17 December 2015
09 December 2015
Pengunjung Orang Sakit dan Perilaku-Perilaku yang Dibawanya
via www.theladbible.com |
Angin yang menyapa di muka
bangsal Elizabeth siang itu kian menggoda. Dia mengalir lewat rambut di
belakang kepala, menelusur lewat telinga, lantas menari-nari sejenak di depan
mata.
Dalam pandangan sayu itu terlintas
rombongan ibu-ibu berkerudung. Di bagian depan rombongan ada seorang
bapak-bapak tua, dia pakai batik coklat lengan panjang dengan dobelan kaos di
dalamnya. Dari pakaian yang mereka kenakan sepertinya mereka berasal dari suatu
tempat di pinggir kota. Mereka jalan pelan sambil sesekali tengok kanan kiri.
Mereka seakan kagum dengan ketinggian gedung-gedung di Panti Rapih.
Beberapa dari mereka membawa
bungkusan—yang entah apa isinya. Ada yang membawa sebungkus tas kresek hitam,
sementara yang lain dibungkus pakai kain putih kumal yang mengabu-abu. Sudah
pasti mereka akan mengunjungi seseorang yang mereka kenal dengan baik.
Barangkali tetangga yang tinggal se-RT dengan mereka.
Pemandangan itu mengingatkan
saya akan beberapa perilaku orang ketika mereka mengunjungi orang sakit.
Beberapa pasien senang dengan model pengunjung tertentu, sisanya tidak begitu
gembira, bahkan ada juga yang tak ingin dikunjungi oleh orang lain. Namun kali
ini saya akan menulis soal model perilaku pengunjung, anda boleh saja menambahkan
di bawah.
#1 Pendoa yang Saleh (pinjam
istilah Alkitab)
Ada pengunjung yang bicara
pelan dan tenang kepada pasien. Dia datang untuk mengayomi dan menunjukkan
dukungan lewat sikapnya yang halus. Tak lupa sebelum pamitan dia kemudian
berdoa terlebih dahulu untuk kesembuhan pasien dan ketabahan anggota keluarga
yang mendampingi pasien. Dia tidak banyak bertanya detil soal penyakit, tapi
memberi semangat dengan cara-cara yang halus dan nikmat sekali di telinga.
Sebagian di antaranya adalah orang-orang tua (yang cenderung suka menasihati),
sementara sisanya adalah orang seumuran dengan pasien. “Ya sudah.. pokoknya
tetap berdoa, hatinya harus selalu gembira, dan memasrahkan kesehatan pada
Tuhan melalui dokter dan perawat yang menangani panjenengan..” kata mereka.
Sejuuuk sekali.
#2 Komedian Salah Panggung
“Sakit adalah kesedihan”
barangkali kata-kata yang tertanam pada pengunjung. Maka dia tak akan segan
untuk menjadi komedian ketika berkunjung. Kalau leluconnya itu punya frekuensi
sama dengan pasien (dan penunggu pasien) sih tidak masalah, tertawa memang
dipercaya mempercepat proses penyembuhan. Namun akan jadi celaka kalau dia
adalah komedian yang gagal, atau katakanlah, punya selera humor yang berbeda.
Dia bisa jadi komedian yang sangat mandiri: menertawakan celetukannya sendiri.
Lebih dari itu, pasien juga akan cepat merasa lelah karena berpura-pura
bahagia. LOL.
#3 Wartawan Infotainment
Istilah kekiniannya adalah
kepo. Pengunjung jenis satu ini menanyakan dengan detil apa saja yang dialami
oleh pasien. Mulai dari awal sakitnya, hasil pemeriksaan, proses penanganan
medis, obat-obatnya apa, pantangan makan apa, berapa hari di rumah sakit, setelah
ini bisa dicegah dengan cara bagimana, dan seterusnya dan seterusnya. Tak
jarang dari mereka ada yang bertanya dengan muka yang menunjukkan empati yang
mendalam. Beberapa di antaranya bahkan tampak berkaca-kaca. Bersyukurlah tidak
semua pengunjung berjenis demikian, pasien dan keluarga pasti akan sangat lelah
mengulang-ulang cerita yang sama..
#4 Malah Curcol...
Semesta itu sangat adil, bung,
sangatlah sangat adil. Ada pengunjung yang senang meminta pasien bercerita
banyak soal sakitnya, ada juga yang senang bercerita soal penyakit yang
dialaminya. Atau penyakit yang dialami kerabat dekatnya, dan dia jadi bagian
penting dalam proses penyembuhan kerabatnya itu. Entah kenapa dengan pengunjung
jenis ini. Mereka itu memang senang bercerita, ataukah dalam hidup
sehari-harinya mereka tak ada kawan bercerita. Maka setiap saat dia
berkumpul, bahkan ketika mengunjungi orang sakitpun, dia menumpahkan ceritanya.
Seringkali, bahkan, cara mereka bercerita lebih heboh dari pasien itu sendiri.
Tak jarang mulutnya berbusa, ada sekumpulan ludah putih yang menggantung di
sudut-sudut bibir mereka.
#5 Motivator Ulung
“Gimana, tante? Sehat kan!?”
kata seorang ponakan ketika mengunjungi tantenya yang terkapar. Ekspresi
wajahnya tampak kalau dia ingin memberi semangat dan motivasi tantenya yang
sedang terkapar itu. Dia pikir caranya itu efektif. Meski kadang ada juga yang
dengan sinisnya bilang, “Cah edan. Ngerti lagi tepar ngono kok ditakoni sehat.”
Ada juga seorang teman
pengunjung yang ketika datang langsung bilang, “Ngapain di rumah sakit? Nggak
usah lama-lama. Ayo pulang,” sambil menggandeng tangan temannya yang sedang
jadi pasien. Barangkali ini lebih memotivasi dibanding yang pertama. Namun pada
dasarnya sama, mereka ingin menjadi motivator, setidaknya, ingin memberi
motivasi bagi pasien untuk cepat sembuh.
Sejauh ini saya baru mengamati
lima jenis pengunjung ini. Jika anda jadi pengunjung, anda berada pada jenis
yang mana? Jika anda jadi pasien, pengunjung jenis mana yang paling anda sukai?
Ataukah saya masih kurang
dalam menyebutkan jenisnya? Silakan tambahkan sendiri di bawah.
07 December 2015
Sampah, Perilaku, dan Peradaban Kita
Pagi
tadi jogging di dekat Mirota Kampus (Jalan Godean), melewati jalan yang
dikepung sawah yang ditumbuhi padi muda. Kebetulan ada petani yang sedang berdiri
di salah satu petak. Sepertinya pemandangan biasa kan? Namun sebenarnya tidak.
27 November 2015
Sesosok Hitam di Kamar yang Rapi
Selasar lantai tiga kampus tiga Universitas Atma Jaya Yogyakarta kala itu
tampak sepi. Di kursi-kursi panjang itu terlihat beberapa mahasiswa berpakaian
atasan putih dan bawahan hitam. Beberapa dari mereka memegang setumpuk kertas
putih dengan muka gelisah yang ditenang-tenangkan. Namun siapa mengira, ada
perjuangan “hidup-mati” rentetan mahasiswa dalam ruangan-ruangan di sana.
Sendirian mencari sesosok makhluk hitam yang sedang disidang, aku tak kunjung menemukannya. Hingga akhirnya terlihat tas hitam yang kukenal. Anehnya, tak ada yang menjaga tas itu. Sangat lain dari mahasiswa lain yang sedang sidang, si pemilik tas tak ada yang menunggu. Aku yakinkan diri untuk duduk di sebelah tas itu. Lima menit kemudian keyakinan terbukti benar.
Pintu ruangan depanku persis terbuka perlahan. Makhluk hitam membuka pintu dengan agak gemetar dan pucat. Wajahmu kala itu sangat kampret. Serius.
“Gimana, bos?”
“70 persen, bos. 70 persen aku ngulang sidang,” katamu
sambil geleng-geleng kepala. Bibir yang pucat kering itu tersenyum kecut.
“Ah, taik.”
***
Itulah dirimu, Gida. Pemuda Jakarta Pamulang satu ini memang seringkali terlihat tak percaya diri dengan
kemampuannya. Ujung-ujungnya kau lulus sidang skripsi dengan revisi.
Revisinya banyak? Tidak. Materi revisi itu sebenarnya sudah ada di tulisanmu.
Hanya saja kau tak mampu menunjukkan ketika ditanyai dosen penguji. Bukan
begitu ceritamu?
Kau memang banyak menyembunyikan kemampuan. Satu-satunya yang dibuat
menonjol adalah ketika bermain sepak bola. Kemampuan berlari, menggiring, dan
menjebloskan bola ke gawang lawan jangan lagi diragukan. Tapi itu dulu, enam
hingga sembilan tahun yang lalu. Ketika kita sama-sama masih nyantri di
Muntilan. Ketika fisik masih prima dan otot perutmu terukir jelas.
Sekarang? Bisa lari keliling Tambakboyo seputaran saja kita patut
bersyukur. Lantas kita syukuran dengan bergelas-gelas es kopi dan asap pekat.
Tak lupa kita menertawakan nasib naas kita, bersama Dicky dan Bayu, dua kekasih
setiamu itu.
Hampir sepuluh tahun mengenalmu, aku tahu apa yang lebih darimu. Kamarmu
selalu rapi, bung. Setidaknya bila dibandingkan dengan kamarku.
“Sebenarnya nggak rapi, bos. Cuma yang berantakan itu gue tutupin,” ujarmu merendah.
Namun memang aku melihat banyak tirai ungu di mana-mana. Tirai yang kau
buat sendiri dari seprei bekasmu. Seprei beraroma sp*rma kadaluarsa dan
keringat lelaki dewasa.
Kamarmu yang rapi itu selalu jadi tempat tidurku. Di kontrakan kalian dulu,
selalu ada ruang luas di bagian tengah yang bisa kupakai tidur. Namun aku
selalu pilih merebah di kamarmu. Dengan bantalmu yang agak keras, aku selalu
terlelap. Semilir halus angin dari kipas kecil di ujung kamar turut menyumbang
lelapku itu. Lalu pagi-pagi sekali aku membangunkanmu—yang semalaman tidur di
sampingku.
Oh ya. Puji Tuhan, lubang pantatku masih baik. Entah dengan milikmu.
***
Sejak semester pertama di asrama, kita sudah akrab. Seingkatku, kau teman
pertama yang menginap di rumahku. Lalu suatu saat kita beli MP3 player di
Ramai. Barang itu masih tergolong mewah dan populer kala itu. Lumayan, bisa
untuk menemani mencuci dan setrika baju di asrama. Dari lagu-lagu yang kau
jejalkan, aku tahu kita sama-sama penikmat Sheila On Seven.
Lagu-lagu Sheila lalu sering jadi lagu pengiring kisah cinta kita
masing-masing. Tentang cinta yang tumbuh tanpa kendali di ladang orang. Kau
dengan dia (dan dia), aku dengan mereka dia yang lain lagi. Di kamarmu yang rapi itu kau sering bercerita sambil
aku memetik gitar lagu Sheila. Kalau aku yang bercerita, cerita itu kututup
pula dengan lagu-lagu mereka. Hingga kini, banyak lagu Sheila yang membuatku
teringat masa-masa di kamar tidurmu.
Kamarmu itu ruang serba guna, bung. Kamarmu tak hanya tempat kau berjibaku
dengan gadis-gadis lugu. Atau tempat singgah Bayu sepulang dari kantor, sebelum
dia ke kamarnya sendiri. Sebenarnya, kamarmu tak lebih dari tempat sampah
berton-ton abu daun kita berbanyak. Abu yang muncul bersama dengan permainan
kartu yang bikin kita tertawa hingga perut sakit. Abu yang sama yang menemani
omong kosong kita tentang masa depan.
Ya, tentang masa depan. Tentang umur berapa kita masing-masing akan meninggalkan masa lajang.
Tentang sepeda motor BSA yang akan kau beli sebelum uangmu habis untuk beli
susu anak. Juga tentang hal penting macam: bagaimana menyembunyikan folder film
porno di komputer kita. Kau menamainya “semi”, sedang aku menamainya “project.”
***
Soal kekuatanmu yang lain, aku sudah tahu sejak dulu. Kau adalah pendengar
yang baik. Setidaknya bila dibandingkan denganku. Aku hanya bisa tertidur
ketika Chaki curhat. Ketika Chaki selesai bercerita lantas aku bangun dan
bertanya (atau menyimpulkan?), “Dadi sajane masalahe wis rampung to?” Ya
bagaimana lagi. Lampu kamar kala itu sengaja mati, dan satu-satunya cahaya
adalah dari lilin kecil yang kita nyalakan di tengah.
Serius. Kau kadang juga lebih dari sekadar pendengar yang baik. Bagiku, kedua
telingamu adalah tempat terbaik untuk mengisahkan drama-drama percintaan remaja
yang asu bajingan marai sedih aku alami. (nyumet sik...) Pertama-tama kau akan memahami sudut
pandangku. Kedua, kau akan menyatakan pandanganmu. Ketiga, kau akan memberikan masukan.
Semua itu kau lakukan tanpa sedikitpun aku merasa sikap kita berhadap-hadapan.
Hingga kini kau masih menawarkan diri jadi pendengar yang baik. Jarak kita
saat ini terpaut 550an kilometer. Secara berkala kau menanyai bagaimana
kabarku, juga bagaimana kabar ibuku yang sedang sakit. Aku juga sering
menanyaimu. Setelah kau berhasil menjalankan nadzarmu untuk donor darah setelah
lulus sidang, bagaimana kisah pencarian kerjamu?
Berkali-kali aku bilang kalau pekerjaan itu jodoh. Mau sebagus apa kualitas
dan kapasitas seseorang, ya dia tak akan diterima kalau perusahaan tak butuh.
Barangkali dari perspektif ajaran agama, kita hanya bisa berjuang keras dan
memohon agar Tuhan memberikan yang terbaik. Sebenarnya tanpa berjuang keras pun
Tuhan akan memberikan yang terbaik—kalau Dia memang berkenan.
Contohnya?
Seperti yang aku alami ini, bung. Aku tak pernah berjuang keras menjadi
orang super baik, tapi dia memberikan kepadaku kalian, teman-teman yang sangat
baik. Kau adalah satu dari mereka yang baik-baik itu, bung.
Maka angkat dagumu segera! Kamu orang berhati baik yang akan selalu
mendapat hal baik di hidupmu. Soal hari ini usiamu sudah seperempat abad, mari
kita berbahagia. Semogalah kebahagiaan itu selalu jadi santapanmu setiap hari.
Selamat ulang tahun !
16 November 2015
Jangan Baca, Anda Berisiko Sakit Hati
cerita kali ini nylekit, dungu, nyinyir, dan beraura negatif. anda-anda
yang tidak siap sakit hati lebih baik berhenti baca sampai di sini.
02 November 2015
Maaf, Sandalnya Sedang Pergi
Maaf, Sandalnya Sedang Pergi
bukanlah muntilan, apalagi merapi,
yang membuat kita jalan di atas
sandal yang sama
sandal itu butut, bau, dan tiap
sudutnya punya tanda kalau kita
berjalan lewat medan yang kasar,
berat, dan tak kenal ampun
kadang berendam di air sejuk
lalu dihajar di panas aspal kota
lantas mendarat di mulut kita
yang kian pandai mengumpat
sebilah sandal tak pernah kekal,
layaknya tiap hal kecil di sudut
semesta ini
kini kau berganti sandal,
melompat anggun ke kaki lain
yang lebih kuat,
lebih hangat
lantas aku lelehkan sandal
pakai air mata mendidih,
sambil belajar terbang
2015
bangun tidur
01 November 2015
Ijinkan Aku Mengingatmu
Ijinkan Aku
Mengingatmu
dengan
air mata bisu
dengan
lambaian tangan
yang
enggan mengeluh
berkemaslah,
kenangan,
pergilah.
2015
14 October 2015
Omong Kosong dan Kepedulian Kita
via www.multiraedt.nl |
13 October 2015
How A Man Miss Some Random Moments
Night was always be a missed moment a year ago. This was a beautiful
time to enjoy youth-time with some friends—and some random things of course. We
played card games after had a jogging-chatting. We were jogging for 30 minutes
(or less), chatting for 30 minutes, and playing card for more than 4 hours.
