10 July 2014

New Media dan Matinya Rasionalitas dalam Pilpres


Sumber: http://baakondan.com

(ditulis oleh Umaimah Wahid; Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur; dimuat di Media Indonesia edisi 10 Juli 2014)
Pemilihan umum presiden (pilpres) tahun ini sangat dinamis sehingga mampu menarik minat masyarakat untuk terlibat dalam diskusi prosesnya. Media massa, new media dan media sosia berperan dominan untuk menggerakkan proses politik yang berlangsung. Media massa dengan beragam jenisnya menciptakan transformasi informasi dengan begitu efektif sehingga seakan tak ada lagi jarak antara ruang dan waktu bagi masyarakat dalam memperoleh informasi yang mereka kehendaki.

Media massa, terutama new media dan social media, sebagai kekuatan baru dalam politik Indonesia menjadi pilihan untuk melakukan sosialisasi, kampanye, bahkan propaganda oleh kedua kontestan pilpres. Media secara umum dalam Pilpres 2014 terbelah menjadi tiga, yaitu 1) media yang mengarahkan afiliasi mereka untuk mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, 2) kelompok media yang berafiliasi mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla, dan 3) kelompok media yang cenderung netral. Gegap gempita Pilpres 2014 juga merambah media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Youtube. Perseteruan antara pendukung, simpatisan, dan relawan kedua kubu dilakukan dengan sangat masif, menjelek-jelekkan salah satu pihak dengan bahasa yang kasar dan cenderung melampaui batas.

Matinya rasionalitas
Beberapa media massa menempatkan diri sebagai ‘agen’ bagi kekuatan politik tertentu sehingga terjadilah apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai ‘ketidakseimbangan rasionalitas’ yang berlangsung di tengah masyarakat Indonesia. Peristiwa ini, dengan segala efek yang dibawanya, pada akhirnya membawa masyarakat pada kondisi yang disebut Jurgen Habermas ‘antimasyarakat komunikatif’ (uncommunicative society). Masyarakat komunikatif, menurut Jurgen Habermas, ialah masyarakat yang bertindak atas dasar intersubjektivitas yang mereka miliki sebagai kekuatan akal  budi dalam tindakan mereka untuk menghasilkan konsensus/kesepakatan atas dasar kepentingan masyarakat secara umum. Masyarakat komunikatif berbeda dengan masyarakat rasionalitas tradisional. Kelompok masyarakat yang terakhir ini dianggap hanya mendasarkan keputusan pada kepentingan dan pertimbangan seseorang atau kelompok.

Kebebasan media di Indonesia ternyata masih belum mampu menciptakan rasionalitas karena demokrasi yang merupakan prasyarat utama tumbuhnya beragam media belum mampu secara maksimal mendidik masyarakat pembaca untuk lebih rasional dalam mengonsumsi media. Kebebasan media justru mengekalkan rasionalitas tradisional dan modern, seperti yang dikemukakan Immanuel Kant dan Hegel. Rasio praktis, menurut Kant, mengacu kepada otonomi individu, yaitu pada hakikat yang universal atau tidak bergantung pada konteks sosial dan historis tertentu. Hegel menerapkan kemampuan subjektif itu pada arus sejarah dengan mengandaikan bahwa kemampuan subjektif individu identik dengan kemampuan subjektif suatu bangsa.

Matinya rasionalitas itu justru didukung kaum intelektual yang menjadi tim sukses, pendukung, dan simpatisan tiap capres. Para ilmuwan yang berafiliasi dengan salah satu capres dan partai pengusungnya justru menambah potensi konflik di tengah masyarakat.

Komunikasi rasionalitas
Habermas menjelaskan rasionalitas merupakan inti manusia komunikatif. Rasionalitas menciptakan intersubjektif dan otonomi manusia dalam berpikir dan bertindak sekaligus mampu mengembangkan diskursus menuju masyarakat komunikatif. Ini berarti bahwa semua proses menuju masyarakat komunikatif dimulai dengan rasionalitas manusia, yaitu kemampuan akal pikiran manusia dalam berpikir, menciptakan realitas dalam diskursus, dan menghasilkan konsensus bagi kepentingan manusia.

Manusia ialah makhluk hidup yang memiliki akal pikiran. Kemampuan berpikir dan menganalisis akal sangat bergantung pada luasnya pengalaman, pendidikan, baik formal maupun informal.

Proses berpikir ialah pergerakan mental dari satu hal menuju hal lain, dari proposisi satu ke proposisi lainnya, dari apa yang sudah diketahui ke hal yang belum diketahui. Akal dan kemampuan berpikir manusia memberi fungsi lebih tinggi, yaitu kebutuhan manusia terhadap pendidikan, aktualisasi diri, sosialisasi, menciptakan aturan, sistem, norma, dan budaya/peradaban. Pertanyaannya ialah ke mana rasionalitas dan otonomi para pendukung capres-cawapres pada Pilpres 2014? Apakah mati seiring dengan kepentingan sesaat,  yaitu memenangkan jagoan masing-masing?

Realitas dalam Pilpres 2014 ini irasional dan tidak otonomnya pendukung dan relawan kedua pihak memicu konflik terbuka dan bukan tidak mungkin akan menjadi konflik baru di masyarakat. Pilpres 2014 yang merupakan produk reformasi politik dengan mengusung sistem politik demokrasi justru kehilangan rasionalitas dan akal intelek dalam menghadapi beragam fenomena dukung mendukung. Tindakan pendukung dan relawan yang tidak memiliki landasan etis memadai disebabkan proses perkembangan rasionalitas yang tersendat. Masyarakat sangat mudah melakukan kekerasan fisik dalam penyelesaian konflik ketimbang berbicara secara otonom dan rasional.

Kebekuan berpikir masyarakat memberi implikasi pada tidak adanya otonomi intersubjektif. Hilangnya otonomi merupakan suatu yang sangat berbahaya dalam konsep masyarakat komunikatif Habermas karena pada dasarnya otonomi intersubjektiflah yang mampu melahirkan klaim-klaim kesahihan sebagai proses untuk melahirkan diskursus.

Seharusnya otonomi manusia dalam komunikasi menjadi dasar dalam menciptakan diskursus dalam masyarakat berkaitan dengan interaksi politik, sosial, budaya, dll. Maka, diperlukan kritik yang mendalam untuk mengubah situasi kebekuan dalam masyarakat dengan menumbuhkan konsep emansipasi. Akal pikiran memungkinkan manusia menciptakan rasionalitas sepanjang sejarah peradaban manusia. Dengan rasionalitas itu pula, manusia mengalami perkembangan secara terus-menerus dalam proses menciptakan dan menjelaskan peradaban.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain