Sumber: http://baakondan.com |
(ditulis oleh Umaimah Wahid; Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi
Luhur; dimuat di Media Indonesia edisi 10 Juli 2014)
Media massa, terutama new media
dan social media, sebagai kekuatan
baru dalam politik Indonesia menjadi pilihan untuk melakukan sosialisasi,
kampanye, bahkan propaganda oleh kedua kontestan pilpres. Media secara umum
dalam Pilpres 2014 terbelah menjadi tiga, yaitu 1) media yang mengarahkan
afiliasi mereka untuk mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, 2) kelompok
media yang berafiliasi mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla, dan 3) kelompok media
yang cenderung netral. Gegap gempita Pilpres 2014 juga merambah media sosial
seperti Facebook, Twitter, dan Youtube. Perseteruan antara pendukung,
simpatisan, dan relawan kedua kubu dilakukan dengan sangat masif,
menjelek-jelekkan salah satu pihak dengan bahasa yang kasar dan cenderung
melampaui batas.
Matinya rasionalitas
Beberapa media massa menempatkan diri sebagai ‘agen’ bagi kekuatan politik
tertentu sehingga terjadilah apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai ‘ketidakseimbangan
rasionalitas’ yang berlangsung di tengah masyarakat Indonesia. Peristiwa ini,
dengan segala efek yang dibawanya, pada akhirnya membawa masyarakat pada
kondisi yang disebut Jurgen Habermas ‘antimasyarakat komunikatif’ (uncommunicative society). Masyarakat komunikatif,
menurut Jurgen Habermas, ialah masyarakat yang bertindak atas dasar
intersubjektivitas yang mereka miliki sebagai kekuatan akal budi dalam tindakan mereka untuk menghasilkan
konsensus/kesepakatan atas dasar kepentingan masyarakat secara umum. Masyarakat
komunikatif berbeda dengan masyarakat rasionalitas tradisional. Kelompok masyarakat
yang terakhir ini dianggap hanya mendasarkan keputusan pada kepentingan dan
pertimbangan seseorang atau kelompok.
Kebebasan media di Indonesia ternyata masih belum mampu menciptakan
rasionalitas karena demokrasi yang merupakan prasyarat utama tumbuhnya beragam
media belum mampu secara maksimal mendidik masyarakat pembaca untuk lebih
rasional dalam mengonsumsi media. Kebebasan media justru mengekalkan
rasionalitas tradisional dan modern, seperti yang dikemukakan Immanuel Kant dan
Hegel. Rasio praktis, menurut Kant, mengacu kepada otonomi individu, yaitu pada
hakikat yang universal atau tidak bergantung pada konteks sosial dan historis
tertentu. Hegel menerapkan kemampuan subjektif itu pada arus sejarah dengan
mengandaikan bahwa kemampuan subjektif individu identik dengan kemampuan
subjektif suatu bangsa.
Matinya rasionalitas itu justru didukung kaum intelektual yang menjadi tim
sukses, pendukung, dan simpatisan tiap capres. Para ilmuwan yang berafiliasi
dengan salah satu capres dan partai pengusungnya justru menambah potensi
konflik di tengah masyarakat.
Komunikasi rasionalitas
Habermas menjelaskan rasionalitas merupakan inti manusia komunikatif. Rasionalitas
menciptakan intersubjektif dan otonomi manusia dalam berpikir dan bertindak
sekaligus mampu mengembangkan diskursus menuju masyarakat komunikatif. Ini berarti
bahwa semua proses menuju masyarakat komunikatif dimulai dengan rasionalitas
manusia, yaitu kemampuan akal pikiran manusia dalam berpikir, menciptakan
realitas dalam diskursus, dan menghasilkan konsensus bagi kepentingan manusia.
Manusia ialah makhluk hidup yang memiliki akal pikiran. Kemampuan berpikir
dan menganalisis akal sangat bergantung pada luasnya pengalaman, pendidikan,
baik formal maupun informal.
Proses berpikir ialah pergerakan mental dari satu hal menuju hal lain, dari
proposisi satu ke proposisi lainnya, dari apa yang sudah diketahui ke hal yang
belum diketahui. Akal dan kemampuan berpikir manusia memberi fungsi lebih
tinggi, yaitu kebutuhan manusia terhadap pendidikan, aktualisasi diri,
sosialisasi, menciptakan aturan, sistem, norma, dan budaya/peradaban. Pertanyaannya
ialah ke mana rasionalitas dan otonomi para pendukung capres-cawapres pada
Pilpres 2014? Apakah mati seiring dengan kepentingan sesaat, yaitu memenangkan jagoan masing-masing?
Realitas dalam Pilpres 2014 ini irasional dan tidak otonomnya pendukung dan
relawan kedua pihak memicu konflik terbuka dan bukan tidak mungkin akan menjadi
konflik baru di masyarakat. Pilpres 2014 yang merupakan produk reformasi
politik dengan mengusung sistem politik demokrasi justru kehilangan
rasionalitas dan akal intelek dalam menghadapi beragam fenomena dukung
mendukung. Tindakan pendukung dan relawan yang tidak memiliki landasan etis
memadai disebabkan proses perkembangan rasionalitas yang tersendat. Masyarakat sangat
mudah melakukan kekerasan fisik dalam penyelesaian konflik ketimbang berbicara
secara otonom dan rasional.
Kebekuan berpikir masyarakat memberi implikasi pada tidak adanya otonomi
intersubjektif. Hilangnya otonomi merupakan suatu yang sangat berbahaya dalam
konsep masyarakat komunikatif Habermas karena pada dasarnya otonomi
intersubjektiflah yang mampu melahirkan klaim-klaim kesahihan sebagai proses
untuk melahirkan diskursus.
Seharusnya otonomi manusia dalam komunikasi menjadi dasar dalam menciptakan
diskursus dalam masyarakat berkaitan dengan interaksi politik, sosial, budaya,
dll. Maka, diperlukan kritik yang mendalam untuk mengubah situasi kebekuan
dalam masyarakat dengan menumbuhkan konsep emansipasi. Akal pikiran
memungkinkan manusia menciptakan rasionalitas sepanjang sejarah peradaban
manusia. Dengan rasionalitas itu pula, manusia mengalami perkembangan secara
terus-menerus dalam proses menciptakan dan menjelaskan peradaban.
No comments:
Post a Comment