What a great night.
10 October 2015
Manusia Tanpa Titik
Manusia Tanpa Titik
"aku lelah" katamu dalam
deretan panjang gatra
sombong sarat nafsu
08 October 2015
YEAH RIGHT.
I write almost every day. Sometimes I wake up early
just to write, the other time I have to wake up until mid night. It doesn’t
make me a good writer though, but it is like the best time in my life.
Through my writing I can think everything without other doubt me (yes, I am not a confident man). I can freely talk to the universe about something, and I can change the topics every time I want to do it. But now, since September actually, writing is not always makes me as a free-man.
Through my writing I can think everything without other doubt me (yes, I am not a confident man). I can freely talk to the universe about something, and I can change the topics every time I want to do it. But now, since September actually, writing is not always makes me as a free-man.
I have a new challenge to finish my master’s thesis. I
always remember how I finish my bachelor’s thesis at 2013. It’s not very difficult and complicated writing I guess, but sometime writing just getting to the mind burden, even soul burden. The acne(s) came
to my face, destroyed my dream to have a smooth skin face. Hahaha No, I’m not that kind of guy. One thing that
always come to me: procrastination.
“I
want to write it later, after midnight. Now I can’t have focus my mind, this
room is too full of light,” I said. “What are the people doing in library? I
can’t write my thesis there. My friends just make me have too many talks than
write,” I said. And the other thousands excuses I always make.
Now,
I’m learning to say “Yeah..” everytime I make an excuse. Free-letics’ quote is
the one who inspired me. It’s not the time to follow my excuses again, that’s
my past. How about you?
YEAH RIGHT.
07 October 2015
Jogja Hari Ini
Jogja
Hari Ini
hari
ini jogja berulang tahun
sudah
259 usianya
#HUT259Jogja
tulis mereka
di
akun-akun dunia maya
05 October 2015
Menyoal Blusukan Virtual
Aroma e-government rasanya makin menyengat di
ujung hidung publik. Belum rampung dengan urusan e-KTP yang berlubang sana
sini, wacana pelayanan publik kembali dihangatkan dengan rentetan e- yang lain.
04 October 2015
Rindu Berpisah
Rindu Berpisah
pagi
tadi air menjelma
kabut
yang kau titipkan
kala
debu kaliurang
terkibas
dari kakimu
dingin
kala disentuh,
hangat
kala diseduh
mereka
terampil mengail
rindu
yang senang
berenang-renang
di
kubangan kata;
juga
rindu yang tersesat
pada
desah singkat
yang
samar terdengar
kala
kita bercinta
kini
temu tak lagi manjur
merawat
ingat yang kau
lekatkan
ke jidat,
juga
ke pintu kamar
yang
kepadanya kita pantas
bilang:
matur nuwun.
jelang
siang air menyerupa
recehan
yang enggan
kulepas
kala ibu tua
meminta
melas.
kini
rindu tak terbasuh temu,
jiwa melayang-menggelandang,
dan
resahmu terjun ke entah.
barangkali..
itu cara terindah
untuk
mengucap pisah.
Besole,
wetan cakruk
2015
28 September 2015
Hati-Hati Upload Foto(Selfie)mu
Dulu saya pernah menulis andai mas Danang ‘Kucing’ itu enggak mengupload korbannya di Facebook, mungkin dia enggak harus mengalami pengalaman pahit. Bukankah dibully di media sosial, diteror lewat hape, hingga dikeluarkan dari pekerjaan adalah pengalaman pahit?
18 September 2015
17 September 2015
Jogging atau Bersepeda?
Mana yang lebih efektif membakar kalori? Mana
yang lebih efektif menurunkan berat badan? Mana yang lebih efektif membakar
lemak? Bla.. bla.. bla..
10 September 2015
titik dua petik tunggal kurung tutup adalah selamat tinggal
Tante pegawai punya media sosial. Dia pakai akun itu untuk buku harian dan album fotonya. Setiap hari dia cerita kalau dia sedang bahagia, kecewa, hingga marah. Dia juga cerita soal pacar, mantan(nya) pacar, teman kantor, hingga orang rumah. Pernah dia cerita kalau habis gajian, katanya bikin semangat kerja. Pernah juga dia unggah capture-an obrolan di grup karena dia habis menyapa anggota grup satu-per-satu.
