Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2017

Istilah Asing 1962 - 2017: Antara Calon Gubernur DKI dan Catatan Selo Soemardjan

via kompas.com “Mereka yang tidak mengerti bahasa Belanda maupun Inggris berusaha keras untuk menguasai istilah-istilah politik asing yang baru itu. Mereka mengira sudah memperoleh corak intelektuil dan prestise sosial karena penggunaan bahasa itu.”  (Selo Soemardjan, 1962) Pilkada DKI selalu menyedot perhatian publik secara nasional. Bagaimana tidak, stasiun-stasiun televisi—Jakarta bersiaran—nasional menayangkan debat publik ketiga pasangan calonnya. Saya yang orang Jogja pun jadi tertarik buat nonton debat itu meski sepotong-sepotong. Sekadar catatan, saya juga nonton debat publik untuk pasangan calon di kota saya sendiri di TVRI. Acara debat tak hanya menyedot perhatian publik, tetapi juga media lain. Satu media yang patut diapresiasi tinggi adalah tirto.id, sebuah media online yang baru diluncurkan tahun lalu. Digawangi oleh tokoh-tokoh senior di dunia jurnalisme, media ini menawarkan banyak hal baru. Salah satunya adalah aktivitas riset mereka yang tidak b...

The Accountant

via trailers.apple.com Film ini dibintangi Ben Affleck. Seperti judulnya, dia seorang akuntan. Bukan akuntan biasa, dia adalah pengidap autisme sejak kecil. Di satu sisi, autisme itu membuat dia sulit menjalin relasi sosial (meski dia ingin), di sisi lain, autisme itu yang membuat dia jenius matematika. Autisme yang dibawanya itu membuat dia menjadi akuntan yang sangar. Ada sekuen yang menceritakan pekerjaan 5 orang akuntan diselesaikan olehnya sendiri dalam waktu yang singkat. Secara keseluruhan film ini punya cerita dan setting yang menarik. Dia mengangkat tema akuntansi, ekonomi yang bobrok, keluarga yang broken, militer, senjata, perusahaan korup, intelijensia, autisme, dan bela diri. Nah, soal bela diri ini ada yang menarik. Diceritakan bahwa dia dan adiknya berlatih bela diri di Indonesia. Sepertinya itu silat (mohon dikoreksi kalau salah).

Penasihat Komunikasi Politik

Melihat sosok SBY sekarang rasanya tak segagah dulu. Benci sih tidak, tapi kasihan sedikit saja bolehlah. Saya masih bertanyatanya soal katakata yang dia unggah di Twitter. Tidak, saya tidak akan memaknai banyakbanyak soal cuitan itu. Saya malah masih penasaran kenapa beliau mengetwit di saat yang demikian. Saat yang seperti apa? Ya kita tahu sendirilah media sedang menyorot Pilkada DKI dan narasinarasi yang dibangun di sekelilingnya. AHY, anak SBY, ikut pertarungan politik itu. Selalu ada aroma sinis di media sosial soal AHY—paling tidak dilihat dari memememe yang menjadi viral. Pesan dominan yang saya tangkap adalah Agus tidak menguasai persoalan, minim pengalaman, dan—yang paling penting—beliau tak lebih dari pion catur yang dimainkan ayahnya. Pesan itu menguat semenjak akhirnya Agus tampil dalam debat publik putaran pertama. Belum ditambah dengan Annisa Pohan, istri Agus, yang juga terlibat perdebatan dengan seorang kawannya di Path. Persoalannya? Politik. Pada...

