tidak selalu teks berita. Bahkan tidak jarang kami meminjam metode membaca teks novel atau cerpen untuk membedah teks berita.
Sosok jurnalis hebat, Goenawan Mohamad, adalah sastrawan. Beberapa dari kawan wartawan juga punya basis pendidikan sastra dan bahasa. Bahkan ada yang bilang ke saya,"Mau jadi apalagi kalau bukan wartawan?" Ah, saya tidak suka orang-orang seperti ini. Mereka punya pendidikan tinggi, kok justru merasa terbatasi oleh gelarnya itu. Bukankah dia bisa jadi dosen, penulis, atau apapun yang bukan wartawan? Tapi terserah mereka ya, jalan hidup mereka ini.
Kedekatan ini yang membuat saya beberapa hari yang lalu datang ke acara diskusi sastra di Taman Budaya Yogyakarta. Ini hal yang baru sekali buat saya. Ada empat orang di sudut ruangan yang sudah diatur sebagai tempat pembacaan karya sastra. Keren.
Sejak saat itu saya mulai kepikiran tentang sastra. Apa sastra itu tentang cerpen dan puisi? Jelas bukan tentang itu saja. Saya harus baca banyak dulu, baru saya tulis lagi di sini. Mumpung masih muda, kejarlah keingintahuanmu itu. Sampai lelah. Sampai bosan. Selelah-lelahnya. Sebosan-bosannya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Baca Tulisan Lain
-
Barangkali memang setiap negara tidak bisa tidak melakukan hubungan-hubungan dengan negara lain. Setiap hubungan yang dijalin bisa saja memi...
-
Cerita ini diawali ketika beberapa kawan melakukan penelitian di Desa Wisata Sidoakur yang terletak di Jalan Godean. Akhirnya saya ngikut...
-
Sembah bekti kawula Dewi Mariyah kekasihing Allah, pangeran nunggil ing Panjenengan Dalem. Sami-sami wanita Sang Dhewi pinuji piyambak, saha...
-
Yellow journalism Yellow journalism bukanlah merupakan sebuah aliran jurnalisme, melainkan sebuah julukan yang diberikan oleh The New York...
-
Terima kasih, adinda :)
No comments:
Post a Comment