08 September 2015
Radius 1 Kilometer
Akhir
bulan kemarin saya ikut event olahraga di almamater. Event ini bisa dikatakan
sukses karena tiket sold out pada H-sekian. Dengar-dengar, tiket yang terjual
sekitar 3.000 lembar. Beberapa acaranya adalah lari (pakai bubble dan warna), penampilan musik, pembagian doorprize, dan musik ala dugem. Nah, yang terakhir ini yang membuat
saya terdiam dan merenung.
28 August 2015
Singkek dan Kerak Rasis yang Enggan Hilang
Ketika
SD dulu saya dengar istilah ‘singkek’ untuk dilekatkan di belakang kata ‘cina.’
Sebenarnya saya tidak tahu betul apa maksudnya, tetapi yang saya duga itu
adalah istilah untuk orang Cina totok. Orang Cina asli. Sifat yang dilekatkan
pada kata itu adalah pelit, galak, kejam, sombong, mata duitan, dan sebagainya.
26 August 2015
Bom Thailand di Kepungan Komunikasi* ala FPI** dan Cingkim Netizen
Sore kemarin saya
agak terkejut ketika sedang scrolling
Facebook. Seorang teman kuliah membagikan tautan dari akun Facebook bernama “Front
Pembela Islam – FPI” yang menulis soal pelaku bom di Kuil Erawan, Bangkok, Thailand,
yang sudah tertangkap. Menurut postingan akun tersebut, pelaku ternyata adalah
warga Amerika Serikat beragama Kristen.
25 August 2015
Pantaskah Kita Bersyukur Saja?
“Kamu kenapa, yan?
Kayak lagi kepikiran apa,” tanya Samdy suatu sore. Dia reporter harian bisnis
ternama di Ibu Kota. Orangnya agak kaku, kadang bertindak sesuka hati, tapi
perlakuan dia ke saya sangat baik. Beberapa hari kemudian dia menghubungi lewat telepon ketika saya “bersemedi”
di kamar kos. Seingat saya, dia satu-satunya kawan yang menelepon ketika itu.
09 August 2015
Menyoal Berita NasionalTimes
Ketika membaca media online yang bukan media mainstream, biasanya saya hanya lewat saja tanpa pikir-pikir lagi. Apalagi kalau judul dan beritanya terkesan ngawur atau provokatif. Namun kali ini hasrat kepo saya atas sebuah media online tak tertahankan lagi, membuncah dan harus segera dilahap. Demikianlah kisahnya.
08 August 2015
Letakkan Kameramu!
Sebuah artikel di Fotokita.net tahun 2012 pernah menulis soal tips memotret matahari terbit di gunung. Bukan iklan, tapi situs ini cukup memenuhi kebutuhan bacaan saya soal fotografi. Dia mengulas banyak hal soal tips memotret, kamera, lensa, dan banyak hal yang terkait di dalamnya.
20 July 2015
Barangkali Ini Lebih Penting, Monalisa..
Sumber: antarafoto.com |
Belum rampung urusan kesulitan pangan lantaran turun
embun beku, Papua kembali dihantam persoalan. Orang sibuk berspekulasi sana
sini soal insiden di Tolikara hari Jumat (17/7) kemarin. Konon, spekulasi ini
juga dikompori oleh media-media yang tak membangun cerita utuh dan akurat untuk
diakses publik.
16 July 2015
Karakter Rekaan
saya kenal, atau sekadar tahu, dengan orang yang senang menuliskan ini di jejaring sosial dia:
.: mengklaim dirinya antimainstream
beberapa kali dia membanggakan pekerjaannya yang tak terikat perusahaan, tidak seperti teman yang lain. dia sering bilang lebih nyaman pakai celana jeans daripada celana bahan.
.: bermeditasi
dia mengutip kata.kata dari buku yang dia baca; mengunggah foto buku, lilin, dan secangkir kopi yang menemani dirinya bermeditasi
namun, yang saya lihat justru sebaliknya.