Gerimis

Gerimis pada matamu, tuan puteri, aku melihat hujan yang tidak deras. orang-orang tua senantiasa bertutur ke anaknya kalau gerimis jangan hujan-hujanan, nanti pusing di luar gerimis, jangan ngebut, jalanan licin gerimis itu menerjang mataku tanpa aku sempat menghindar tubuhku jadi aliran gerimis yang suka mengajak angin mampir dari mata, air tipis itu mengalir turun sesuai takdirnya itulah kenapa berdada-dada gadis sendu datang kepadaku bilang aku ingin merasakan gerimis di pelukanmu, atau bolehkah aku mencicipi gerimis di perutmu yang berbulu? boleh, boleh, semuanya boleh tapi setelah ini kalian harus pergi aku juga akan pergi kembali mencari asal muasal gerimis yang gemar sekali menghindar dari sapuan mata ini empat puluh tiga ribu delapan ratus hari kemudian semenjak matamu meninggalkan noda di embun dingin muntilan gerimis itu masih mengalir dari mataku pada matamu, tuan puteri, aku tidak lagi melihat gerimis yang dulu; aku hanya melihat diriku. gerimisk...

Jangan Menggodaku, Kopi

sebermula kopi itu memercik di dadamu kau mengusap nodanya, aku melihat saja “kenapa diam saja?”  ujarmu memanggil.

You’ve Started the Fire, Buddy

“So, reading is your hobby, huh? Tell me five books that most inspired you,” he asked me. The worst part from that question is I wasn’t ready to answer it. Stupid me. Yes, I think I’ve been reading a lot. Not just books, but also magazine and internet article of course. This reading habit was built since I was a child. My older sister and I were love to rent some books to enjoyed our holiday: Lima Sekawan, Trio Detektif, comics, etc. I felt so dumb since I couldn’t answer that simple question. I just mentioned two or three books title that I’m not finish them yet. Aaarrrrgggggh. That was one of embarrassing moment in my life. One important thing that maybe he doesn’t realize is he has just started the fire. I hope in the future, we’ll become a partner. I know he is smarter, but yes, he is also much older than me. I promise, you’ll find me in different quality, sir. Immediately.

Ujung Timur Jembatan

"Saya baru sepuluh hari jualan di sini, mas," ujar pedagang angkringan tanpa ditanya. "Oh pantes.. ini gerobaknya masih kinclong," kataku menimpali seadanya. Teh manis panas di depanku terlalu berharga untuk diduakan dengan obrolan. Setelah bersepeda sekian kayuhan, jenis minuman ini paling bikin tenang. Tiup-tiup sedikit, sruput tipis-tipis. "Sebelumnya saya pernah jualan bakso, pecel lele, mie ayam, macem-macem, mas. Tapi saya nyerah. Bahan baku terlalu mahal. Daging sapi, bawang, lombok, semua mahal. Padahal enggak mungkin naikin harga semangkok bakso," ujarnya lagi tanpa ditanya. Kali ini aku simpatik. Keluhan itu kutanggapi dengan pertanyaan yang lewat di kepala. Usaha dagang terakhir yang dia tutup adalah berjualan bakso dan mie ayam di Jalan Imogiri Barat. Dia sudah menyewa gerobak selama lima tahun untuk keperluan dagang. Namun nasib berkata lain, satu setengah tahun saja kemudian dicukupkan. Dari jualan angkringan itu dia harus bayar rum...

Lawak dan Ketidakpastian Hidup: Apa-apa yang Tak Boleh Berhenti

via www.bentarabudaya.com “..bahwa kita pun menyembunyikan badut atau lawak, yang sewaktu-waktu perlu dimunculkan keluar. Apa yang tersembunyi itu mengatakan pada kita, janganlah kita terlalu berpedoman bahwa hidup ini harus selalu bermakna dan berarti. Hidup juga perlu kita terima apa adanya, dan kita nikmati, walau kita tidak tahu apa arti hidup itu sesungguhnya.  Sering dengan menerima hidup apa adanya, kita justru diubah, dipelaskan dari kekakuan dan pendirian yang tak dapat ditawar, yang membuat kita lelah. Dengan lawak dan lelucon, kita jadi tahu tak ada yang pasti dalam hidup ini. Kita menerima, bahwa hidup ini harus terus berjalan, tak boleh berhenti. Kita bagaikan pengamen, yang mbarang atau mengamen, berjalan dan bernyanyi, tertawa, menghibur sesama dan dengan demikian menghibur diri sendiri.” Sindhunata, dalam artikel “Berziarah dalam Tawa” (Majalah BASIS Nomor 09 – 10, Tahun ke-65, 2016)

