Skip to main content

Piala Dunia yang Nganu

Sumber: kompas.com
Bukan tentang Jerman mengalahkan Argentina di pertandingan final. Bukan pula tentang Brazil yang terjegal di semifinal dengan skor yang memalukan. Apalagi tentang Inggris, jagoan bapak, yang sudah pulang di awal kompetisi.

Ini tentang bagaimana saya menikmati Piala Dunia 2014. Pada awal kompetisi, saya masih jadi wartawan di Ibu Kota. Saya sempat menulis tentang efek Piala Dunia 2014, tentu kaitannya dengan perekonomian. Misalnya, bagaimana toko-toko ritel turut "merayakan" Piala Dunia ini. Korporasi itu menjual barang-barang berbau sepak bola, atau menjadikan barang-barang tersebut sebagai bonus setelah pelanggan berbelanja sebanyak nominal tertentu. Logika industri? Jelas :)

Ya, saya merayakan lewat tulisan. Kebetulan saya tidak punya televisi di kamar kos. Namun, pemilik kos menyediakan sebuah ruangan ber-AC yang memang digunakan sebagai tempat menonton acara di televisi.
Sebenarnya saya bisa ikut bergabung nonton pertandingan-pertandingan di sana. Tiap malam ramai sekali orang-orang berteriak mendukung dan mengumpat. Sayang sekali, saya termasuk orang yang tidak suka sepak bola. Bukan benci, tapi tidak tertarik untuk mengikuti isu-isu seputar itu, menonton pertandingan lewat televisi atau langsung di stadion, apalagi berlari-lari main sepak bola di lapangan besar.

Saking tidak tertariknya, tahun ini saya belum pernah nonton satu pertandinganpun. Kini saya bukan lagi wartawan. Saya tidak lagi merayakan dengan menulis berita--dan dibayar. Maka saya memaksa diri untuk menonton pertandingan final untuk turut merayakan. Akhirnya saya berhasil nonton, walau pada babak pertama saja. Sulit menahan kantuk, tapi lebih sulit menahan bosan menonton pertandingan.

Sejak SD teman-teman sudah mulai bicara sepak bola. Saya ingat, waktu itu saya mencoba pura-pura suka. Ketika SMP, teman-teman selingkaran lebih suka bicara tentang grup lokal. Ada dua kubu besar di antara mereka: PSS dan PSIM. Saya kira saya akan kehilangan berita seputar sepak bola ketika SMA, maklum, saya tinggal di asrama. Ternyata tidak, mereka tetap mengikuti berita dan membicarakannya di sela kegiatan. Saya jadi tahu kalau Arsenal punya fans bernama Edo, Manchester United punya Dicky, dan lain-lain. Ketika kuliah, kurang lebih kondisinya sama dengan SMA. Saya hanya bisa menyimak ketika teman-teman bilang pemain ini dijual ke klub mana, jadwal pertandingan, posisi di klasemen, atau apalah itu.

Saya pernah coba untuk mempelajari sepak bola. Suatu saat saya membeli Tabloid Bola. Sama saja. Tulisan-tulisan itu hanya tulisan saja, yang tidak bernilai apa-apa buat saya. Saya mengalami lagi kehampaan tulisan itu beberapa minggu lalu, yang akhirnya membuat saya mengundurkan diri dari profesi wartawan. Lagi-lagi ini tentang minat. Ketika tak ada minat, otak akan jadi tumpul. Bagai mengisi air pada botol yang masih tertutup. Halah.

Tadi pagi saya lihat berita di televisi. Katanya warga Jerman merayakan kemenangannya di Piala Dunia 2014. Saya jadi ngeri sendiri. Sebentar lagi, seminggu lebih satu hari, akan ada pengumuman kemenangan kontestan pemilihan presiden di Indonesia. Saya ngeri membayangkan bagaimana para pendukung calon presiden yang itu merayakan kemenangan.

Lebih ngeri lagi membayangkan bagaimana para pendukung calon presiden yang kalah "merayakan" kekalahan.

Ayo segera melek lagi. Hal yang kita hadapi secara langsung bukan kemenangan Jerman, tapi urusan politik negara yang butuh perhatian.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.