.: mengklaim dirinya antimainstream
beberapa kali dia membanggakan pekerjaannya yang tak terikat perusahaan, tidak seperti teman yang lain. dia sering bilang lebih nyaman pakai celana jeans daripada celana bahan.
.: bermeditasi
dia mengutip kata.kata dari buku yang dia baca; mengunggah foto buku, lilin, dan secangkir kopi yang menemani dirinya bermeditasi
namun, yang saya lihat justru sebaliknya.
Kisah Sedih di Hari Hari Biasa
ibu kondhur banjur muwun
atine remuk tanpa wujud.
ngendikane ibu,
neng kidul desa ana
wong kere dipakake asu.
Juli 2015
Keretasu
Keretasu
stasiun dan kamu punya
kisah kisah biasa
yang tak pernah aku suka.
gerbong kereta selalu tega
mengangkut cinta yang
sebentar kemudian berpamitan.
sedang aku hanya berdiri
menatap lari detik
yang mengundang perih.
dekap aku, kamu
sebelum roda besi
menggelinding angkuh
ke timur yang jauh
sebelum kelam menelan
teduh yang kita cipta.
Juli 2015
08 July 2015
Sesal Tak Kunjung Henti
Ketika umur 18 tahun saya pertama kali bergabung dalam
sebuah produksi film. Dengan kepala kosong, saya bergabung menjadi penata
artistik alias Art Director. Dari situ saya jadi tahu kalau bikin film
sepanjang 10 menit saja butuh waktu berjam-jam untuk ambil gambar dari berbagai
macam angle.
Gagal Kembali
GAGAL
KEMBALI
kamu
masih ingat?
tatkala
bulan menyuruh kita
berhenti
bercinta.
karena
di langit sana
santo
santa mengumpat pelan
ingin terlahir kembali.
Juli
2015
Kutang
Kutang
tadi
malam bulan asu
dia
tertawa hina
kala
ibu merajut
kutang
baruku.
kutangku
yang lama mulur
mencipta
celah
tempat
angin masuk
membius
dosa manusia.
menembus
nalar kita.
Juli
2015
Petasan
PETASAN
petasan
ingin bertanya,
mengapa
diri tercipta untuk
menyobek
gendang,
menghancurkan
jemari,
memacu
detak jantung,
dan
mengotori jalan?
Juli
2015
06 July 2015
Jam Terbang
Selama saya
kuliah, sering ada pertanyaan yang tak pernah terungkap, “Mengapa para dosen
bisa begitu pintar? Berapa banyak buku yang mereka baca? Berapa jam dalam
sehari mereka membaca?”
Lalu saya membuat
niat bodong, alias tak pernah terjadi. Niat itu adalah rajin membaca hingga
sebelum lulus kuliah bisa sepandai mereka.
Sebuah kenyataan
menghampiri saya. Paling tidak menyadarkan bahwa saya tidak usah terobsesi
sampai segitunya.
Mereka para dosen
itu memang sudah lama belajar ilmu ini. Mereka sudah mulai mendengar nama
Lasswell sejak tali pusar saya belum puput, atau sejak dalam kandungan, atau
sejak bapak ibu masih mengusahakan saya untuk ada.
Tidak, itu tidak
menghentikan aktivitas membaca saya. Kenyataan itu membuat saya lebih realistis
dan menyadari: barangkali memang jam terbanglah yang berbicara.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Baca Tulisan Lain
-
Barangkali memang setiap negara tidak bisa tidak melakukan hubungan-hubungan dengan negara lain. Setiap hubungan yang dijalin bisa saja memi...
-
Cerita ini diawali ketika beberapa kawan melakukan penelitian di Desa Wisata Sidoakur yang terletak di Jalan Godean. Akhirnya saya ngikut...
-
Sembah bekti kawula Dewi Mariyah kekasihing Allah, pangeran nunggil ing Panjenengan Dalem. Sami-sami wanita Sang Dhewi pinuji piyambak, saha...
-
Yellow journalism Yellow journalism bukanlah merupakan sebuah aliran jurnalisme, melainkan sebuah julukan yang diberikan oleh The New York...
-
Terima kasih, adinda :)