Kritik Krik-Krik

Tak henti-hentinya para kritikus menyebut iklim media Indonesia ini dipenuhi oleh televisi Jakarta bersiaran nasional. Bukan televisi nasional. Dulunya saya tidaklah sadar, baru sadar setelah baca satu tulisan di Remotivi. Sudah pernah baca kan? Itu salah satu situs yang padat bergizi untuk disantap kapanpun juga. Anda boleh saja setuju, boleh pula tidak. Namun tatkala melihat acara debat Calon Gubernur DKI 2017 kemarin, sulit bagi saya untuk tidak setuju. Malam ada acara debat tersebut, dalam hitungan jam video sudah disebar di Youtube, paginya masih dibahas di TV One. Sementara warga Yogyakarta barangkali secara umum belumlah mengerti bahwa Walikota dan Wakil Walikota mereka akan bertarung di Pilkada mendatang. Sekalipun tahu, saya yakin bisa dihitung dengan jari mereka yang tahu nama pasangannya. Soal nama dan pasangan calon Gubernur DKI mendatang? Jangan ditanya. Tentu saja kritik di awal tulisan ini mengkritik hal yang memang sulit. Pasalnya, DKI adalah ibukota, p...

Sayang, Change.org adalah Betul-Betul Wadah

Kira-kira setahun yang lalu saya kagum dengan ide petisi online. Dulu petisi ditandatangani oleh orang-orang secara manual. Kini dengan bantuan internet, sebuah isu yang dipetisikan bisa ditandatangani hingga ratusan ribu orang dalam waktu yang relatif singkat. Peserta petisi juga bisa membagikan kabar itu di akun jejaring sosial mereka guna mendapatkan dukungan yang lebih luas. Salah satu platform petisi online yang populer di Indonesia adalah Change.org. Platform ini sebenarnya bersifat internasional, dia ada di puluhan negara lain juga selain Indonesia. Saking kagumnya dengan petisi online dan Change.org, saya sampai menulis soal ini dalam beberapa paper ilmiah sebagai tugas kuliah. Kala itu saya menganggap bahwa Change.org adalah betul-betul kepanjangan tangan dari demokrasi. Warga bisa menekan pihak-pihak tertentu untuk melakukan apa yang menjadi kehendak warga. Tentu saja tekanan itu terbatas ya, “hanya” dengan cara membombardir alamat email pihak itu dengan email da...

Kuikhlaskan Dirimu Berlalu

“Tuhanmu tak akan memberi ular beracun pada yang minta roti..” Begitu lirik lagu rohani yang pertama kali saya dengar kala seusia SMP. Berbelas-belas tahun kemudian, lagu tersebut masih sering saya dengar di perayaan-perayaan ekaristi. Sekilas, lirik tersebut menenangkan. Tuhan, yang adalah tempat meminta, dan dengan demikian juga sumber pemberian, tidak akan salah memberi. Kalaupun terasa salah, tentu itu bukan kesalahan Tuhan, tetapi kitanya yang perlu memaknai ulang pemberian tersebut. Sampai-sampai, hidup ini seakan jeda singkat yang diisi dengan jutaan pemaknaan ulang yang dijejalkan dalam 24 jam sehari tujuh hari seminggu. Namun berdasarkan hari-hari yang saya rasakan, lirik itu tak berarti Tuhan akan memberikan roti pada mereka yang minta roti. Tentu saja, ini perumpamaan. Pada saya yang minta roti, Tuhan memberi saya nasi, sayuran pecel, dan tempe bacem yang manis. Pecel itu lengkap dengan tauge yang tinggi protein dan daun pepaya  yang pahit, tak l...